Siapa Penebang Kayu Jati di Perkara Nenek Asyani Misteri

Situbondo-Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, tak mampu mengungkap siapa sebenarnya pelaku penebangan pohon jati milik Perhutani seperti dakwaan jaksa penuntut umum. Majelis hakim hanya menjerat nenek Asyani dengan Pasal 12d juncto Pasal 83 ayat 1a UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pasal 12d berbunyi bahwa setiap orang dilarang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam pidana paling rendah 1 tahun atau denda Rp 500 juta seperti tertera dalam Pasal 83 ayat 1a.
Namun selama proses persidangan tidak terungkap bagaimana Asyani memperoleh kayu jati Perhutani seperti yang dituduhkan polisi dan jaksa. "Majelis hakim hanya menghubung-hubungkan kayu yang dimiliki nenek Asyani dengan hilangnya dua pohon jati Perhutani," kata kuasa hukum Asyani, Supriyono, Kamis kemarin, 23 April 2015.
Asyani mengatakan dengan kondisi fisiknya yang renta mustahil mampu menebang dua pohon jati milik Perhutani. Apalagi dua pohon jati tersebut berdiameter 105 sentimeter dan 115 sentimeter. "Buat jalan saja susah, mana mungkin menebang pohon," kata nenek bercucu empat ini.
Suami Asyani, Sumardi, sudah meninggal lima tahun lalu. Sebelum meninggal Sumardi dan Asyani memang pernah menebang tiga pohon jati di ladangnya sendiri di Dusun Secangan, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng. Tiga pohon berdiameter 50 sentimeter itulah yang dia simpan bertahun-tahun di bawah ranjang.

Situbondo-Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, tak mampu mengungkap siapa sebenarnya pelaku penebangan pohon jati milik Perhutani seperti dakwaan jaksa penuntut umum. Majelis hakim hanya menjerat nenek Asyani dengan Pasal 12d juncto Pasal 83 ayat 1a UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pasal 12d berbunyi bahwa setiap orang dilarang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam pidana paling rendah 1 tahun atau denda Rp 500 juta seperti tertera dalam Pasal 83 ayat 1a.
Namun selama proses persidangan tidak terungkap bagaimana Asyani memperoleh kayu jati Perhutani seperti yang dituduhkan polisi dan jaksa. "Majelis hakim hanya menghubung-hubungkan kayu yang dimiliki nenek Asyani dengan hilangnya dua pohon jati Perhutani," kata kuasa hukum Asyani, Supriyono, Kamis kemarin, 23 April 2015.
Asyani mengatakan dengan kondisi fisiknya yang renta mustahil mampu menebang dua pohon jati milik Perhutani. Apalagi dua pohon jati tersebut berdiameter 105 sentimeter dan 115 sentimeter. "Buat jalan saja susah, mana mungkin menebang pohon," kata nenek bercucu empat ini.
Suami Asyani, Sumardi, sudah meninggal lima tahun lalu. Sebelum meninggal Sumardi dan Asyani memang pernah menebang tiga pohon jati di ladangnya sendiri di Dusun Secangan, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng. Tiga pohon berdiameter 50 sentimeter itulah yang dia simpan bertahun-tahun di bawah ranjang.
Pada Juni 2014 Asyani hendak membuat kursi panjang ke adik iparnya, Sucipto. Kayu kemudian diangkut oleh menantunya, Ruslan, menyewa pikap milik Abdus Salam. Sebelum sampai di rumah Sucipto, Ruslan menyewa seorang tukang untuk memotong-motong kayu itu.
Kuasa hukum telah menghadirkan dua tetangga Asyani sebagai saksi meringankan, yakni Yuni dan Mataha. Dalam risalah putusan hakim, kedua saksi mengetahui bahwa Asyani menyimpan batang kayu tersebut selama bertahun-tahun.
Pada 4 Juli 2014, Kesatuan Pemangku Hutan Jatibanteng melapor telah kehilangan dua pohon jati dipetak 43F ke Polsek Jatibanteng. Polsek dan Perhutani kemudian melakukan operasi bersama dan menemukan 38 papan kayu jati di rumah Sucipto pada 7 Juli 2014. Sucipto mengaku bahwa 38 papan kayu tersebut milik Asyani. Dari sinilah kemudian Asyani diadili.
Anggota majelis hakim Meirina Dewi Setiyowati, menganggap, pernyataan Asyani hanya alibi. Sebab dalam fakta-fakta persidangan, kata Meirina, terungkap bahwa corak kayu dari 38 papan kayu tersebut identik dengan dua tonggak pohon jati Perhutani.
Majelis lalu menghadirkan Pejabat Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB) dan Penerbit SKAU (Surat Keterangan Asal Usul), Hartono, sebagai saksi ahli. "Hasil identifikasi dari saksi Hartono menyatakan corak kayu dan kadar air antara barang bukti dengan tonggak di hutan Perhutani identik," kata Meirina.
Majelis hakim yang diketuai I Kadek Dedy Arcana, memvonis Asyani dengan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari penjara. Namun karena mempertimbangkan usia dan kesehatan terdakwa, maka Asyani dijatuhi hukuman percobaan selama 15 bulan.
SUMBER......
Kasus yang terkesan janggal, yang menebang kayunya aja, enggak ketahuan siapa, itu artinya hukum di Indonesia terkesan 'tumpul keatas dan tajam ke bawah' memang benar adanya!!!!!!
Dikutip dari: http://adf.ly/1Fk4pa


