Please disable ad-blocker to view this page



SITUS BERITA TERBARU

Daftar Panjang Dosa Si Pangeran Tommy Soeharto

Monday, April 20, 2015
Daftar Panjang Dosa Si Pangeran Tommy Soeharto

Menjadi anak presiden, rupanya tidak selamanya menguntungkan. Begitulah yang dialami Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Segala kejayaan Tommy langsung sirna begitu ayahnya dilengserkan dari kursi presiden. Setelah Soeharto lengser, Tommy pun dibidik berbagai kasus korupsi.

Hingga kini memang baru kasus korupsi Goro dan Bulog yang sudah tuntas proses hukumnya. Namun selain kasus Goro, Tommy juga dibidik banyak kasus korupsi lainnya. Kasus korupsi yang membelit Tommy antara lain yakni Mobil Nasional (Mobnas), Humpus-Pelindo dan Badan Penyangga Petani Cengkih (BPPC).

Mobnas Program mobnas merupakan upaya pemerintah Soeharto untuk memproduksi mobil sendiri di dalam negeri. Dalam program ini PT Timor Putra Nasional (TPN) yang waktu itu dipimpin Tommy selaku Presiden Direktur, diberi hak untuk memproduksi mobil tersebut. Mobil produksi dalam negeri itu kemudian diberi merek Timor yang merupakan singkatan dari Teknologi Industri Mobil Rakyat). Untuk mewujudkan program itu, Tommy menggandeng KIA Motor Corp dari Korsel.

Dasar hukum program obnas adalah Keppres Nomor 42/1996 yang ditandatangani Presiden Soeharto pada Juni 1996. Lewat Keppres tersebut, PT TPN dihalalkan mengimpor built up (CBU) mobil produksi KIA tanpa dibebani bea masuk (BM). Syaratnya, TPN harus mempekerjakan tenaga Indonesia sekaligus memproduksi mobil berkandungan lokal 60 persen dalam tempo 3 tahun.

Namun ketentuan tersebut gagal terpenuhi. Kasus Mobnas ditangani Kejagung pada era Jaksa Agung Andi Ghalib sejak tahun 1999. Saat itu kasus ditangani Jampidsus Antonius Sudjata dan baru dalam tahap penyelidikan. Tim Kejagung kala itu telah memeriksa sejumlah mantan pejabat yang berada di balik kebijakan program mobnas tersebut.

Mantan pejabat yang sudah diperiksa antara lain Sanyoto Sastrowardoyo (mantan Menteri Investasi/Ketua BKPM), Mar'ie Muhammad (mantan Menteri Keuangan), Sutrisno (Dirut Sucofindo), Tunky Ariwibowo (mantan Menperindag), Noegardjito (Direktur Industri Alat Angkut Departemen Perindustrian), Soehardjo (mantan Dirjen Bea dan Cukai), Effendi Sudarsono (mantan Dirjen Industri Logam Dasar Menengah dan Kecil Depperindag), TL Yousuf (Staf Ahli Menkeu), Moerdiono (mantan Mensesneg), Sudjaswin Efendi Lubis (Komisaris PT Timor Putra Nasional/TPN), Fuad Bawazier (mantan Dirjen Pajak).

Mantan Presiden Soeharto dan Tommy juga termasuk pihak yang ikut dimintai keterangan. Dari hasil pemeriksaan disimpulkan Keppres Nomor 42/1996 bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam surat Ghalib kepada Presiden Habibie yang bocor di kalangan wartawan, Kejagung berpendapat Keppres Mobnas dibuat berdasarkan keinginan Tommy, yang notabene anak Soeharto.

Tommy ingin mengimpor mobil Korea dalam rangka mobnas, dan dia membutuhkan fasilitas pembebasan BM dan PPnBM. Program mobnas juga telah menimbulkan kerugian negara Rp 3,14 triliun. Kerugian terjadi, karena penerbitan Keppres tentang pembebasan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) Barang Mewah (BM) bagi impor mobil eks KIA dari Korea atas nama PT TPN tersebut, ditanggung oleh pemerintah.

Dalam surat itu, Ghalib selaku Jaksa Agung berpendapat bahwa temuan dari hasil penyelidikan terhadap kasus yayasan dan mobnas telah dapat dijadikan bukti awal, yang dapat menjadi alasan untuk meningkatkan penyelidikan ke tahap penyidikan. Akan tetapi, setelah lengsernya Ghalib, penanganan kasus tersebut menjadi tidak jelas. Bahkan, penanganannya sempat dihentikan di era Plt Jaksa Agung Ismodjoko.

Penyelidikan dihentikan karena Kejagung lebih memprioritaskan kasus korupsi tujuh yayasan Rp 1,3 triliun dengan tersangka Soeharto. Alasannya karena kasus Soeharto lebih mudah (pembuktiannya) di banding mobnas. Kemudian pada era Jaksa Agung Abdulrahman Saleh kasus ini dibuka kembali.

