Pengamat Sebut tak Ada Loyalis Jokowi di Kabinet
Selasa, 04 November 2014 , 06:12:00
JAKARTA – Presiden Jokowi diminta agar jangan paranoid terhadap Koalisi Merah Putih (KMP). Justru yang harus diwaspadai adalah jajaran internal partai-partai pendukungnya di Koalisi Indonesia Hebat (KIH), termasuk Wapres Jusuf Kalla.
Peringatan itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Indonesia Prof Dr Muhammad Budyatna setelah melihat sikap KIH yang bersikeras mendirikan DPR tandingan.
" Jokowi justru harus lebih khawatir dan mewaspadai KIH. KMP jelas posisinya sebagai lawan, tapi KIH itu teman yang bisa menikam dari belakang. Kalau saya jadi Jokowi saya akan lebih takut kepada KIH," tutur Budyatna di Jakarta, Senin (3/11).
Menurutnya, Jokowi juga harus berhati-hati terhadap partai utama pendukungnya, yakni PDIP. Sebab banyak elite di PDIP yang sudah berjuang untuk kemenangannya, sekarang sakit hati karena tidak terakomodir di dalam kabinet.
Selain itu, banyak tim relawan yang sudah berjuang habis-habisan dalam pemilu lalu juga sakit karena tidak masuk pula perwakilan mereka ke dalam cabinet.
"Jadi sekarang banyak barisan sakit hati di PDIP ini. Mereka tidak akan menolong Jokowi kalau dia dikhianati oleh JK. Ditambah lagi sangat banyak tokoh-tokoh di relawan yang juga sakit hati. Mereka tidak akan tinggal diam apalagi faktanya justru Jokowi menerima usulan nama-nama menteri dari JK," terang Budyatna yang juga Guru Besar Ilmu Politik UI ini.
Saat ini di kabinet Jokowi tak ada satu pun menteri yang bisa loyal kepada Jokowi, karena memang tidak ada loyalis Jokowi di dalam kabinetnya. "Sekarang Jokowi sendirian, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena harus mengakomodir kepentingan orang-orang tersebut," tukas Budyatna.
Nama-nama yang menjadi menteri, kata Budyatna, justru orang-orang Jusuf Kalla yang banyak mendapat jabatan. Dicontohkannya, PKB sejak awal memang ingin JK yang menjadi capres,
Ketum Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh juga punya hubungan khusus dengan JK. Sedangkan Partai Hanura dengan Ketua Umum Wiranto pernah menjadi cawapres JK dalam Pilpres 2009 lalu.
Termasuk PPP yang masuk ke KIH sekarang adalah kelompok yang dimotori Suharso Monoarfa, pernah menjadi anak buah JK di perusahaannya, sehingga Suharso ngotot mendorong PPP mendukung Jokowi karena JK yang menjadi cawapresnya.
"Ini artinya semua barisan menteri di Kabinet Jokowi adalah orang-orangnya JK. Ini faktanya. Sayangnya Jokowi hanya melihat Prabowo saja sebagai musuh," imbuh Budyatna.
Jokowi menurut Budyatna hanya mengambil elite kelas dua di PDIP untuk menjadi menteri, sementara kelompok elite kelas satu di PDIP seperti Pramono Anung, Eva Kusuma Sundari, Rieke Diah Pitaloka, Maruarar Sirait, Arief Wibowo, Arif Budimanta, Hasto Kristianto justru tidak diakomodir Jokowi. "Jokowi seperti dijebak, langsung disodori dan dipaksa mengambil lapis kedua PDIP," tukasnya lagi.
Berbagai langkah yang dilakukan KIH, yang salah satunya membentuk DPR tandingan adalah blunder bagi Jokowi. Sedangkan kekalahan KIH terhadap KMP, termasuk dalam proses pemilihan pimpinan DPR dan MPR bisa jadi disengaja. Tujuannya agar pemerintahan Jokowi tidak berlangsung lama
http://www.jpnn.com/read/2014/11/04/...wi-di-Kabinet-
Jokowi Sulit Diduetkan dengan Jusuf Kalla. Megawati Belum Lupa dengan Luka Lama dalam Pilpres 2004
12 Maret 2014 | 21:44
RIMANEWS- Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dinilai sulit untuk berduet dengan Jusuf Kalla karena Megawati dan PDIP trauma dengan masa lalu SBY-JK yang mengalahkannya pada pilpres 2004, padahal JK adalah Menko Kesra Mega, dan SBY menkopolkam Mega, namun keduanya malah berduet menggilas Megawati pada Pilpres 2004.
