Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan melanggar konstitusi jika menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan Rancangan Undang-Undang Pilkada yang baru saja disetujui untuk disahkan oleh DPR. Pasalnya, sesuai aturan yang berlaku maka pemerintah hanya dapat mengeluarkan perpu jika ada keadaan memaksa dandarurat."Sekarang apa urgensinya mengeluarkan perpu? Di mana keadaan memaksa dan darurat sehingga keluar perpu? Indikatornya apa? " ujar Said di Jakarta, Selasa (30/9) malam.
Said menambahkan, SBY sebagai presiden juga akan dianggap melanggar konstitusi jika tidak menandatangani RUU Pilkada untuk disahkan dan diberlakukan. Apalagi jika SBY lewat Partai Demokrat akhirnya mengajukan uji materi atas UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK)."Pertimbangan tidak tandatangan maju ke MK atau mengeluarkan perpu, itu semata karena perasaan dia terganggu oleh kecaman-kecaman di media sosial.
Jadi keliru jika SBY hendak membatalkan UU Pilkada. Beliau kan sudah kadung menyetujui RUU Pilkada menjadi UU yang ditandai dengan adanya pengesahan secara materil RUU tersebut menjadi UU dalam paripurna DPR," sambung Said.Menurut Said, dalam UUD 1945, persisnya pasal 20 ayat (5) disebutkan bahwa undang-undang dibahas bersama dan mendapat persetujuan bersama dari pemerintah dan DPR. Artinya, jika kesepakatan itu telah terpenuhi, maka wajib diundangkan dengan segera diberi nomor dan dicatat dalam lembaran negara oleh Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham).
Said pun menganggap pemerintah telah setuju dengan RUU Pilkada yang mengembalikan opsi pemilihan kepala daerah dari secara langsung menjadi melalui perwakilan di DPRD. "Waktu di paripurna kan tidak ada penolakan dari Mendagri (sebagai wakil pemerintah, red). Jadi dengan demikian artinya beliau setuju. Nah kalau presiden dalam waktu 30 hari sejak UU disetujui tidak mau tandatangan, RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan," katanya.
Said justru menyebut pernyataan SBY yang mengku kecewa dengan hasil pengambilan keputusan atas RUU Pilkada hanya kebohongan public semata. Sebab, SBY pada dasarnya memiliki peran sangat sentral saat RUU dibahas di DPR. Pertama karena posisinya sebagai Ketua Umum PD. Namun, faktanya PD walk out.
Selain itu SBY sebagai presiden juga bisa memberi perintah ke mendagri sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Pilkada. "Mengada-ada, lelucon yang tidak lucu dan sangataneh kalau beliau mengatakan kecewa. Berhasil tidaknya kan dia yang menentukan. Demokrat kursi terbesar dan mempunyai peran itu disahkan atau tidak sebagai pemerintah," katanya.
sumber http://m.jpnn.com/news.php?csal261006
komen ts : panastak semakin kecewa, salam gigit jari
Link: http://adf.ly/sVWSX
Said menambahkan, SBY sebagai presiden juga akan dianggap melanggar konstitusi jika tidak menandatangani RUU Pilkada untuk disahkan dan diberlakukan. Apalagi jika SBY lewat Partai Demokrat akhirnya mengajukan uji materi atas UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK)."Pertimbangan tidak tandatangan maju ke MK atau mengeluarkan perpu, itu semata karena perasaan dia terganggu oleh kecaman-kecaman di media sosial.
Jadi keliru jika SBY hendak membatalkan UU Pilkada. Beliau kan sudah kadung menyetujui RUU Pilkada menjadi UU yang ditandai dengan adanya pengesahan secara materil RUU tersebut menjadi UU dalam paripurna DPR," sambung Said.Menurut Said, dalam UUD 1945, persisnya pasal 20 ayat (5) disebutkan bahwa undang-undang dibahas bersama dan mendapat persetujuan bersama dari pemerintah dan DPR. Artinya, jika kesepakatan itu telah terpenuhi, maka wajib diundangkan dengan segera diberi nomor dan dicatat dalam lembaran negara oleh Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham).
Said pun menganggap pemerintah telah setuju dengan RUU Pilkada yang mengembalikan opsi pemilihan kepala daerah dari secara langsung menjadi melalui perwakilan di DPRD. "Waktu di paripurna kan tidak ada penolakan dari Mendagri (sebagai wakil pemerintah, red). Jadi dengan demikian artinya beliau setuju. Nah kalau presiden dalam waktu 30 hari sejak UU disetujui tidak mau tandatangan, RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan," katanya.
Said justru menyebut pernyataan SBY yang mengku kecewa dengan hasil pengambilan keputusan atas RUU Pilkada hanya kebohongan public semata. Sebab, SBY pada dasarnya memiliki peran sangat sentral saat RUU dibahas di DPR. Pertama karena posisinya sebagai Ketua Umum PD. Namun, faktanya PD walk out.
Selain itu SBY sebagai presiden juga bisa memberi perintah ke mendagri sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Pilkada. "Mengada-ada, lelucon yang tidak lucu dan sangataneh kalau beliau mengatakan kecewa. Berhasil tidaknya kan dia yang menentukan. Demokrat kursi terbesar dan mempunyai peran itu disahkan atau tidak sebagai pemerintah," katanya.
sumber http://m.jpnn.com/news.php?csal261006
komen ts : panastak semakin kecewa, salam gigit jari
Link: http://adf.ly/sVWSX