Warning :
Jika Anda terlalu bodoh untuk bisa mengeja sebuah tulisan, apalagi membaca artikel/tulisan yang panjang ini,
silahkan skip, karena tidak berguna buat anda
namun jika anda cukup cerdas dan terdidik, maka silahkan baca dan tidak usah merengek-rengek mempermasalahkan sumber
Saya ingin bahas soal fenomena sekuler inlander. Ini fenomena yang sudah cukup lama saya perhatikan. Sekuler inlander itu ya sifatnya orang-orang sekuler bermental inlander. Kampungan, gitu deh kurang lebihnya. Walaupun saya anti sekali dengan sekularisme, tapi banyak orang sekuler yang msh bisa dihormati. Kalau sekuler inlander sih nggak.
Yang namanya sekuler inlander itu ya pelakunya adalah orang-orang bermental inlander yang jadi sekuler karena ikut-ikutan. Indonesia, karena pernah dijajah, juga banyak diisi oleh kaum sekuler inlander ini.
OK, supaya lebih jelas, kita langsung masuk ke contoh kasus ya. Dalam hal ini saya ingin jadikan dialektika seputar Bu Menteri Susi dan rokoknya. Dialektikanya, bukan rokoknya! Dari perspektif orang-orang beriman, kasus ini sebenarnya telah menunjukkan kegamangan sekularisme. Bagaimana sekularisme menyikapi kebiasan merokok? Dalam hal ini, biasanya ya dianggap sebagai pilihan masing-masing. Bagi orang-orang sekuler, kita tidak perlu mengurusi kebiasaan orang lain. Jangankan merokok, mabuk dan zina pun dibiarkan. Tapi pada akhirnya, sekularisme mentok juga. Tidak segala hal bisa dianggap urusan privat seseorang.
Di negara-negara sekuler, sudah biasa orang mengkritik pejabat publik yang memperlihatkan kebiasaan buruk. Obama dikritik karena merokok, padahal nggak pernah terlihat merokok di depan publik ( http://theweek.com/article/index/200...-still-smoking). Demikian pula minum bir, misalnya. Orang Barat biasa minum bir, tapi pejabat publik pas disorot kamera ya harus jaim. Gonta-ganti pacar, itu biasa bagi orang Barat. Tapi kalau Perdana Menteri, ya nggak enak dilihatnya ( http://www.theguardian.com/world/201...ndals-timeline). Artinya, sekularisme gagal mempertahankan prinsip 'individualismenya' sendiri.
Pada kenyataannya, manusia itu makhluk sosial. Tidak hidup masing-masing saja. Ketika Anda merokok, bisa dipastikan yang menghisap asapnya bukan Anda sendiri. Dan ketika orang merokok, bisa dipastikan pula yang menyaksikan bukan dirinya sendiri. Bagaimana jika pejabat publik yang merokok? Siapa yang menyaksikan? Berapa yang tergoda untuk mengikuti?
Pada akhirnya, masyarakat sekuler di Barat pun mengakui kenyataan bahwa mereka harus melindungi anak-anak mereka sendiri. Mereka tidak mau pejabat publik melakukan hal-hal yang tidak baik, agar anak-anak mereka tidak meniru. Walaupun di sini orang-orang sekuler mengkhianati ideologinya sendiri, tapi di sisi lain bisa kita puji. Masih ada akal sehatnya.
Nah kalau sekuler inlander ini lain daripada yang lain, bahkan lain dari yang sekuler beneran sekalipun. orang-orang sekuler inlander ini biasanya 'lebih sekuler' daripada yang beneran sekuler. Di satu sisi, mereka masih beribadah, masih beragama, tapi cara berpikirnya bisa jadi nyerempet-nyerempet ateis. Demi mempertahankan 'hak-hak individu', apa yang tidak selayaknya dibela pun dibela juga. Mungkin supaya kelihatan sekuler 24 karat? Ya bisa saja. Namanya juga sekuler inlander. Kerjanya cari muka pada 'majikan'.