Pada Juni lalu, Jampidsus Hendarman Supandji memastikan pihaknya serius mengungkap kasus ini. Namun saat ini kasus masih dalam tahap penyelidikan alias dalam pengumpulan data. Dengan demikian belum ada tersangkanya. Korupsi PT Humpuss-Pelindo II Dugaan korupsi PT Humpuss Terminal Petikemas dengan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) dilaporkan Ketua Lembaga Reformasi Indonesia Eddy Sumarsono ke Kejagung pada tahun 2000. Kasus ini diduga merugikan negara jutaan dolar AS.

Kasus bermula pada 10 Maret 1994, saat PT Humpuss mendapat Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri untuk membangun dan mengelola Unit Terminal Petikemas Koja (UTPK). Berdasarkan dokumen yang sudah beredar di kalangan Komisi IX DPR, terdapat nama Onki P Soemarno sebagai Dirut Humpuss dan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto sebagai Komisaris Utama. Namun, awal tahun 1999 Tommy diganti oleh Subroto Purwosutarto.

Setelah itu, PT Humpuss dengan Pelindo II, yang direktur utamanya waktu itu dijabat oleh A Harbani dan Direktur Keuangan Irwan Prayitno (sekarang Dirut PT Humpuss), menandatangani Perjanjian Induk Kerja Sama Pembangunan dan Pengelolaan UTPK III. Berdasarkan perjanjian itu, keduanya menyediakan dana untuk rencana investasi sebesar 498,8 juta dollar AS, yang harus ditanggung bersama. Pelindo II mendapat 239,4 juta dollar AS (48 persen), sedangkan Humpuss 259,4 juta dollar AS (52 persen).

Dalam proyek itu Humpuss diduga melakukan mark up. Humpus melaporkan telah ikut membeli dan mematangkan areal lahan dan bangunan senilai Rp 57 milyar dan Rp 78,6 milyar. Padahal, biaya pembebasan dan pematangan lahan itu sepenuhnya berasal dari PT Pelindo II. Begitu pula pembangunan dermaganya. Humpuss juga sudah menyulap areal tanah seluas 19,6 hektar dengan Hak Guna Bangunan (HGB)-nya atas nama PT Humpuss, meskipun seluruh pendanaan berasal dari Pelindo II.

Kasus BPPC Dugaan korupsi Badan Penyangga Petani Cengkih (BPPC) dalam tata niaga cengkih ini dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Kejagung pada Februari 2000. Dalam tata niaga cengkih diduga terjadi penyimpangan dengan adanya pemberian hak monopoli kepada BPPC (dipimpin Tommy) dan Induk Koperasi Unit Desa (Inkud). Keuntungan yang diperoleh BPPC melalui hak monopoli 1992 sampai 1997 tersebut lebih dari Rp 1,4 triliun.

Tata niaga cengkih itu juga dinilai mengabaikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi petani cengkih. Kemudian ada ketidakjelasan pertanggungjawaban dalam pengelolaan dana hak dan milik petani cengkih. Diduga dana hak dan milik petani yang diselewengkan BPPC mencapai sekitar Rp 2 triliun. Penyelewengan itu berupa dana Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) dari 1992-1997 sekitar Rp 76 miliar yang dikelola pemda tingkat I.

Kemudian dana Sumbangan Wajib Khusus Petani (SWKP) dari 1992-1995 sekitar Rp 671 miliar yang dikelola BPPC/Inkud. Lalu Dana Penyertaan Modal (DPM) dari 1992-1997 sekitar Rp 1,1 triliun yang dikelola BPPC/Inkud, dan dana konversi dari 1996-1997 sekitar Rp 74 miliar yang dikelola BPPC/BCN. Menurut ICW, pihak-pihak yang terlibat dugaan KKN tata niaga cengkih adalah mantan Presiden Soeharto, mantan bos BPPC Hutomo Mandala Putra, mantan Direktur Inkud Nurdin Halid, mantan Menperdag Arifin Siregar, mantan Menteri Muda Perdagangan J Soedrajat Djiwandono, mantan Menperindag T Ariwibowo.

Juga mantan Menkeu JB Sumarlin, mantan Menkop Bustanil Arifin, dan mantan Menkop Subiakto Tjakrawerdaja. Dalam kasus ini Kejagung telah menetapkan Soeharto sebagai tersangka. Keputusan ini tertuang dalam Surat Perintah Penyidikan No Print-135/F/F.2.1/11/2000 tertanggal 16 November 2000. Namun selama ini Kejagung belum pernah mengumumkan hal tersebut.

Penjelasan tersangka termuat dalam bahan tertulis Jaksa Agung pada rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI, tanggal 18 Juni 2001. Disebutkan bahwa sekitar tahun 1992, Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992 yang memberikan kemudahan monopoli pembelian cengkeh oleh BPPC.

sumber  (news.detik.com)

Dikutip dari: http://adf.ly/1FPdIs
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive