Please disable ad-blocker to view this page



SITUS BERITA TERBARU

Rupiah Diatas 13 rebu, Utang Swasta US$160M yg di 'hedge' 26%. Bisa Default?

Friday, May 8, 2015
Utang Valas Swasta Capai USD 160 Miliar, Hanya 26% yang 'Dilindungi'

07 MEI 2015



Rimanews – Utang luar negeri (ULN) swasta Indonesia saat ini sangat besar yakni mencapai USD 160 miliar. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 26 persennya yang mendapatkan lindung nilai, sehingga sebagian besar masih menghadapi risiko.

ULN swasta Indonesia dalam bentuk valas cukup besar, dari sebelumnya pada 2009 sebesar 60 miliar dolar AS, sekarang naik menjadi 160 miliar dolar AS pada 2015.

"Dari total ULN swasta dan BUMN, hanya 26 persen yang sudah dilakukan transaksi lindung nilai. Perusahaan swasta dan bumn kalau punya hutang dalam dolar dan tidak cepat dikelola akan membengkak," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo di Jakarta, Kamis (7/5/2015).

Agus mengharapkan perusahaan-perusahaan BUMN dapat menjadi contoh bagi perusahaan swasta dalam pengelolaan valuta asing atau valas yang salah satunya melalui transaksi lindung nilai (hedging).

"Kita ingin BUMN dapat memberikan contoh bagaimana cara mengelola valas yang baik sehingga swasta juga bisa mengikuti," ujar Agus dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis.

Agus menuturkan, nilai tukar dolar AS sepanjang tahun ini cenderung akan tetap menguat seiring mulai pulihnya perekonomian Negeri Paman Sam tersebut.

Menurut Agus, penguatan dolar memang terjadi pada hampir seluruh mata uang negara di dunia, termasuk nilai tukar rupiah.

Pada 2014, rupiah terdepresiasi 1,8 persen terhadap dolar AS, sedangkan dari Januari-Mei 2015 rupiah melemah 5,37 persen terhadap dolar AS.

"Brazil pada 2014 terdepresiasi 12 persen, dan sepanjang 2015 ini melemah 15 persen, artinya mata uangnya goyang sekali. Jadi, Indonesia sebenarnya secara umum masih stabil," ujar Agus.

Namun, Agus menegaskan, transaksi lindung nilai tetap perlu dilakukan untuk memitigasi risiko dari penguatan dolar AS dan juga untuk tetap menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal ini penting dilakukan mengingat Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan.

"Pesan kami, selama masih defisit kita perlu hati-hati karena ini buat ketersediaan dolar kita terbatas, selama ini defisit kita dibiayai oleh aliran dana asing yang masuk," ujar Agus.
http://ekonomi.rimanews.com/keuangan...ng-Dilindungi-


Rupiah Makin Tersungkur ke 13.130 per Dolar
07 MEI 2015

Rimanews – Tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin besar. Mata uang Indonesia ini merosot lebih dari 100 poin terhadap dolar AS.

Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Kamis sore (7/5/2015), bergerak terdepresiasi sebesar 105 poin menjadi Rp13.130 dibandingkan sebelumnya di posisi Rp13.025 per dolar AS.

"Rupiah tertekan cukup dalam terhadap dolar AS merespon situasi ekonomi Indonesia yang diperkirakan masih akan melambat," ujar pengamat pasar uang dari Bank Himpunan Saudara, Rully Nova di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, pelaku pasar membutuhkan kepastian dari pemerintah mengenai komitmennya untuk mendorong pembangunan infrastruktur, diharapkan pemerintah segera merealisasikan pembangunan infrastruktur sehingga pada akhirnya dapat mengangkat ekonomi domestik.

Dari eksternal, ia menambahkan bahwa data Non-Farm Payrolls (NFP) Amerika Serikat yang sedianya akan dirilis pada akhir pekan (Jumat, 8/5) waktu setempat diperkirakan meningkat. Situasi itu kembali menimbulkan spekulasi the Fed akan menaikan suku bunganya dalam waktu dekat.

"Spekulasi itu membuat volatilitas rupiah menjadi tinggi. Data NFP cukup berpengaruh pada mata uang dunia karena dapat memberi gambaran bagi The Fed untuk menaikan suku bunganya," katanya.