Di Indonesia, rokok sudah jadi masalah besar. Jangankan anak sekolah, balita saja ada yang merokok. Hebat kan? Saking fanatiknya pada rokok, teman saya cerita bahwa dia pernah ketemu orang yang mau merokok di dlm pesawat. Katanya, industri rokok menghidupi banyak orang. OK. Tapi rokok membunuh berapa orang? Katanya, industri rokok mendatangkan pemasukan. OK. Lalu kerugian akibat merokok berapa? Sudah dihitung? Di Barat, aturan2 ketat seputar rokok sudah diterapkan. Merokok itu dibikin susah. Malah ada negara yang berwacana agar negaranya dijadikan benar-benar bebas rokok. Lagi-lagi, sekularisme gagal. Diam-diam banyak juga orang sekuler yang percaya pada 'kebenaran absolut'. Bahwa rokok itu lebih banyak merugikan drpd menguntungkannya, itu sudah pasti benar. Tak terbantahkan.
Tapi buat kaum sekuler inlander, pokoknya dibela terus. karena kebenaran harus relatif? Generasi muda hancur karena rokok, tetap saja rokok dibela terus. Atas nama kebebasan. Sudah miskin, kecanduan merokok pula. Makin susah hidupnya. Tapi atas nama kebebasan, rokok harus dibela. Kalau bener pake logika, rasionalitas dan fakta2 ilmiah, harusnya semua orang sekuler itu anti rokok. Kalau mengaku menjunjung tinggi hak-hak asasi masyarakat, harusnya semua orang sekuler itu anti rokok.Tapi ya begitulah dunia sekuler. Ambigu. Mendesak rokok, tapi tidak bisa juga melarangnya.Minuman keras juga sama. Sudah jelas merusak, tapi masih dibela. Dibenci, tapi nggak ada yang berani melarang. Zina juga sama. Jelas-jelas biadab, tapi demi hawa nafsu ya dibela juga. Generasi hancur, apa boleh buat. Setidaknya, kaum sekuler yang masih berakal msh berusaha mencegah ekses negatif dari hal-hal tersebut. Tapi sekuler inlander nggak.
Bicara soal sekuler inlander ini sy selalu ingat pada Sumanto Al Qurtuby. Baca tulisannya di elsaonline.com/?p=3267. Dari tulisannya, jelaslah bahwa Sumanto lebih dari sekadar. Lihat di paragraf ketiga dari bawah. Benar, bagi orang sekuler, pelacuran itu sah-sah saja. Tapi siapa yang emperbandingkan pelacur dgn dosen? Bahkan orang sekuler yang menganggap zina itu boleh pun tak sudi membuat perbandingan demikian. Di negeri-negeri sekuler, meski pelacuran itu legal, tetap saja profesi dosen jauh lebih terhormat. Inilah 'kebenaran absolut' yang diam-diam diyakini di negeri-negeri sekuler Barat. Tapi sekuler inlander lebih lebay gayanya. Demi membela apa yang hendak mereka bela, digunakanlah logika-logika menyesatkan.
Kita masuk lagi ke studi kasus. Perhatikan perkembangan wacananya, bukan hanya kasusnya. Muncullah gambar seperti ini
(pic.twitter.com/myk2yxLKDg).
Jelas, siapa pun yang membuat gambar seperti ini bukan hanya melakukan pembelaan, tapi juga menunjukkan kebencian. Kebencian pada apa? Ya, pada jilbab. Karena sejak awal kasus Bu Susi ini tidak membicarakan jilbab. Tidak ada yang mengkritisi Bu Susi karena tidak berjilbab. Memang di Indonesia belum semua berjilbab, sudah pada maklum. Yang dikritisi adalah merokok di depan publik. Tapi isunya dibelokkan sedemikian rupa. Kemudian, digunakanlah imej Muslimah berjilbab yang kurang baik, yaitu Ratu Atut yang sedang terjerat kasus. Ini logika sesat. Membela pencuri ayam dengan mengatakan bahwa di kampung sebelah ada yang mencuri kambing.
Kemudian diambil 'sepotong imej' untuk merusak citra. Dalam hal ini, yang dirusak adalah citra muslimah berjilbab. Jilbab dihadapkan dengan rokok dan tato. Hanya dengan satu sampel. Itu kata kuncinya: SAMPEL! Sama saja dgn yang bilang "lebih baik nggak berjilbab tapi menjaga kehormatan drpd berjilbab tapi diam-diam bejat."
Kombinasi 1: merokok, bertato, pekerja keras.
Kombinasi 2: berjilbab, tidak merokok, tidak bertato, tapi diduga korupsi.
Padahal masih banyak kombinasi yang lain. Apa koruptor yang merokok nggak ada? Apakah koruptor perempuan itu lebih banyak yang berjilbab atau tidak? Statistik nggak bisa cuma gunakan 1 sampel. Kalau bisa pakai 1 sampel, boleh dong saya bikin perbandingan begini? Ini contoh aja
(pic.twitter.com/5wrpXNqdjB)
Isu lainnya yang hot: tentang pejabat publik yang kata-katanya kasar. Muncul jargon: "lebih baik memaki tapi tidak korupsi!" Inilah sekuler inlander. Akalnya rusak. Padahal majikan mereka di Barat nggak begitu mikirnya. Biarpun sekuler, nggak ada yang mengabaikan sopan santun. Pernah bayangin Obama bilang "A**hole!" (maaf ini cuma contoh) nggak? Kalo terjadi, pasti rakyat AS ngamuk. Padahal warga AS banyak yang sudah biasa mengucapkan kata itu. tapi tetap saja tidak layak bagi pemimpin. Coba lihat kenyataan di lapangan. orang Indonesia sudah tidak lagi terbiasa bicara santun. Di Twitter, ada kelompok-kelompok yang suka caci maki, bahkan kalau sudah mentok debat ujung-ujungnya kirim gambar porno. Di sekolah-sekolah, generasi muda sudah jadi korban bullying. Kekerasan fisik & verbal dimana2. OK, korupsi itu masalah besar. Tapi kekerasan fisik & verbal juga sudah jadi masalah besar di Indonesia.Jadi, kalau ada yang bilang pejabat nggak apa-apa maki-maki asal nggak korupsi, itu artinya dia nggak peduli negeri ini rusak.
Orang-orang sekuler inlander ini berusaha begitu keras untuk jadi sekuler sehingga mereka melampaui batas sekularisme itu sendiri. Sekularisme sudah mentok, dan orang-orang sekuler menyadarinya. tapi kaum sekuler inlander nggak peduli, semuanya ditabrak! Sebelum saya tutup, saya ingin jelaskan lagi bahwa persoalan Bu Susi hanya studi kasus di kultwit ini. Memang nyatanya hukum di negeri ini blm melarang rokok. Tapi ada standar perilaku untuk pejabat publik, meski tak tertulis. Kalau kita menggunakan akal sehat, pasti menyadari aturan-aturan tak tertulis tersebut. Baik yang sekuler maupun yang tidak. Saya tidak mengatakan bahwa Bu Susi harus mundur karena alasan tersebut. Bongkar-pasang kabinet belum tentu hal yang bagus. Saya juga tidak mempertanyakan kecerdasan Bu Susi. orang yang bisa mengelola maskapai nggak mungkin bodoh, kan? Saya hanya ingin katakan bahwa banyak ortu yang berharap anak-anak mereka bisa memiliki panutan yang baik. Itu saja. Tapi kalau sudah sekuler inlander, ya tidak ada lagi akal sehat. Nggak bisa diajak bicara baik-baik lagi.Apa pun dilakukan meski dgn pemikiran setengah matang; atau jangan-jangan nggak pake mikir dulu? Semoga kita terhindar dari kejahilan yang demikian. Aamiin...
