PASTI LIBERTI MAPPAPA - detikNews
Jakarta - Pekan lalu, media sosial dihebohkan menyusul kabar tentang tugas matematika seorang siswa sekolah dasar bernama Habibi, yang mendapat nilai merah dari gurunya. Habibi disalahkan sang guru karena menuliskan bahwa 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6, bukan 6 x 4. Kakak Habibi, M. Erfas Maulana, yang juga mahasiswa di Semarang, itu mem posting jawaban adiknya di media sosial. Sontak posting-an itu menuai berbagai tanggapan, termasuk dua profesor hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Guru-guru di SD itu kebanyakan guru kelas yang mempelajari semua pelajaran. Matematika, bahasa Indonesia, Keterampilan, IPS, sehingga tidak fokus," kata Direktur Eksekutif Klinik Pendidikan MIPA (KPM) Ridwan Hasan Saputra kepada majalah detik, Kamis, 25 September.
Belajar matematika, pelatih nasional Olimpiade Matematika sejak 2004 itu melanjutkan, membuat nalar bagus, sehingga punya kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, banyak guru yang menyajikan matematika dalam suasana yang tidak menyenangkan.
Akibatnya, banyak yang memfitnah matematika sebagai pelajaran yang sulit, padahal matematika itu pelajaran yang mudah.
Berikut wawancara lengkap majalah detik dengan Ridwan, yang sejak 2007 mengantarkan murid-murid asuhannya meraih 90 medali emas dalam lomba matematika tingkat internasional:
Terkait perdebatan soal 4 x 6 dan 6 x 4, yang melibatkan beberapa pakar matematika, pandangan Anda seperti apa?
Kalau sisi kontennya, menurut saya, di situ guru sedang mengajarkan konsep tentang perkalian sebagai penjumlahan yang berulang. Misalnya 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 hasilnya adalah penjumlahan 4 sebanyak 6 kali atau 6 x 4. Konteksnya seperti itu kalau saya lihat.
Sehingga, sewaktu muridnya jawab 4 x 6, itu menjadi suatu nilai yang salah. Meskipun hasilnya sama-sama 24.
Beda lagi jika belajar komutatif, itu tidak menjadi masalah. Mungkin, di sini pun yang harus dipahami, guru sedang mengajarkan apa sehingga disalahkan.
Kalau sampai pakar berkomentar, ini saya melihat menjadi suatu hal yang dibesar-besarkan.
Walaupun dari situ dapat kita lihat ada masalah pada pendidikan matematika Indonesia. Sampai menteri pun berkomentar. Padahal itu hal yang sederhana. Sebenarnya masih banyak konsep matematika yang masih ditangkap salah oleh guru-guru, termasuk juga masyarakat. Karena itu, yang harus diperbaiki juga pemahaman guru terhadap matematika.
Jadi tidak ada yang salah dalam perdebatan itu?
Saya melihat di sini gurunya menilai murid itu tidak menerapkan konsep yang (sedang) diajarkan. Tapi seharusnya guru juga menanyakan mengapa muridnya menjawab seperti itu. Apalagi ini yang mengerjakan
kakaknya, jadi bisa saja muridnya tidak mengerti atau memahami apa yang diberikan guru.
Kembali lagi, ini masalahnya bagaimana guru mengajarkan sesuatu kepada murid sampai murid tidak paham. Seharusnya bagaimana konsep pengajaran oleh guru matematika?
Ketika di tingkatan dasar, kita mengajarkan sesuatu yang mudah dipahami oleh anak dulu. Ke dalam bentuk yang riil. Kalau sudah agak tinggi, bisa kemudian ke abstrak, seperti misalnya 4 x 6 itu sama dengan 6 x 4, itu tidak menjadi masalah, sama-sama (hasilnya) 24. Itu tidak menjadi masalah karena sifat komutatif. Ini tidak masalah jika diajarkan di tingkatan lebih tinggi.
Kalau SD kelas 2, tentunya tidak. Ini (komutatif) dulu karena anaknya pasti pusing. Urusan besarnya itu adalah memang banyak guru matematika yang tidak memahami konsep matematika secara benar, sehingga timbul ketidakpercayaan kepada guru.
Sumber
Guru kelas dengan mata pelajaran yang banyak dan type murid yang beragam pula tingkat pemahaman.
Link: http://adf.ly/sXblG
Jakarta - Pekan lalu, media sosial dihebohkan menyusul kabar tentang tugas matematika seorang siswa sekolah dasar bernama Habibi, yang mendapat nilai merah dari gurunya. Habibi disalahkan sang guru karena menuliskan bahwa 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6, bukan 6 x 4. Kakak Habibi, M. Erfas Maulana, yang juga mahasiswa di Semarang, itu mem posting jawaban adiknya di media sosial. Sontak posting-an itu menuai berbagai tanggapan, termasuk dua profesor hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Guru-guru di SD itu kebanyakan guru kelas yang mempelajari semua pelajaran. Matematika, bahasa Indonesia, Keterampilan, IPS, sehingga tidak fokus," kata Direktur Eksekutif Klinik Pendidikan MIPA (KPM) Ridwan Hasan Saputra kepada majalah detik, Kamis, 25 September.
Belajar matematika, pelatih nasional Olimpiade Matematika sejak 2004 itu melanjutkan, membuat nalar bagus, sehingga punya kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, banyak guru yang menyajikan matematika dalam suasana yang tidak menyenangkan.
Akibatnya, banyak yang memfitnah matematika sebagai pelajaran yang sulit, padahal matematika itu pelajaran yang mudah.
Berikut wawancara lengkap majalah detik dengan Ridwan, yang sejak 2007 mengantarkan murid-murid asuhannya meraih 90 medali emas dalam lomba matematika tingkat internasional:
Terkait perdebatan soal 4 x 6 dan 6 x 4, yang melibatkan beberapa pakar matematika, pandangan Anda seperti apa?
Kalau sisi kontennya, menurut saya, di situ guru sedang mengajarkan konsep tentang perkalian sebagai penjumlahan yang berulang. Misalnya 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 hasilnya adalah penjumlahan 4 sebanyak 6 kali atau 6 x 4. Konteksnya seperti itu kalau saya lihat.
Sehingga, sewaktu muridnya jawab 4 x 6, itu menjadi suatu nilai yang salah. Meskipun hasilnya sama-sama 24.
Beda lagi jika belajar komutatif, itu tidak menjadi masalah. Mungkin, di sini pun yang harus dipahami, guru sedang mengajarkan apa sehingga disalahkan.
Kalau sampai pakar berkomentar, ini saya melihat menjadi suatu hal yang dibesar-besarkan.
Walaupun dari situ dapat kita lihat ada masalah pada pendidikan matematika Indonesia. Sampai menteri pun berkomentar. Padahal itu hal yang sederhana. Sebenarnya masih banyak konsep matematika yang masih ditangkap salah oleh guru-guru, termasuk juga masyarakat. Karena itu, yang harus diperbaiki juga pemahaman guru terhadap matematika.
Jadi tidak ada yang salah dalam perdebatan itu?
Saya melihat di sini gurunya menilai murid itu tidak menerapkan konsep yang (sedang) diajarkan. Tapi seharusnya guru juga menanyakan mengapa muridnya menjawab seperti itu. Apalagi ini yang mengerjakan
kakaknya, jadi bisa saja muridnya tidak mengerti atau memahami apa yang diberikan guru.
Kembali lagi, ini masalahnya bagaimana guru mengajarkan sesuatu kepada murid sampai murid tidak paham. Seharusnya bagaimana konsep pengajaran oleh guru matematika?
Ketika di tingkatan dasar, kita mengajarkan sesuatu yang mudah dipahami oleh anak dulu. Ke dalam bentuk yang riil. Kalau sudah agak tinggi, bisa kemudian ke abstrak, seperti misalnya 4 x 6 itu sama dengan 6 x 4, itu tidak menjadi masalah, sama-sama (hasilnya) 24. Itu tidak menjadi masalah karena sifat komutatif. Ini tidak masalah jika diajarkan di tingkatan lebih tinggi.
Kalau SD kelas 2, tentunya tidak. Ini (komutatif) dulu karena anaknya pasti pusing. Urusan besarnya itu adalah memang banyak guru matematika yang tidak memahami konsep matematika secara benar, sehingga timbul ketidakpercayaan kepada guru.
Sumber
Guru kelas dengan mata pelajaran yang banyak dan type murid yang beragam pula tingkat pemahaman.
Link: http://adf.ly/sXblG