'Pilihannya adalah Akbar Tanjung yang lebih loyal pada Megawati dan bisa dipegang omongannya,'' kata seorang tokoh GMNI yang tak ingin disebutkan namanya.
PDIP juga merasa dicemaskan dengan bisnis besar grup JK yang menjadi konglomerasi di negeri ini dan pasti menggilas Megawati maupun Jokowi.
Tidak ada jaminan Jokowi-JK akan mendapatkan elektabilitas tertinggi jika dipasangkan, sebab posisi JK tak menguntungkan bagi PDIP. Apalagi tak ada jaminan Golkar mau menduetkan Jokowi dengan JK, malah sangat mungkin Jokowi diduetkan dengan Dr Akbar Tanjung, seperti saran Prof Salim Said, pengamat politik dan militer.
''Golkar sudah trauma dengan JK, juga PDIP curiga pada JK sebab ketika jadi cawapres SBY, justru JK bermain sendiri dan membiarkan SBY kalang kabut. PDIP bakal dilipat JK jika Jokowi duet dengan JK, PDIP tak mau dikadalin. JK dulu menko kesra Megawati, kemudian bersama SBY menikam Megawati sampai kalah telak pada Pilpres 2004. Megawati belum lupa dengan pengkhianatan JK tersebut ,'' kata sumber politik di PDIP dan di Demokrat.
Tahun lalu, ada kabar Sofyan Wanandi alias Liem Bian Kun bersaudara Liem Bian Kie, berupaya menjadikan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden dari PDIP , dan itu tidak mengagetkan. Sejak lama, bos Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu memang diketahui memperjuangkan JK, panggilan akrab Jusuf Kalla, agar bisa kembali tampil di pentas melanjutkan kepemimpinan nasional.
"Sofyan Wanandi dan JK punya hubungan masa lalu, keduanya sudah berteman sejak tahun 60 an, tidak aneh kalau Sofyan mendukung JK," kata Direktur SUN Institute Andrianto, Jumat (11/10/2013).
Bagi Andrianto, kabar Sofyan Wanandi menyiapkan Rp 2 triliun bersama Mari Elka Pangestu agar PDIP mengusung duet Mega-JK atau Jokowi-JK, kalau benar adanya, juga tidak mengagetkan. Kelompok neoliberalis acap kali memang menggunakan uang sebagai alat dalam melancarkan manuvernya.
Selasa, 04 November 2014 , 06:12:00
JAKARTA – Presiden Jokowi diminta agar jangan paranoid terhadap Koalisi Merah Putih (KMP). Justru yang harus diwaspadai adalah jajaran internal partai-partai pendukungnya di Koalisi Indonesia Hebat (KIH), termasuk Wapres Jusuf Kalla.
Peringatan itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Indonesia Prof Dr Muhammad Budyatna setelah melihat sikap KIH yang bersikeras mendirikan DPR tandingan.
" Jokowi justru harus lebih khawatir dan mewaspadai KIH. KMP jelas posisinya sebagai lawan, tapi KIH itu teman yang bisa menikam dari belakang. Kalau saya jadi Jokowi saya akan lebih takut kepada KIH," tutur Budyatna di Jakarta, Senin (3/11).
Menurutnya, Jokowi juga harus berhati-hati terhadap partai utama pendukungnya, yakni PDIP. Sebab banyak elite di PDIP yang sudah berjuang untuk kemenangannya, sekarang sakit hati karena tidak terakomodir di dalam kabinet.
Selain itu, banyak tim relawan yang sudah berjuang habis-habisan dalam pemilu lalu juga sakit karena tidak masuk pula perwakilan mereka ke dalam cabinet.
