SITUS BERITA TERBARU

Perusahaan sawit Luhut Panjaitan ( Ka Staff Jokowi) diduga serobot tanah petani

Wednesday, May 13, 2015
Luhut Binsar Panjaitan masih enggan memberi keterangan langsung seputar perusahaan tambang dan sawit miliknya yang diduga menyerobot lahan sekaligus mencemari lingkungan warga di Kecamatan Muara Jawa, Kutai Kartanegara (Kukar). Namun, melalui beberapa orang dekatnya, sang kepala staf Kepresidenan coba memberi jawaban.

Di Jakarta, sejak Senin (11/5) pagi, Kaltim Post berusaha melakukan konfirmasi langsung ke Luhut melalui beberapa orang terdekat. Tapi, hingga pukul 20.00 WIB, jawaban tak kunjung didapat.

Menurut salah satu orang kepercayaannya, pria 67 tahun asal Toba Samosir, Sumatera Utara, itu tak bisa berkomentar. Sebab, Luhut telah melepaskan seluruh jabatannya, baik di perusahaan tambang PT Kutai Energi (KE), PT Perkebunan Kaltim Utama (PKU), maupun beberapa perusahaan lain, sebelum ditunjuk menjadi kepala staf Kepresidenan.

"Aturannya 'kan begitu (nonaktif dari perusahaan, Red)," sebut sumber tadi.

Walau begitu, mantan menteri Perindustrian era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ini telah meminta pihak manajemen KE maupun PKU untuk mengonfirmasi berita tersebut. "Kami sudah minta mereka (KE dan PKU) menjelaskan soal berita itu, tapi sampai malam ini belum ada jawaban dari mereka," katanya.

Kepada Kaltim Post, baru Suaidi Marasabessy yang memberikan komentar dalam kapasitas dia sebagai direktur utama (Dirut) PKU. Mengomentari laporan kelompok tani "Maju Bersama" yang diketuai Rukka ke Mabes Polri, Letjen (Purn) TNI yang dikenal dekat dengan Luhut ini mengatakan dia baru saja memberikan klarifikasi kepada polisi.

"Bukan diperiksa. Hanya memberikan klarifikasi sedikit," ujar mantan kasum TNI yang kini anggota Dewan Kehormatan Partai Demokrat tersebut.

Menurut Suaidi, pihak perusahaan sudah 12 kali bertemu dengan warga, termasuk kelompok tani yang diketuai Rukka. Selama pertemuan, manajemen perusahaan selalu meminta warga untuk menunjukkan surat pernyataan penguasaan tanah (SPPT).

"Tapi, pihak Rukka cs ini tidak pernah menunjukkan suratnya," ungkap mantan Pangdam VII/Wirabuana ini via jalur seluler malam tadi.

Dia menyebut kelompok tani yang mengklaim lahan bukan hanya Rukka dkk. Ada beberapa kelompok lain yang telah mendapat ganti rugi, meski Suaidi tak menyebut jumlahnya. Karena itu, agar fair, Suaidi juga meminta penyidik polisi mengecek keabsahan surat warga.

Suaidi juga menyebut, jika PKU mendapat komplain dari warga, tim dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) maupun Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kukar tentu selalu mengecek.

Dirinya mengklaim, bahwa baik sawit maupun perusahaan tambang yang ada di daerah sekitar tak pernah mencemari lingkungan. "Makanya, saya tidak percaya kalau ada pencemaran," tegasnya.

Ditambahkannya pula, pimpinan kelompok tani "Maju Bersama" sebenarnya sudah sering bertemu dengan pihak perusahaan. Namun, Suaidi menyebut Rukka cs memang tak pernah menunjukkan surat tersebut jika diminta. "Hal itulah yang menyebabkan masalah ini berlarut-larut," ungkap Suaidi.

Selain itu, dia menegaskan siap jika pihak kepolisian kembali memanggilnya untuk memberikan keterangan atau mendampingi penyidik untuk kembali meninjau lokasi dimaksud.

Suaidi bahkan menyebut, lahan sawit yang sebenarnya dipermasalahkan itu adalah take over dari manajemen sebelumnya. Hingga saat ini, PKU sendiri belum melakukan penanaman sawit. "Kebun sebenarnya sudah ada sejak 2008 lalu. Kami hanya melanjutkan. Kenapa tidak dipermasalahkan dari sebelumnya dan kenapa baru sekarang?" timpal dia.