Link: http://adf.ly/tXgH2
Jika Anda terlalu bodoh untuk bisa mengeja sebuah tulisan, apalagi membaca artikel/tulisan yang panjang ini,
silahkan skip, karena tidak berguna buat anda
namun jika anda cukup cerdas dan terdidik, maka silahkan baca dan tidak usah merengek-rengek mempermasalahkan sumber
Saya ingin bahas soal fenomena sekuler inlander. Ini fenomena yang sudah cukup lama saya perhatikan. Sekuler inlander itu ya sifatnya orang-orang sekuler bermental inlander. Kampungan, gitu deh kurang lebihnya. Walaupun saya anti sekali dengan sekularisme, tapi banyak orang sekuler yang msh bisa dihormati. Kalau sekuler inlander sih nggak.
Yang namanya sekuler inlander itu ya pelakunya adalah orang-orang bermental inlander yang jadi sekuler karena ikut-ikutan. Indonesia, karena pernah dijajah, juga banyak diisi oleh kaum sekuler inlander ini.
OK, supaya lebih jelas, kita langsung masuk ke contoh kasus ya. Dalam hal ini saya ingin jadikan dialektika seputar Bu Menteri Susi dan rokoknya. Dialektikanya, bukan rokoknya! Dari perspektif orang-orang beriman, kasus ini sebenarnya telah menunjukkan kegamangan sekularisme. Bagaimana sekularisme menyikapi kebiasan merokok? Dalam hal ini, biasanya ya dianggap sebagai pilihan masing-masing. Bagi orang-orang sekuler, kita tidak perlu mengurusi kebiasaan orang lain. Jangankan merokok, mabuk dan zina pun dibiarkan. Tapi pada akhirnya, sekularisme mentok juga. Tidak segala hal bisa dianggap urusan privat seseorang.
Di negara-negara sekuler, sudah biasa orang mengkritik pejabat publik yang memperlihatkan kebiasaan buruk. Obama dikritik karena merokok, padahal nggak pernah terlihat merokok di depan publik ( http://theweek.com/article/index/200...-still-smoking). Demikian pula minum bir, misalnya. Orang Barat biasa minum bir, tapi pejabat publik pas disorot kamera ya harus jaim. Gonta-ganti pacar, itu biasa bagi orang Barat. Tapi kalau Perdana Menteri, ya nggak enak dilihatnya ( http://www.theguardian.com/world/201...ndals-timeline). Artinya, sekularisme gagal mempertahankan prinsip 'individualismenya' sendiri.
Pada kenyataannya, manusia itu makhluk sosial. Tidak hidup masing-masing saja. Ketika Anda merokok, bisa dipastikan yang menghisap asapnya bukan Anda sendiri. Dan ketika orang merokok, bisa dipastikan pula yang menyaksikan bukan dirinya sendiri. Bagaimana jika pejabat publik yang merokok? Siapa yang menyaksikan? Berapa yang tergoda untuk mengikuti?
Pada akhirnya, masyarakat sekuler di Barat pun mengakui kenyataan bahwa mereka harus melindungi anak-anak mereka sendiri. Mereka tidak mau pejabat publik melakukan hal-hal yang tidak baik, agar anak-anak mereka tidak meniru. Walaupun di sini orang-orang sekuler mengkhianati ideologinya sendiri, tapi di sisi lain bisa kita puji. Masih ada akal sehatnya.
Nah kalau sekuler inlander ini lain daripada yang lain, bahkan lain dari yang sekuler beneran sekalipun. orang-orang sekuler inlander ini biasanya 'lebih sekuler' daripada yang beneran sekuler. Di satu sisi, mereka masih beribadah, masih beragama, tapi cara berpikirnya bisa jadi nyerempet-nyerempet ateis. Demi mempertahankan 'hak-hak individu', apa yang tidak selayaknya dibela pun dibela juga. Mungkin supaya kelihatan sekuler 24 karat? Ya bisa saja. Namanya juga sekuler inlander. Kerjanya cari muka pada 'majikan'.