"Jadi sekarang banyak barisan sakit hati di PDIP ini. Mereka tidak akan menolong Jokowi kalau dia dikhianati oleh JK. Ditambah lagi sangat banyak tokoh-tokoh di relawan yang juga sakit hati. Mereka tidak akan tinggal diam apalagi faktanya justru Jokowi menerima usulan nama-nama menteri dari JK," terang Budyatna yang juga Guru Besar Ilmu Politik UI ini.
Saat ini di kabinet Jokowi tak ada satu pun menteri yang bisa loyal kepada Jokowi, karena memang tidak ada loyalis Jokowi di dalam kabinetnya. "Sekarang Jokowi sendirian, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena harus mengakomodir kepentingan orang-orang tersebut," tukas Budyatna.
Nama-nama yang menjadi menteri, kata Budyatna, justru orang-orang Jusuf Kalla yang banyak mendapat jabatan. Dicontohkannya, PKB sejak awal memang ingin JK yang menjadi capres,
Ketum Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh juga punya hubungan khusus dengan JK. Sedangkan Partai Hanura dengan Ketua Umum Wiranto pernah menjadi cawapres JK dalam Pilpres 2009 lalu.
Termasuk PPP yang masuk ke KIH sekarang adalah kelompok yang dimotori Suharso Monoarfa, pernah menjadi anak buah JK di perusahaannya, sehingga Suharso ngotot mendorong PPP mendukung Jokowi karena JK yang menjadi cawapresnya.
"Ini artinya semua barisan menteri di Kabinet Jokowi adalah orang-orangnya JK. Ini faktanya. Sayangnya Jokowi hanya melihat Prabowo saja sebagai musuh," imbuh Budyatna.
Jokowi menurut Budyatna hanya mengambil elite kelas dua di PDIP untuk menjadi menteri, sementara kelompok elite kelas satu di PDIP seperti Pramono Anung, Eva Kusuma Sundari, Rieke Diah Pitaloka, Maruarar Sirait, Arief Wibowo, Arif Budimanta, Hasto Kristianto justru tidak diakomodir Jokowi. "Jokowi seperti dijebak, langsung disodori dan dipaksa mengambil lapis kedua PDIP," tukasnya lagi.
Berbagai langkah yang dilakukan KIH, yang salah satunya membentuk DPR tandingan adalah blunder bagi Jokowi. Sedangkan kekalahan KIH terhadap KMP, termasuk dalam proses pemilihan pimpinan DPR dan MPR bisa jadi disengaja. Tujuannya agar pemerintahan Jokowi tidak berlangsung lama
http://www.jpnn.com/read/2014/11/04/...wi-di-Kabinet-
Jokowi Sulit Diduetkan dengan Jusuf Kalla. Megawati Belum Lupa dengan Luka Lama dalam Pilpres 2004
12 Maret 2014 | 21:44
RIMANEWS- Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi dinilai sulit untuk berduet dengan Jusuf Kalla karena Megawati dan PDIP trauma dengan masa lalu SBY-JK yang mengalahkannya pada pilpres 2004, padahal JK adalah Menko Kesra Mega, dan SBY menkopolkam Mega, namun keduanya malah berduet menggilas Megawati pada Pilpres 2004.
'Pilihannya adalah Akbar Tanjung yang lebih loyal pada Megawati dan bisa dipegang omongannya,'' kata seorang tokoh GMNI yang tak ingin disebutkan namanya.
PDIP juga merasa dicemaskan dengan bisnis besar grup JK yang menjadi konglomerasi di negeri ini dan pasti menggilas Megawati maupun Jokowi.
Tidak ada jaminan Jokowi-JK akan mendapatkan elektabilitas tertinggi jika dipasangkan, sebab posisi JK tak menguntungkan bagi PDIP. Apalagi tak ada jaminan Golkar mau menduetkan Jokowi dengan JK, malah sangat mungkin Jokowi diduetkan dengan Dr Akbar Tanjung, seperti saran Prof Salim Said, pengamat politik dan militer.
''Golkar sudah trauma dengan JK, juga PDIP curiga pada JK sebab ketika jadi cawapres SBY, justru JK bermain sendiri dan membiarkan SBY kalang kabut. PDIP bakal dilipat JK jika Jokowi duet dengan JK, PDIP tak mau dikadalin. JK dulu menko kesra Megawati, kemudian bersama SBY menikam Megawati sampai kalah telak pada Pilpres 2004. Megawati belum lupa dengan pengkhianatan JK tersebut ,'' kata sumber politik di PDIP dan di Demokrat.
Tahun lalu, ada kabar Sofyan Wanandi alias Liem Bian Kun bersaudara Liem Bian Kie, berupaya menjadikan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden dari PDIP , dan itu tidak mengagetkan. Sejak lama, bos Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu memang diketahui memperjuangkan JK, panggilan akrab Jusuf Kalla, agar bisa kembali tampil di pentas melanjutkan kepemimpinan nasional.
"Sofyan Wanandi dan JK punya hubungan masa lalu, keduanya sudah berteman sejak tahun 60 an, tidak aneh kalau Sofyan mendukung JK," kata Direktur SUN Institute Andrianto, Jumat (11/10/2013).
Bagi Andrianto, kabar Sofyan Wanandi menyiapkan Rp 2 triliun bersama Mari Elka Pangestu agar PDIP mengusung duet Mega-JK atau Jokowi-JK, kalau benar adanya, juga tidak mengagetkan. Kelompok neoliberalis acap kali memang menggunakan uang sebagai alat dalam melancarkan manuvernya.
Tapi, cara-cara seperti itu merusak demokrasi. Demokrasi jadinya dikontrol oleh pemilik modal. Suara rakyat bukan lagi manivestasi dari apa yang jadi harapan rakyat. Untuk itu kata Andrianto, agenda menggolkan duet Jokowi-JK atau Mega-JK dengan tawaran uang merendahkan demokrasi dan rakyat. Benar-benar meremehkan akal pikiran bangsa.
"PDIP saya kira cukup dewasa menyikapi tawaran tersebut. Sepuluh tahun jadi oposisi pelajaran berharga bagi PDIP. PDIP tidak akan gampang diiming-imingi. Kalau PDIP menerima tawaran itu sama saja menghancurkan ideologi PDIP yang selama ini mereka perjuangkan," imbuh Andrianto.
Selain alasan tawaran pragmatis, Andrianto juga menilai PDIP perlu mempertimbangkan kapasitas JK. Saat jadi RI 2 tidak ada prestasi JK biasa-biasa saja. Menduet Mega-JK atau Jokowi-JK akan merugikan bagi bangsa ke depan.
"JK sudah terbukti gagal. Di Pilpres lalu suara JK lebih kecil dari Golkar. Kalau sekarang dia ngotot maju lagi itu ambisi yang nyeleneh," katanya. ''Jangan Lu Lagi, Lu lagi (4 L)'', ujarnya. "Sebaiknya PDIP tak mengusung figur yang pernah nyalon tapi gagal KAYAK JK. Beri peluang tokoh lain saja," katanya
http://www.rimanews.com/read/2014031...ngan-luka-lama
Banyak Kader PDIP Tidak Puas dengan Susunan Kabinet Kerja
Selasa, 28-10-2014 09:11
Jakarta, Aktual.co — Banyak kader PDIP yang tidak puas dengan susunan Kabinet Kerja yang diumumkan Presiden Joko Widodo karena hanya memasukkan empat nama dari partai itu.
Demikian disampaikan Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan TB Hasanuddin, Senin (27/10) kemarin.
"Berdasar masukan kader dari seluruh Indonesia, mereka menyatakan tidak puas dengan hasil itu," kata Hasanuddin di Gedung DPR RI Jakarta. (Baca: Empat Kader Jadi Menteri, PDIP Gelar Rapat)
"Pembagian kabinet sama dengan PKB yang juga mendapat empat menteri, padahal kita mempunyai 109 kursi dan pemenang pemilu serta pilpres," sambungnya.
Ia menyatakan PKB yang memiliki 47 kursi di DPR RI mendapatkan empat menteri di kabinet, sama dengan PDIP.
"Masukan-masukan itu menyatakan tidak puas dengan komposisi kabinet seperti itu, maunya proporsional. PDIP tidak sama dengan PKB, saya sampaikan ini berdasakan masukan," pungkasnya.
Perlu diketahui, empat kader PDIP yang masuk kabinet adalah Puan Maharani sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Tjahjo Kumolo sebagai Menteri Dalam Negeri, Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM, dan AAGN Puspayoga sebagai Menteri Koperasi dan UKM
http://www.aktual.co/politik/banyak-...-kabinet-kerja
Maruarar Terpental dari Kabinet, Kader Protes Jatah Menteri PDI P Sedikit
Senin, 27 Oct 2014 | 5:26
GLOBALINDO.CO, Jakarta– Sejumlah nama populer yang menjadi pendukung bahkan belakangan sering menempel Presiden Joko Widodo secara mengejutkan tak dipakai dalam Kabinet Kerja. Dari sekian nama yang beredar, terpentalnya politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Maruarar Sirait dianggap paling mengagetkan dan terkesan mendadak.
Betapa tidak, beberapa jam sebelum pengumuman kabinet, Minggu (27/10) sore, nama politisi yang akrab dipanggil Ara ini disebut-sebut masih ada di pos Menteri Komunikasi dan Informasi. Namun tiba-tiba, Jokowi mengumumkan Kementerian Kominfo dinakhodai oleh Rudiantara, Dirut PT Indosat Tbk.
Dengan tersingkirnya Ara, praktis hanya empat kader murni PDI P selaku partai pengusung utama Jokowi-JK yang mendapat kursi menteri. Mereka adalah Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, Yasonna Laoly dan Puspayoga. Sisanya satu orang yakni Rini Soemarno adalah profesional yang juga kabarnya diajukan oleh Ketum PDI P, Megawati Soekarnoputri.
Sontak keputusan Jokowi tersebut memancing protes dari sejumlah kader PDI P. Politisi PDIP TB Hasanuddin membeberkan, banyak masukan-masukan kepada dirinya dari kader-kader PDIP di seluruh Indonesia tentang jatah menteri. Para kader dan simpatisan PDIP mengaku tidak puas. "Pertama saya mendapat masukan kader di daerah, tentang format dan formasi tentang jumlah orang di kabinet kalau dibandingkan dengan perolehan suara di DPR RI," kata TB Hasanudin kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/10).
Menurut TB Hasanudin, seperti diketahui PDIP meraup 109 kursi perolehan suara nasional di DPR, PKB 47 kursi, NasDem 32 kursi dan Hanura 16 kursi. Sedangkan pembagian jatah menteri, PDIP mendapatkan jatah 4 menteri, begitu juga dengan PKB yang mendapatkan jatah 4 menteri. "Masukan dari daerah tak puas dalam komposisi seperti itu," tegas Ketua DPD PDI P Jabar itu.
Hasanudin mengatakan, sejumlah kader PDIP bertanya-tanya mengapa jatah menteri yang didapat sama dengan yang didapat oleh PKB. Padahal perolehan suara PDIP jauh lebih besar bila dibandingkan dengan PKB. (Baca: Puan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Ini 15 Menteri dari Parpol).
"Maunya kader di daerah proporsional, PDIP tak sama dengan PKB, masak PKB juga dapat 4 menteri sama dengan PDIP. Ini saya jujur, masukan itu sejak kemarin hingga saat ini," jelasnya.
PKB diketahui juga mendapat jatah 4 kursi menteri, yakni Marwan Jafar (Menteri PDT), Hanif Dzakiri (Menteri Tenaga Kerja), Imam Nahrawi (Menpora) dan M Nasir (Menristek Dikti) yang diketahui ipar Muhaimin Iskandar. "Saudara harus ketahui target kader memenangkan pileg dan pilpres. Tentunya format ini harus dijaga supaya pada pemilu 2019 kita menang lagi dalam mengaplikasikan teori politik," tandas Hasanuddin.
http://www.globalindo.co/2014/10/27/...-pdi-p-sedikit
-----------------------------
Bukti Jokowi memang tak bisa disetir 100%?
Disuruh pake nama kabinet "Tri Sakti: aja menolak, eeehhh malah diganti Kabinet "Kerja" ...
(padahal arti kata atau padanan kata :kerja" itu adalah "Karya" ... jadi kabinet kerja = kabinet karya ... bua-bau Golkar? )
Dikutip dari: http://adf.ly/tlIZM