PATAH ARANG
Sebelumnya diwartakan, kelompok tani Maju Bersama dari RT 6 Sungai Nangka, Kelurahan Teluk Dalam, Kecamatan Muara Jawa, menyatakan telah melapor ke Mabes Polri, ihwal dugaan penyerobotan sekaligus pencemaran lingkungan mereka oleh KE dan PKU. Penyidik dari Polda Kaltim juga telah datang pada Jumat (8/5) lalu untuk mengecek lokasi.

Tanah yang diklaim warga seluas 602 hektare. Saat dikonfirmasi terpisah, Akmal Rabani, perwakilan kelompok tani Maju Bersama mengatakan, warga belum mau menunjukkan SPPT kepada perusahaan karena belum sepakat soal bagi hasil.

"Perusahaan sebelumnya menawarkan opsi 70-30, dengan pembagian lebih besar perusahaan daripada warga. Belakangan berubah lagi menjadi 80-20. Kami jelas tidak mau," katanya.

Kini, apapun opsi yang ditawarkan warga kadung patah arang. Mereka hanya meminta persoalan ini diselesaikan melalui jalur hukum.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, yang mendampingi masyarakat mengatakan, laporan ke polisi tersebut juga atas dasar pertemuan antara warga dengan beberapa rekan Jatam dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim.

"Saya harap dengan polisi untuk bisa menyelesaikan kasus ini dengan obyektif," ujar Dinamisator Jatam Kaltim, Merah Johansyah.

Merah menilai, pihak perusahaan sudah melanggar aturan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pasal 135 dan 136. Karena belum ada kesepakatan antara pihak perusahaan dan pemilik lahan untuk melakukan proses penambangan dan perkebunan sawit.

Merah menilai, dalam penyelesaian kasus ini, warga memiliki hak veto. "Jika benar melanggar, kenapa tidak dihentikan?" ujarnya. Selain itu, Jatam dan Walhi juga mendukung penuh warga untuk tidak bernegosiasi lagi dengan perusahaan.

SEBUT TAAT IZIN
Di Tenggarong, Kabid Pengendalian Dampak Lingkungan Kegiatan Ekonomi Alfian Noor, mewakili Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kukar Muhammad Syaifuddin, tampak berhati-hati ketika berbicara soal tambang KE.

Alfian menyebut, secara administratif, KE merupakan perusahaan taat izin. Hingga saat ini KE dinilai belum ada dugaan pencemaran lingkungan, sebab, perizinan terpenuhi. "Tapi tim dari BLHD bakal turun. Kami belum dapat menyimpulkan KE ini perusahaan baik atau tidak baik," ulas dia.

Ia membagi masalah ini ke dalam dua hal. Pertama soal dugaan pencemaran lingkungan, dan kedua kesepakatan lahan. "Satu masalah muncul karena ada masalah (lahan) yang tak selesai. Kemudian berkembang ke pencemaran sungai. Makanya, kami harus verifikasi ke lapangan," ucap dia.

Secara teknis, BLHD bakal mengambil sampling di sungai tersebut. Ini untuk memastikan apakah memang tercemar karena aktivitas KE atau dari awal memang sudah begitu keadaannya. "Apakah sungai itu hanya dialiri satu perusahaan? Makanya harus kami cek dulu," ungkap dia.

Alfian menuturkan, ada pengawasan reguler oleh BLHD setahun sekali. Tapi, kata dia, ada 400 lebih izin yang dikeluarkan, sementara jumlah pengawas terbatas. "Meski begitu, kami siap turun ke lapangan. Wajib bagi kami menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Kami harus cari sumbernya siapa yang melaporkan," kata dia.

Jika KE terbukti mencemarkan lingkungan, ada sanksi yang disiapkan. Sanksi paling ringan adalah teguran tertulis. Sementara yang terberat adalah pencabutan izin. "Dari hasil investigasi BLHD di lapangan akan kami buat rekomendasi dan surat sanksinya. Nanti kami rapatkan sanksi apa yang pantas diberikan," jelas Alfian. (*/dra/*/hdd/pra/zal/k9)


http://www.kaltimpost.co.id/berita/d...awa-buntu.html

Link: http://adf.ly/1H2T2B
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive