Pengamat politik Tarli Nugroho mengungkapkan strategi dan skenario Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam menghadapi kubu atau "gerombolan" Joko Widodo yang berusaha merebut "Kandang Banteng".
Menurut Tarli, pernyataan Megawati soal adanya 'para pembonceng', 'orang-orang yang mengambil kesempatan di tikungan', telah memberikan penjelasan yang terang mengenai apa yang sebenarnya terjadi di belakang "dapur Istana".
Tarli mengambarkan ilustrasi upaya perebutan PDIP dari tangan Megawati. "Ilustrasi ringkasnya adalah: sedang dibangun sebuah blok baru di luar 'Blok Mega' dengan Jokowi sebagai ikonnya. Di mana, sesudah 'Istana' berhasil direbut, maka target berikutnya adalah merebut Kandang Banteng. Dan itu bisa menjelaskan banyak hal," kata Tarli Nugroho dalam keterangannya intelijen (10/04).
Megawati, kata Tarli, telah menempatkan empat 'orang-orang loyalnya' di posisi menteri Kabinet Kerja. Kata Tarli, empat kader PDIP yang ditugaskan jadi menteri secara kualitas mungkin biasa-biasa saja, bukan yang terbaik, tetapi mereka adalah orang-orang yang bisa loyal pada Megawati.
"Secara komposisional, dengan cerdik Mega telah menempatkan dua kader senior dan dua kader muda untuk duduk di kabinet. Sebagai kader partai dan politisi, Tjahjo Kumolo dan Yasonna Laoly tentu jauh lebih senior dari Jokowi," kata Tarli.
Dari sisi usia, menurut Tarli, bagi Tjahjo dan Yasonna mungkin jabatan menteri akan menjadi puncak karir bagi keduanya. Meskipun di atas kertas Tjahjo dan Yasonna adalah pembantu presiden, secara personal keduanya tidak akan mudah didikte oleh presiden.
Menurut Tarli, pernyataan Megawati soal adanya 'para pembonceng', 'orang-orang yang mengambil kesempatan di tikungan', telah memberikan penjelasan yang terang mengenai apa yang sebenarnya terjadi di belakang "dapur Istana".
Tarli mengambarkan ilustrasi upaya perebutan PDIP dari tangan Megawati. "Ilustrasi ringkasnya adalah: sedang dibangun sebuah blok baru di luar 'Blok Mega' dengan Jokowi sebagai ikonnya. Di mana, sesudah 'Istana' berhasil direbut, maka target berikutnya adalah merebut Kandang Banteng. Dan itu bisa menjelaskan banyak hal," kata Tarli Nugroho dalam keterangannya intelijen (10/04).
Megawati, kata Tarli, telah menempatkan empat 'orang-orang loyalnya' di posisi menteri Kabinet Kerja. Kata Tarli, empat kader PDIP yang ditugaskan jadi menteri secara kualitas mungkin biasa-biasa saja, bukan yang terbaik, tetapi mereka adalah orang-orang yang bisa loyal pada Megawati.
"Secara komposisional, dengan cerdik Mega telah menempatkan dua kader senior dan dua kader muda untuk duduk di kabinet. Sebagai kader partai dan politisi, Tjahjo Kumolo dan Yasonna Laoly tentu jauh lebih senior dari Jokowi," kata Tarli.
Dari sisi usia, menurut Tarli, bagi Tjahjo dan Yasonna mungkin jabatan menteri akan menjadi puncak karir bagi keduanya. Meskipun di atas kertas Tjahjo dan Yasonna adalah pembantu presiden, secara personal keduanya tidak akan mudah didikte oleh presiden.
"Sedangkan Puan, meskipun tergolong muda, bahkan lebih muda dari Presiden Jokowi, secara kultur dia selalu menempatkan dirinya lebih tinggi dari presiden. Sebagai puteri ketua umum partai yang juga mantan presiden, dan apalagi sebagai cucu pendiri Republik ini, baginya Jokowi posisinya memang tak lebih dari sekadar 'petugas partai'. Di mana dalam hirarki itu posisinya secara sosiologis dan historis jauh lebih tinggi. Ironis memang. Tapi demikianlah kenyataannya," papar Tarli.
Tak hanya itu, menurut Tarli, ditahannya sejumlah kader muda PDIP yang 'cemerlang' untuk tetap berada di luar kabinet, dengan kata lain tetap berada di dalam partai, adalah strategi kunci yang membuat sosok Megawati tetap bertahan dan power full dalam Kongres IV PDIP.
Selain itu, Tarli mengatakan, sejak awal Megawati memahami bahwa maju dan diajukannya Jokowi sebagai presiden pertama-tama bukanlah kehendak partai, melainkan terutama karena dorongan dari luar.
"Dan tekanan dari luar itu demikian kuatnya, sehingga meskipun di atas kertas PDIP adalah partai pemenang Pemilu, dan secara formal Jokowi adalah calon dari Kandang Banteng, namun Mega menyadari bahwa pemerintahan yang terbentuk tidaklah bisa disebut sebagai pemerintahannya PDIP," ungkap Tarli.
Tarli menyatakan, yang terjadi pada Jokowi, kemudian disebut berada di bawah cengkeraman kekuasaan lain di luar partai, bisa juga terjadi pada kader PDIP yang masuk pemerintahan. "Itu sebabnya Mega menahan banyak kadernya untuk tak terlibat terlalu banyak dalam pemerintahan," pungkas Tarli.
Sumber: http://www.intelijen.co.id/ini-dia-s...mbolan-jokowi/
ternyataaaa begitu thooo
Dikutip dari: http://adf.ly/1EOFIS


