SITUS BERITA TERBARU

Din Dukung jika Pemerintah Terima Pengungsi Rohingya

Tuesday, May 19, 2015
PEKANBARU, KOMPAS.com — Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan setuju jika Pemerintah Indonesia menerima etnis Muslim Rohingya asal Myanmar yang saat ini terdampar di Aceh. Jumlahnya sudah mencapai ratusan orang.

"Ada ketentuannya memang, tetapi saya pribadi senang sekali etnis Rohingya Myanmar bisa diterima di Indonesia karena kebetulan mereka tak berwarga negara dan mereka juga Muslim. Indonesia akan berbesar hati karena masih banyak pulau yang belum dihuni," kata Din di Pekanbaru, Senin (18/5/2015) malam.

Menurut Din, yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), dari 17.000 pulau yang ada di Indonesia, baru setengah saja yang dihuni. Jika diberi satu pulau saja untuk didiami pengungsi Rohingya, menurut dia, itu sudah cukup.

"Ini pilihan yang baik, saya termasuk orang yang setuju. Tapi, tidak perlu pakai petisi, sampaikan saja kepada Presiden dengan baik," kata Din.

Namun, dia mengakui, ada konsekuensi jika kesempatan itu diberikan.

"Orang juga akan berbondong-bondong datang ke Indonesia, apalagi Indonesia saat ini masih punya banyak masalah juga. Tapi, dipilah-pilahlah," ujarnya.

Sebagai Ketua MUI, Din mengimbau umat Islam dan organisasi masyarakat yang lokasinya berdekatan dengan pengungsi Rohingya, seperti di Aceh, Sumut, dan Kepulauan Riau, agar memberikan bantuan.

"Syukur alhamdulillah, banyak yang mau membantu. Untuk ini, dibantu saja, bagi Indonesia ini memang risiko. Anggap saja ini adalah ujian Allah ada orang yang terdampar di rumah kita," ujarnya.

Pekan lalu, sekitar 600 orang pengungsi Rohingya asal Myanmar terdampar di Aceh Utara. Mereka mengaku tujuannya ialah ke Malaysia, tetapi ditipu tekong perahu sehingga mereka terombang-ambing di laut hingga akhirnya ditolong nelayan Aceh.

Sumber   (nasional.kompas.com)

Negara ini pernah menerima dan menampung para pengungsi dari negara lain sebelumnya. Contohnya pengungsi Vietnam di Batam.

Perang Vietnam yang berlangsung tahun 1955-1975 membawa banyak korban berjatuhan dan pengungsi dengan jumlah yang tidak sedikit. Banyak dari mereka yang mengungsi ke Pulau Galang di Kepulauan Riau. Berikut kisahnya.

Ketika masih di Sekolah, saya banyak mendengar dan belajar sejarah tentang ratusan ribu pengungsi Vietnam Selatan yang melarikan diri meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi ke negara lain pasca perang di Vietnam. Saat peristiwa itu terjadi, banyak pengungsi meninggalkan negaranya dengan perahu-perahu dengan kondisi memprihatinkan. Satu perahu bisa diisi 40-100 orang.

Berbulan-bulan para pengungsi ini terombang-ambing di tengah perairan Laut China Selatan, tanpa tujuan yang jelas. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan, ada yang terdampar di pulau karang tanpa bahan makanan, dan ada sebagian lagi dapat mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia, seperti Pulau Galang, Tanjung Pinang, Kepulauan Natuna dan pulau-pulau di kepulauan Riau.

Karena banyak cerita mengenai para pengungsi ini, bahkan ada yang difilmkan, bagaimana penderitaan para pengungsi itu untuk bertahan hidup selama pengungsian, bahkan di tempat penampungan. Maka sayapun terdorong ingin mengunjungi pulau Galang, di Provinsi Kepulaun Riau, di mana terdapat tempat penampungan sementara bagi para pengungsi tersebut.

UNHCR dan Pemerintah Indonesia membangun berbagai fasilitas di sana, seperti barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah, bahkan penjara, yang digunakan untuk memfasilitasi sekitar 250.000 pengungsi. Para pengungsi ini dikonsentrasikan di satu permukiman seluas 80 hektar dan tertutup interaksinya dengan penduduk setempat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan penjagaan keamanan.

Juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin yang menjangkiti para pengungsi Vietnam, yang dikenal dengan Vietnam Rose. Di tempat ini, para pengungsi meneruskan hidupnya sepanjang tahun 1979-1996, hingga akhirnya mereka mendapat suaka dari negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam.

Ketika saya dan teman saya sampai di bandara Hang Nadim, Batam, kami menyewa taksi untuk meneruskan perjalanan menuju Pulau Galang. Jarak Pulau Galang dari kota Batam sekitar 50 km yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam. Dalam perjalanan menuju pulau Galang, kami melewati jembatan Barelang, jembatan penghubung pulau Batam, Pulau Rempang dan pulau Galang. Jembatan megah ini diprakarsai oleh BJ. Habibie.

Sesampai kami di sana, suasana sepi menyambut kami, dengan bangunan-bangunan yang sudah tidak terawat lagi. Setelah kami melewati pintu gerbang, kemudian menyusuri jalan aspal dengan kanan kiri terdapat tanda pengenal jalan dan nama tempat, dan kami pun sampai di sebuah taman yang terdapat sebuah patung, Patung Taman Humanity atau Patung Kemanusiaan.

Ada pun cerita mengenai patung ini menggambarkan sosok wanita yang bernama Tinhn Han Loai yang diperkosa oleh sesama pengungsi. Karena malu menanggung beban diperkosa, akhirnya ia memutuskan bunuh diri. Dalam rangka mengenang peristiwa tragis itulah maka patung ini dibuat oleh para pengungsi.

Melanjutkan perjalanan, tidak jauh dari Patung Taman Humanity, terdapat areal pemakaman yang bernama Ngha Trang Grave. Di sini, dimakamkan 503 pengungsi Vietnam yang meninggal karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu, depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah. Suasana yang sepi di areal pemakaman cukup membuat bergidik juga, untung saya tidak sendirian.

Setelah melewati areal pemakaman, kami sampai di Monumen Perahu yang terdiri atas tiga perahu yang digunakan para pengungsi ketika meninggalkan Vietnam. Dengan perahu seperti itulah mereka berbulan-bulan mengarungi lautan hingga sampai di pulau Galang ataupun pulau-pulau lainnya di sekitar Kepulauan Riau.

Ada pun perahu-perahu ini adalah perahu-perahu yang diangkat ke daratan dan direnovasi, ada juga perahu-perahu itu yang sengaja ditenggelamkan dan bahkan ada yang dibakar oleh para pengungsi sebagai bentuk protes atas kebijakan UNHCR dan Pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan sekitar 5.000 pengungsi, karena mereka tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan, atau suaka dari negara negara lain seperti Australia, Perancis, Amerika Serikat dan negara lainnya.

Setelah dari monumen perahu, kami melanjutkan perjalanan melewati bangunan-bangunan bekas tempat tinggal yang masih tersisa di tempat pengungsian ini. Rasa sedih memenuhi ketika melihat peninggalan yang bersejarah ini, kini tidak begitu terawat, banyak semak belukar, bahkan banyak bangunan yang sudah rusak.

Saya membayangkan pada masa itu, tempat ini ramai dengan pengungsi, bagaikan sebuah kampung kecil. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kehidupan para pengungsi di kamp ini kita dapat mengunjungi museum yang masih menyimpan berbagai peralatan sehari-hari, foto-foto para pengungsi dan juga foto-foto kegiatan yang mereka lakukan.

Selain itu, berbagai tempat ibadah yang dulu dibangun untuk memfasilitasi pengungsi, juga masih ada hingga kini. Seperti, Vihara Quan Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan juga mushola. Tempat-tempat ibadah ini pun tidak jauh berbeda kondisinya dengan bangunan lain yang sudah tidak terawat dan rusak.

Hanya Vihara Quan Am TU yang masih terlihat terawat dan masih digunakan. Vihara Quan Am TU merupakan salah satu tempat ibadah yang paling mencolok di area itu. Cat bangunan yang berwarna-warni membuat pengunjung dapat mengenalinya dari kejauhan.

Ketika akan masuk ke areal Gereja Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, kita membaca sebuah papan nama gereja serta terdapat juga tulisan 'Galang, Memory of a tragedy past', suatu pesan yang dalam dari tragedi kemanusiaan akibat perang. Sebuah renungan kepedihan betapa akibat dari perang adalah penderitaan bagi sebagian besar rakyat yang menjadi korban, keluarga-keluarga terpisah, anak-anak yang harus di adopsi oleh keluarga dari negara lain.

Bahkan beberapa waktu lalu saya mendapat sebuah email dari seorang wanita Vietnam yang tinggal di Amerika, yang menanyakan alamat dan bagaimana cara menuju ke tempat pengungsian di Pulau Galang. Dia ingin berziarah mengunjungi tempat di mana dia pernah tinggal ketika masih kecil, sebelum akhirnya diadopsi oleh keluarga dari Amerika.

http://m.detik.com/travel/read/2015/01/25/123000/2794553/1025/kisah-sedih-kamp-pengungsi-vietnam-yang-terbengkalai-di-pulau-galang&ei=S_6Vs-He&lc=id-ID&s=1


Kenapa pengungsi Rohingya ini tidak boleh ditampung? Mana rasa kemanusiaan kita? Mana rasa welas asih yang dulu dimiliki bangsa ini? Sudah terkikis habis? Miris sekali jika begitu.

Link: http://adf.ly/1HOtvm
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive