JAKARTA -Parlemen hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dinilai tidak akan lebih baik kinerjanya dibandingkan parlemen saat ini. Maraknya politik uang dan politik transaksional dalam koalisi pemilihan presiden (pilpres) membuat parlemen mendatang sulit diharapkan mampu membuat gebrakan baru.
"Jika melihat pola melihat koalisi pilpres, gambaran parlemen dan konfigurasi politik tidak berubah. Tidak ada harapan mereka mampu membuat gebrakan baru karena sejak awal masih saja berkoalisi, pun karena pertimbangan pragmatis," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, kepada SH, di Jakarta, Minggu (25/5).
Ia yakin, melihat perilaku partai politik (parpol) sangat transaksional pada koalisi pilpres, di parlemen pun watak parpol tidak akan jauh berbeda. Ideologi dan platform tidak akan menjadi fokus perjuangan politik di parlemen. Kepentingan transaksional bisa lebih dominan dibandingkan kepentingan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Sementara itu, Presiden Direktur Pusat Penelitian Pemilu dan Partai Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Chusnul Mar'iyah menyatakan, terpecahnya dukungan kader parpol menjelang pilpres mencerminkan akutnya pragmatisme politik di Indonesia. Alih-alih memperjuangan ideologi, parpol malah menjadi sarana merebut dan membagi-bagi kekuasaan. "Jadi, pragmatisme ada di parpol, ada di pemilih, ada juga di kader," kata Chusnul Mar'iyah.
Ia mengungkapkan, pragmatisme politik justru semakin berkembang. Sejumlah parpol saat ini sebenarnya berdiferensiasi ideologi yang ingin diperjuangan, tetapi hal itu kalah dengan kepentingan-kepentingan untuk berbagi kekuasaan. "Kalau semua kayak begitu, rusak, jadi nggak jelas. Untuk apa pemilu kalau cuma bagi-bagi kekuasasaan," tuturnya.
"Jika melihat pola melihat koalisi pilpres, gambaran parlemen dan konfigurasi politik tidak berubah. Tidak ada harapan mereka mampu membuat gebrakan baru karena sejak awal masih saja berkoalisi, pun karena pertimbangan pragmatis," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, kepada SH, di Jakarta, Minggu (25/5).
Ia yakin, melihat perilaku partai politik (parpol) sangat transaksional pada koalisi pilpres, di parlemen pun watak parpol tidak akan jauh berbeda. Ideologi dan platform tidak akan menjadi fokus perjuangan politik di parlemen. Kepentingan transaksional bisa lebih dominan dibandingkan kepentingan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Sementara itu, Presiden Direktur Pusat Penelitian Pemilu dan Partai Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Chusnul Mar'iyah menyatakan, terpecahnya dukungan kader parpol menjelang pilpres mencerminkan akutnya pragmatisme politik di Indonesia. Alih-alih memperjuangan ideologi, parpol malah menjadi sarana merebut dan membagi-bagi kekuasaan. "Jadi, pragmatisme ada di parpol, ada di pemilih, ada juga di kader," kata Chusnul Mar'iyah.
Ia mengungkapkan, pragmatisme politik justru semakin berkembang. Sejumlah parpol saat ini sebenarnya berdiferensiasi ideologi yang ingin diperjuangan, tetapi hal itu kalah dengan kepentingan-kepentingan untuk berbagi kekuasaan. "Kalau semua kayak begitu, rusak, jadi nggak jelas. Untuk apa pemilu kalau cuma bagi-bagi kekuasasaan," tuturnya.
Ia mengatakan, setelah 32 tahun Orde Baru berkuasa, ideologi tidak lagi menjadi hal yang penting untuk parpol. Ini berbeda dengan pemilu pada 1955, ketika parpol lebih jelas memperjuangan dan menunjukkan ideologinya.
Chusnul menyatakan, sulit mengubah budaya pragmatisme politik ini. Masih butuh beberapa pemilu lagi untuk mengubah kultur tersebut. Tetapi, perubahan harus dimulai dengan pendidikan politik untuk generasi muda.
Selain itu, Chusnul menambahkan, untuk mengantisipasi koalisi politik yang pragmatis, sebaiknya aturan berkoalisi dibuat sebelum pemilihan legislatif (pileg). Partai-partai yang berkoalisi adalah yang memiliki posisi ideologis yang mirip. Dengan demikian, koalisi tidak dibangun dengan paksaan atau inconvinience merried.
Posisi Tak Jelas Wakil Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu, Jojo Rohi mengatakan, relasi yang dibangun parpol saat ini memang transaksional. Ideologi bukan lagi hal yang penting untuk diperjuangkan. "Tidak ada lagi sekat-sekat ideologi. Fenomena koalisi kita menunjukkan, tidak ada urusan sama sekali dengan ideologi," ucapnya.
Menurutnya, di Indonesia pemilu hanya menjadi industri. Tidak adanya ideologi juga misalnya terlihat dari pilihan sikap Partai Demokrat yang tidak jelas. "Parpol itu cuma dua arahnya, menjadi penguasa atau oposisi. Tidak ada netral. Parpol itu alat perjuangan, buat apa ada parpol kalau tidak ada yang mau diperjuangkan, apakah ingin menjadi penguasa atau oposisi," ujarnya.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIP), Siti Zuhro berharap, pilpres 2014 tidak lagi dijadikan ajang bagi-bagi kekuasaan dan alat politik dinasti. â??Parpol sudah saatnya berpikir bagaimana kemenangan pemilu adalah kemenangan rakyat. Saya menandai, setiap pemilu menghadirkan pemimpin dan setiap pemimpin menghadirkan pemilu yang tepat. Idealnya seperti itu. Artinya. setiap era ada pemimpin dan setiap pemimpin ada eranya," tuturnya.
Sumber : Sinar Harapan