Di Indonesia, rokok sudah jadi masalah besar. Jangankan anak sekolah, balita saja ada yang merokok. Hebat kan? Saking fanatiknya pada rokok, teman saya cerita bahwa dia pernah ketemu orang yang mau merokok di dlm pesawat. Katanya, industri rokok menghidupi banyak orang. OK. Tapi rokok membunuh berapa orang? Katanya, industri rokok mendatangkan pemasukan. OK. Lalu kerugian akibat merokok berapa? Sudah dihitung? Di Barat, aturan2 ketat seputar rokok sudah diterapkan. Merokok itu dibikin susah. Malah ada negara yang berwacana agar negaranya dijadikan benar-benar bebas rokok. Lagi-lagi, sekularisme gagal. Diam-diam banyak juga orang sekuler yang percaya pada 'kebenaran absolut'. Bahwa rokok itu lebih banyak merugikan drpd menguntungkannya, itu sudah pasti benar. Tak terbantahkan.
Tapi buat kaum sekuler inlander, pokoknya dibela terus. karena kebenaran harus relatif? Generasi muda hancur karena rokok, tetap saja rokok dibela terus. Atas nama kebebasan. Sudah miskin, kecanduan merokok pula. Makin susah hidupnya. Tapi atas nama kebebasan, rokok harus dibela. Kalau bener pake logika, rasionalitas dan fakta2 ilmiah, harusnya semua orang sekuler itu anti rokok. Kalau mengaku menjunjung tinggi hak-hak asasi masyarakat, harusnya semua orang sekuler itu anti rokok.Tapi ya begitulah dunia sekuler. Ambigu. Mendesak rokok, tapi tidak bisa juga melarangnya.Minuman keras juga sama. Sudah jelas merusak, tapi masih dibela. Dibenci, tapi nggak ada yang berani melarang. Zina juga sama. Jelas-jelas biadab, tapi demi hawa nafsu ya dibela juga. Generasi hancur, apa boleh buat. Setidaknya, kaum sekuler yang masih berakal msh berusaha mencegah ekses negatif dari hal-hal tersebut. Tapi sekuler inlander nggak.
Bicara soal sekuler inlander ini sy selalu ingat pada Sumanto Al Qurtuby. Baca tulisannya di elsaonline.com/?p=3267. Dari tulisannya, jelaslah bahwa Sumanto lebih dari sekadar. Lihat di paragraf ketiga dari bawah. Benar, bagi orang sekuler, pelacuran itu sah-sah saja. Tapi siapa yang emperbandingkan pelacur dgn dosen? Bahkan orang sekuler yang menganggap zina itu boleh pun tak sudi membuat perbandingan demikian. Di negeri-negeri sekuler, meski pelacuran itu legal, tetap saja profesi dosen jauh lebih terhormat. Inilah 'kebenaran absolut' yang diam-diam diyakini di negeri-negeri sekuler Barat. Tapi sekuler inlander lebih lebay gayanya. Demi membela apa yang hendak mereka bela, digunakanlah logika-logika menyesatkan.
Kita masuk lagi ke studi kasus. Perhatikan perkembangan wacananya, bukan hanya kasusnya. Muncullah gambar seperti ini
(pic.twitter.com/myk2yxLKDg).
Jelas, siapa pun yang membuat gambar seperti ini bukan hanya melakukan pembelaan, tapi juga menunjukkan kebencian. Kebencian pada apa? Ya, pada jilbab. Karena sejak awal kasus Bu Susi ini tidak membicarakan jilbab. Tidak ada yang mengkritisi Bu Susi karena tidak berjilbab. Memang di Indonesia belum semua berjilbab, sudah pada maklum. Yang dikritisi adalah merokok di depan publik. Tapi isunya dibelokkan sedemikian rupa. Kemudian, digunakanlah imej Muslimah berjilbab yang kurang baik, yaitu Ratu Atut yang sedang terjerat kasus. Ini logika sesat. Membela pencuri ayam dengan mengatakan bahwa di kampung sebelah ada yang mencuri kambing.
Kemudian diambil 'sepotong imej' untuk merusak citra. Dalam hal ini, yang dirusak adalah citra muslimah berjilbab. Jilbab dihadapkan dengan rokok dan tato. Hanya dengan satu sampel. Itu kata kuncinya: SAMPEL! Sama saja dgn yang bilang "lebih baik nggak berjilbab tapi menjaga kehormatan drpd berjilbab tapi diam-diam bejat."
Kombinasi 1: merokok, bertato, pekerja keras.
Kombinasi 2: berjilbab, tidak merokok, tidak bertato, tapi diduga korupsi.
Padahal masih banyak kombinasi yang lain. Apa koruptor yang merokok nggak ada? Apakah koruptor perempuan itu lebih banyak yang berjilbab atau tidak? Statistik nggak bisa cuma gunakan 1 sampel. Kalau bisa pakai 1 sampel, boleh dong saya bikin perbandingan begini? Ini contoh aja
(pic.twitter.com/5wrpXNqdjB)
Isu lainnya yang hot: tentang pejabat publik yang kata-katanya kasar. Muncul jargon: "lebih baik memaki tapi tidak korupsi!" Inilah sekuler inlander. Akalnya rusak. Padahal majikan mereka di Barat nggak begitu mikirnya. Biarpun sekuler, nggak ada yang mengabaikan sopan santun. Pernah bayangin Obama bilang "A**hole!" (maaf ini cuma contoh) nggak? Kalo terjadi, pasti rakyat AS ngamuk. Padahal warga AS banyak yang sudah biasa mengucapkan kata itu. tapi tetap saja tidak layak bagi pemimpin. Coba lihat kenyataan di lapangan. orang Indonesia sudah tidak lagi terbiasa bicara santun. Di Twitter, ada kelompok-kelompok yang suka caci maki, bahkan kalau sudah mentok debat ujung-ujungnya kirim gambar porno. Di sekolah-sekolah, generasi muda sudah jadi korban bullying. Kekerasan fisik & verbal dimana2. OK, korupsi itu masalah besar. Tapi kekerasan fisik & verbal juga sudah jadi masalah besar di Indonesia.Jadi, kalau ada yang bilang pejabat nggak apa-apa maki-maki asal nggak korupsi, itu artinya dia nggak peduli negeri ini rusak.
Orang-orang sekuler inlander ini berusaha begitu keras untuk jadi sekuler sehingga mereka melampaui batas sekularisme itu sendiri. Sekularisme sudah mentok, dan orang-orang sekuler menyadarinya. tapi kaum sekuler inlander nggak peduli, semuanya ditabrak! Sebelum saya tutup, saya ingin jelaskan lagi bahwa persoalan Bu Susi hanya studi kasus di kultwit ini. Memang nyatanya hukum di negeri ini blm melarang rokok. Tapi ada standar perilaku untuk pejabat publik, meski tak tertulis. Kalau kita menggunakan akal sehat, pasti menyadari aturan-aturan tak tertulis tersebut. Baik yang sekuler maupun yang tidak. Saya tidak mengatakan bahwa Bu Susi harus mundur karena alasan tersebut. Bongkar-pasang kabinet belum tentu hal yang bagus. Saya juga tidak mempertanyakan kecerdasan Bu Susi. orang yang bisa mengelola maskapai nggak mungkin bodoh, kan? Saya hanya ingin katakan bahwa banyak ortu yang berharap anak-anak mereka bisa memiliki panutan yang baik. Itu saja. Tapi kalau sudah sekuler inlander, ya tidak ada lagi akal sehat. Nggak bisa diajak bicara baik-baik lagi.Apa pun dilakukan meski dgn pemikiran setengah matang; atau jangan-jangan nggak pake mikir dulu? Semoga kita terhindar dari kejahilan yang demikian. Aamiin...
Link: http://adf.ly/tXgH2