TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Ray Rangkuti menilai langkah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengeluarkan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP), sekaligus mengangkat pimpinan baru adalah kecerobohan.
"Karena mosi tidak percaya yang mereka ajukan kepada ketua tidak dengan sendirinya berlaku tanpa pengakuan anggota DPR lain. Padahal, jika dihitung komposisi antara KIH dan KMP jelas mosi itu dengan sendirinya tertolak," ujar Ray dalam pesannya di Jakarta, Kamis (30/10/2014).
Berdasar kalkulasi politik, keterwakilan anggota dewan dari pendukung KIH hanya mengantongi 33 persen suara di DPR. Sudah bisa dipastikan penetapan unsur pimpinan DPR versi KIH tak mendapat dukungan mayoritas anggota dewan, di mana sisanya 67 persen adalah pendukung KMP.
"Dengan sendirinya penetapan unsur pimpinan DPR versi KIH juga tak mendapat dukungan mayoritas. Tentu saja, pilihan atas unsur pimpinan tanpa dukungan mayoritas dengan sendirinya tak berdasar dan legitimasinya rendah," sambung Direktur Lingkar Madani Indonesia itu.
Kekeliruan itu, sambung Ray, diperparah dengan permintaan KIH agar Presiden mengeluarkan Perppu atas Undang-Undang MD3. Permintaan itu jelas akan menyulitkan posisi presiden karena ditarik-tarik ke dalam konflik internal DPR.
Jika presiden salah langkah dalam melihat konflik ini, bisa jadi ini menjadi awal yang sulit bagi Pemerintahan Jokowi-JK di masa mendatang. Apalagi tak ada hal genting yang mendasari presiden mengeluarkan perppu tersebut, apalagi tak ada kepentingan langsung rakyat.
Sikap KIH berbuat demikian hanya memperpanjang konflik kepentingan di DPR dan memperlihatkan ketidakmatangan dalam politik. KIH tak perlu ngotot dengan berbagai cara untuk sekadar mendapatkan satu atau dua kursi ketua komisi.
Sesungguhnya politik tak mati hanya karena tak dapat posisi ketua komisi. Politk juga tak hanya satu atau dua tahun ini. Ada waktu lima tahun ke depan. Dalam rentang itu banyak hal bisa dilakukan dan bisa saja berubah karena segala kemungkinan bisa dinegosiasikan.
Ray menambahkan, potensi membentuk koalisi-koalis baru tidak mustahil. Bahkan sangat mungkin untuk merevisi UU MD3 yang memang tidak demokratis itu. Sekalipun begitu, memang perlu juga melihat kiprah KMP, khususnya dalam memimpn sidang-sidang pripurna.
"Gaya pimpinan sidang yang terlihat tak netral harus diubah. Mereka bukan lagi milik koalisi tertentu. Mereka fasilitator atas semua kepentingan di DPR. Sikap yang mengabaikan netralitas akan selalu memancing kericuhan. Sehingga pimpinan DPR harus netral!" tegasnya.
Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2...-dpr-tandingan
Link: http://adf.ly/tYwPi
"Karena mosi tidak percaya yang mereka ajukan kepada ketua tidak dengan sendirinya berlaku tanpa pengakuan anggota DPR lain. Padahal, jika dihitung komposisi antara KIH dan KMP jelas mosi itu dengan sendirinya tertolak," ujar Ray dalam pesannya di Jakarta, Kamis (30/10/2014).
Berdasar kalkulasi politik, keterwakilan anggota dewan dari pendukung KIH hanya mengantongi 33 persen suara di DPR. Sudah bisa dipastikan penetapan unsur pimpinan DPR versi KIH tak mendapat dukungan mayoritas anggota dewan, di mana sisanya 67 persen adalah pendukung KMP.
"Dengan sendirinya penetapan unsur pimpinan DPR versi KIH juga tak mendapat dukungan mayoritas. Tentu saja, pilihan atas unsur pimpinan tanpa dukungan mayoritas dengan sendirinya tak berdasar dan legitimasinya rendah," sambung Direktur Lingkar Madani Indonesia itu.
Kekeliruan itu, sambung Ray, diperparah dengan permintaan KIH agar Presiden mengeluarkan Perppu atas Undang-Undang MD3. Permintaan itu jelas akan menyulitkan posisi presiden karena ditarik-tarik ke dalam konflik internal DPR.
Jika presiden salah langkah dalam melihat konflik ini, bisa jadi ini menjadi awal yang sulit bagi Pemerintahan Jokowi-JK di masa mendatang. Apalagi tak ada hal genting yang mendasari presiden mengeluarkan perppu tersebut, apalagi tak ada kepentingan langsung rakyat.
Sikap KIH berbuat demikian hanya memperpanjang konflik kepentingan di DPR dan memperlihatkan ketidakmatangan dalam politik. KIH tak perlu ngotot dengan berbagai cara untuk sekadar mendapatkan satu atau dua kursi ketua komisi.
Sesungguhnya politik tak mati hanya karena tak dapat posisi ketua komisi. Politk juga tak hanya satu atau dua tahun ini. Ada waktu lima tahun ke depan. Dalam rentang itu banyak hal bisa dilakukan dan bisa saja berubah karena segala kemungkinan bisa dinegosiasikan.
Ray menambahkan, potensi membentuk koalisi-koalis baru tidak mustahil. Bahkan sangat mungkin untuk merevisi UU MD3 yang memang tidak demokratis itu. Sekalipun begitu, memang perlu juga melihat kiprah KMP, khususnya dalam memimpn sidang-sidang pripurna.
"Gaya pimpinan sidang yang terlihat tak netral harus diubah. Mereka bukan lagi milik koalisi tertentu. Mereka fasilitator atas semua kepentingan di DPR. Sikap yang mengabaikan netralitas akan selalu memancing kericuhan. Sehingga pimpinan DPR harus netral!" tegasnya.
Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2...-dpr-tandingan
Link: http://adf.ly/tYwPi