Kendati demikian, menurut dia, Bank Indonesia masih siaga di pasar valas domestik agar mata uang rupiah tidak terdepresiasi lebih dalam lagi agar tidak menimbulkan kepanikan di kalangan pelaku pasar uang.

Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia pada Kamis (7/5) ini tercatat mata uang rupiah bergerak melemah menjadi Rp13.065 dibandingkan hari sebelumnya, Rabu (6/5) di posisi Rp13.040 per dolar AS.
http://ekonomi.rimanews.com/keuangan...-130-per-Dolar



Peringatan para Pakar Ekonomi tentang Bahaya Utang Swasta yang menggunung bila gagal bayar (default), bisa-bisa kisah pahit Krismon 1997 akan terulang kembali!

Darmin Nasution: Utang Luar Negeri Swasta Sudah Mengkhawatirkan
Jumat, 02/08/2013 14:32 WIB

Jakarta -Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution menyebut utang luar negeri swasta Indonesia terbilang mengkhawatirkan. Menurut Darmin, utang tersebut sudah sangat tinggi.

Hal tersebut dikatakan Darmin usai menghadiri Pelantikan Deputi Gubernur Bank Indonesia Hendar di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Jumat (2/8/2013).

"Sebenarnya kalau dari segi jumlah itu sudah sudah besar sekali, karena dua tahun terakhir peningkatannya sangat cepat," kata Darmin.

Darmin menganggap, utang swasta ini sudah melebihi batas normal. Dia membandingkan batas rasio utang pemerintah di tahun 1997-1998 hanya mencapai 20% dari total Pendapatan Domestik Bruto. Sedangkan saat ini sudah mencapai 37% dari total PDB.

"Kalau dulu zaman orba ada tolak ukur yang sering dipakai untuk beban utang yang namanya debt service ratio. Dulu batasannya hanya 20%. Walaupun tahun 97-98 itu sudah melampaui, sekarang kita sudah masuk ke angka 37%. Itu berarti sudah jauh ketinggian," katanya.

Meski demikian, Darmin mengatakan, hal tersebut masih tertolong oleh beberapa faktor, di antaranya adalah data utang yang lebih rinci dan mendalam.

"Itu yang meminjam banyak antara sister company atau anak perusahaan dan induknya di luar. Sehingga ya sedikit menolong, kalau antara saudara, anak dengan ibunya, bayarannya kan lebih ringan," katanya.

"Kedua yang meminjam itu pada umumnya punya sumber penghasil valas. Hanya itu yang menolong. (Tapi) kalau dilihat dari jumlah sebetulnya sudah mulai harus dianggap melewati garis aman," jelas

Seperti diketahui, utang luar negeri swasta yang jatuh tempo per September 2013 mencapai nilai sekitar US$ 25,7 miliar. Berdasarkan statistik utang luar negeri Indonesia, posisi utang luar negeri swasta per Mei 2013 telah mencapai US$ 131,547 miliar.
http://finance.detik.com/read/2013/0...irkan?f9911023


Bahaya, Jika Utang Swasta di Luar Negeri Terus Melonjak
Senin, 24 Februari 2014 15:17

Jakarta, Sayangi.com - Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Prof. Firmanzah, PhD mengatakan, perlunya semua pihak untuk mencermati pertumbuhan utang swasta di tanah air yang telah mendorong rasio utang/PDB yang pada 2013 mencapai rasio 30,24 persen.

"Meskipun rasio ini masih tergolong aman, namun kita semua perlu mencermati peningkatan jumlah utang luar negeri swasta," kata Firmanzah dalam perbincangan di Jakarta, Senin (24/2) pagi di laman Sekretariat Kabinet.

Pernyataan Prof. Firmanzah itu disampaikan menanggapi rilis profil utang yang disampaikan Bank Indonesia (BI), Kamis (20/2) lalu. Dalam rilis itu disebutkan, utang luar negeri Pemerintah turun dari posisi 116,1 miliar dollar AS pada 2012 menjadi 114,2 miliar dollar AS pada 2013. Pemerintah justru lebih banyak membayar cicilan dan pokok utang luar negeri sehingga jumlah utang berkurang cukup signifikan.

Sementara posisi utang luar negeri swasta non-bank mengalami lonjakan yang cukup signifikan dari 103,2 miliar dollar AS menjadi 116,4 miliar dollar AS pada akhir 2013. Utang luar negeri Bank Sentral juga mengalami penurunan dari posisi 9,9 miliar dollar AS pada akhir 2012 turun menjadi 9,2 miliar dollar AS pada akhir 2013. Kenaikan justru terjadi pada kelompok Swasta non-bank yang meningkat 23 miliar dollar AS pada 2012 naik menjadi 24 miliar dollar AS pada akhir 2013.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menjelaskan, secara agregat, rasio utang/PDB Indonesia masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan sejumlah negara di ASEAN dan emerging market lainnya. Misalnya Singapura pada 2012 memiliki utang/PDB mencapai 100 persen, Malaysia 52,5 persen dan Thailand 41,6 persen. Sementara sejumlah negara emerging seperti Brasil memiliki rasio sebesar 68 persen, Afrika Selatan 38 persen dan India sebesar 68 persen.

Namun Firmanzah memandang perlunya mencermati peningkatan utang swasta yang tumbuh pesat akhir-akhir ini. Ia menyebutkan, kalau utang tersebut digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif dan dalam jangkauan kemampuan membayar adalah hal yang wajar dilakukan. Sehingga pemanfaatan dan peruntukan utang luar negeri oleh swasta perlu digunakan untuk aktivitas yang memiliki potensi keuntungan yang memadai.

"Ekspansi swasta di Indonesia sangatlah bisa dipahami karena memang selama ini Indonesia masih membutuhkan banyak investasi di sektor riil dan infrastruktur. Hal ini ditambah dengan upaya industrialisasi dan hilirisasi di sektor mineral dan pertambangan. Kedua hal ini mendorong swasta untuk melakukan ekspansi usaha dan konsekwensinya adalah kebutuhan dana investasi yang sangat besar," papar Firmanzah.


Meski demikian, Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan itu meyakinkan, Pemerintah dan Bank Indonesia akan terus mengelola utang luar negeri Indonesia dalam batas yang aman sehingga tidak membahayakan fundamental ekonomi yang telah terbangun kuat selama ini. Ia menyebutkan, hal yang akan terus dicermati adalah peningkatan debt service ratio (DSR) dari 34,95 persen pada 2012 naik menjadi 42,73 persen pada akhir 2013.

"Seiring dengan pelemahan pasar ekspor dunia sepanjang 2013 telah membuat DSR kita mengalami peningkatan. Pada 2014 ini seiring dengan membaiknya ekonomi sejumlah negara di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat maka kita optimistis ekspor nasional akan mengalami peningkatan. Dan membuat DSR kita akan tetap terjaga dalam rentan tetap aman sepanjang 2014," pungkas Firmanzah.
http://www.sayangi.com/ekonomi/ekbis...terus-melonjak


Utang Swasta Berpotensi Gagal Bayar Akibat Pelemahan Rupiah
Jumat, 28 Juni 2013 14:14 WIB


JAKARTA, Jaringnews.com - Utang luar negeri pihak swasta berpotensi gagal bayar (default) bila nilai tukar Rupiah melemah berkelanjutan. Dolar AS yang terus menguat hingga lebih dari Rp10 ribu per dolar pada akhirnya akan menyulitkan dunia usaha membayar utang, apalagi pasok dolar di dalam negeri masih terbatas.

"Kelemahan kita sekarang memang pada pasok dolar yang terbatas. Kalau utang luar negeri swasta tidak dijaga, maka akan menimbulkan bahaya default. Karena nilai tukar Rupiah terhadap dolar juga sudah Rp10.000-an per dolar," kata Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), Aviliani di Jakarta, hari ini (28/6).

Doktor ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengatakan Pemerintah saat ini tidak bisa lagi mengandalkan capital inflow untuk mendukung penguatan nilai tukar Rupiah. "Meskipun investasi banyak, kelihatannya Rupiah yang agak melemah tidak bisa didukung oleh capital inflow," katanya.

Di saat yang sama, aliran modal keluar ( capital outflow) akibat adanya wacana yang digulirkan Chairman Federal Reserve, Ben Bernanke terkait percepatan penghentian kebijakan quantitative easing (QE), justru meningkat. "Ini yang membuat jadi lebih riskan, karena utang luar negeri swasta umumnya jangka pendek, hanya delapan bulan. Kalau dulu, jangkanya rata-rata 4,5-5 tahun," tuturnya.

Aviliani terutama meminta Pemerintah untuk memperhatikan secara serius utang luar negeri swasta yang akan jatuh tempo pada September 2013. "Jangan sampai terjadi default, karena hal ini akan membuat kepercayaan internasional terhadap Indonesia akan turun gara-gara ada satu perusahaan saja yang tidak bisa membayar utang," ujar Aviliani.

Aviliani mengatakan bahwa banyak kalangan yang menyebutkan, jika utang luar negeri swasta yang jatuh tempo pada September mendatang dibayar dengan cadangan devisa di Bank Indonesia (BI), maka cadev hanya akan tersisa US$50 miliar. "Ini sudah sangat bahaya, karena batas psikologis cadev saja USD100 miliar," imbuhnya.

Menurut data, utang luar negeri swasta hingga Januari lalu mencapai US$ 125,05 miliar. Yang paling banyak menyumbang utang ini ialah sektor keuangan, jasa perusahaan, dan persewaan yang mencapai US$ 33,45 miliar.Sektor industri pengolahan/manufaktur sebesar menarik utang luar negeri sebesar US$ 25,67 miliar, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian sebesar US$ 21,08 miliar.
http://jaringnews.com/ekonomi/umum/4...lemahan-rupiah


DPR Ingatkan Jokowi, Bahaya Krisis Ekonomi 1998 Akan Terjadi
DPR minta pemerintah jangan santai menanggapi pelemahan rupiah.
Jum'at, 6 Maret 2015 | 12:47 WIB

VIVA.co.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengingatkan pemerintahan Presiden Joko Widodo akan ancaman krisis ekonomi baru, seperti tahun 1998. Mengingat nilai tukar rupiah yang fluktuatif dan cenderung melemah.

Berdasarkan pantauan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, Kamis kemarin, rupiah sempat ke level 13.022 per dolar AS. Hari ini, Jumat 6 Maret 2015, rupiah berhasil naik tipis 39 poin atau 0,29 persen dengan menembus level 12.983 per dolar AS.

Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan, mengatakan pemerintah terutama Bank Indonesia (BI), perlu mencermati pergerakan rupiah seperti ini.

"Perlu ada kewaspadaan dari kita semua, jangan sampai itu menjadi hal yang bisa menimbulkan krisis ekonomi yang baru," kata Taufik, di Gedung DPR, Jakarta.

Selain itu, dia menyarankan agar menteri keuangan dan menteri koordinator perekonomian, perlu mencermati fluktuasi nilai rupiah yang trennya terus menurun.

Menurut Taufik, pergerakan rupiah saat ini tidak wajar. Meskipun semua negara juga mengalami hal yang sama, tapi situasinya tidak seperti rupiah dan ini harus diwaspadai akan ancaman krisis.

"Katakanlah ini mengenai masalah eksternal. Tapi dari eksterenal itu kok yang paling rendah mata uang rupiah, kira-kira seperti itu. Yang lainnya mungkin nol koma sekian, tiga koma sekian. Rupiah ini kan minus empat koma sekian," kata politisi PAN tersebut.

Pemerintah juga perlu mencermati utang-utang swasta. Kalau situasi rupiah seperti ini, katanya, dan ditambah jatuh tempo utang swasta maka dikhawatirkan Indonesia akan benar-benar krisis.

"Perlu diingat, jangan sampai ini ditambah lagi. Kondisi saat jatuh temponya utang luar negeri dari pihak swasta. Karena ini juga pasti memberatkan nilai rupiah lagi. Ini barikade kekuatan nilai tukar rupiah kembali harus diperkuat lagi," jelasnya.

Taufik mengingatkan, pemerintah jangan terlalu santai melihat rupiah saat ini. Apalagi, menganggap nilai tukar per dolar AS menembus hingga kisaran 12.983-13.022 masih dalam posisi yang wajar.
"Trennya rupiah pada 1998 juga buruk hingga menyentuh 17 ribu. Nah, sekarang sudah tembus di 13 ribu. Jangan sampai lebih dari 15 ribu, wah bahaya itu," tuturnya.

Kalau pemerintah terlalu santai dan menganggap ini masih wajar, Taufik takut nanti akan terjadi keterkejutan di pasar. Akibatnya, krisis tidak bisa terhindari dan pemerintah akan sangat kesulitan mengatasinya.

"Kita kan kadang-kadang (bilang) biasa, biasa, biasa, nanti lama-lama kita menjadi shok pasar, jangan sampai terjadi rush (kepanikan besar), ya, ini yang bahaya," kata Taufik.

Apalagi, saat ini Taufik melihat kesenjangan kaya dan miskin yang sudah menembus angka empat. Sebab, dia mengungkapkan, di negara Timur Tengah hanya 4,4, maka krisis pun terjadi yang diikuti konflik sosial.

"Di Indonesia ini sudah empat koma sekian, hampir mendekati kurang nol koma dua, empat koma satuan. Ini yang harus diwaspadai jangan sampai aspek kesenjangan disparitas ini, kesenjangan sosial dari si kaya dengan si miskin semakin melebar," ujar Taufik
http://bisnis.news.viva.co.id/news/r...8-akan-terjadi


OJK: Jika Rupiah Sentuh Rp 15.000, Lima Bank Nasional Terhantam
Kamis, 12 Maret 2015 | 23:09 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah hingga level Rp 15.000 per dollar AS akan menghantam permodalan lima bank nasional.

Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis mengatakan, penyataan tersebut didasarkan pada hasil stress test yang dilakukan OJK terhadap perbankan di Indonesia, tetapi Irwan enggan menyebutkan nama sejumlah bank tersebut.

"Depresiasi rupiah terhadap dollar AS jika sampai Rp 15.000 per dollar AS akan meng-hit (menghantam) permodalan satu hingga lima bank nasional," ujar Irwan saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/3/2015).

Irwan menuturkan, terkait hasil stress test tersebut, OJK sudah memanggil manajemen bank yang kinerjanya berpotensi terganggu oleh pelemahan rupiah.

"Kalau rupiahnya Rp 14.000 per dollar AS, bank-bank di sini masih oke," kata Irwan.

Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan hingga akhir Januari 2015 tercatat sebesar 21,01 persen, naik dibandingkan Desember 2014 yang mencapai 19,57 persen.

Menurut Irwan, peningkatan tersebut disebabkan oleh membesarnya jumlah laba yang ditahan oleh bank. Rasio tersebut juga dinilai masih jauh lebih tinggi dari batas normal yang sebesar 14 persen.

Irwan menambahkan, jika depresiasi rupiah menembus Rp 15.000 per dollar AS, maka kondisi tersebut akan mengganggu stabilitas makro ekonomi. Variabel pertumbuhan ekonomi dinilai akan mengalami penurunan, mengikuti pelemahan rupiah.

Selain itu, lanjut Irwan, pelemahan rupiah juga akan mendorong peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL) dan sebagian besar indikator ekonomi makro.

"Kami berharap rupiah tidak tertekan lebih jauh lagi," kata Irwan.

Berdasarkan data kurs JISDOR Bank Indonesia pada Kamis, nilai tukar rupiah kembali melemah menjadi Rp 13.176 per dollar AS, dibandingkan hari sebelumnya Rp 13.164 per dollar AS.
http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...onal.Terhantam


---------------------------------------

Pemerintahan rezim Jokowi dan Bank Indonesia serta otoritas moneter Indonesia sebaiknya berhati-hati dan mulai mencarikan jalan keluar atas tingginya beban utang swasta dalam valas itu, apalagi yang di 'hedge' hanya 26% saja. Peristiwa kejatuhan ekonomi Indonesia tahun 1997 lalu, salah satu penyebab utamanya adalah akibat terlalu besarnya utang-utang swasta yang tidak di 'hedge' sehingga ketika kurs jatuh, mereka semua langsung 'collaps' yang berakibat fatal dengan keruntuhan ekonomi kita pada masa itu.

Kini dengan rupiah yang terus merosot, bahkan bisa saja bakalan menebus Rp 15.000/US$  (bangka.tribunnews.com), apa tidak meungkin peristiwa ulangan "krismon 1997" dulu tidak akan terulang kembali? Apalagi sudah ada "warning" sebelumnya bahwa apalabila rupiah jeblog hingga dikhawatirkan bisa mencapai Rp 15.000/US$, akan berakibat fatal dengan amburuknya 5 bank nasional. Dan juga kemungkinan bangkrutnya swasta Indonesia akibat lonjakan utang yang besar akibat tak sanggup menghadapi kemerosotan kurs rupiah yang besar akibat utang-utangnya yang di "hedge" sangatlah sedikit.

SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive