Bisa jadi, keputusan Fabrizio Urso berbeda dengan warga negara asing lainnya yang tinggal di Indonesia. Pria kelahiran Roma Selatan itu meninggalkan pekerjaannya sebagai general manager rumah makan dan memilih berjualan di Jalan Manyarkertoarjo, Surabaya.
Laporan Thoriq S K, Surabaya
''OTE-ote, tahu isi, silakan beli...''
Kalimat itu sangat biasa ketika diucapkan pedagang ''lokal''. Siapa pun yang mendengar belum tentu langsung tergiur membeli dan mencicipinya. Namun, berbeda jika kalimat tersebut muncul dari mulut Fabrizio Urso, 39, pria asal Italia.
Logat bulenya mencuri perhatian warga yang lewat di depan lapaknya. Niat pertama tentu melihat siapa yang berjualan. Selanjutnya, mereka yang terpikat pun membeli dan mencicipi gorengan karya mantan GM rumah makan itu. Bisa jadi, mereka lantas ketagihan datang ke lapak dan menikmati gorengan tersebut.
Bagi Fabriz, sapaan akrabnya, menjual gorengan sangat menyenangkan. Dia merasa bebas dan menikmati pekerjaan itu. Hal tersebut berbeda ketika dia bekerja di rumah makan. Dia tidak bebas sehingga tidak bisa berkreasi. ''Sekarang pekerjaan ini milik saya,'' ujarnya.
Hampir setahun dia menjalani usaha tersebut. Pelanggan semakin banyak. Mereka merasa produk buatan Fabriz berbeda dengan gorengan lainnya. Lebih renyah, empuk, dan tidak serik di tenggorokan.
Begitu juga dengan kopi yang dijual bapak satu anak itu. Kopi robusta dan arabika racikannya sangat diburu. Pembelinya kebanyakan datang dari kalangan menengah ke atas. Fabriz pun bersyukur bahwa usaha yang dikelola bersama istrinya tersebut berjalan lancar.
Usaha itu baru dibuka Maret. ''Saya melihat pasar Indonesia. Apa yang laku saya jual,'' katanya.
Kebetulan, Fabriz memiliki kemampuan memasak. Semasa muda di Roma, dia kerap membuat pasta dan pizza. Namun, tidak terlintas di benak penggemar klub sepak bola AS Roma tersebut menjual dua jenis makanan itu. Dia memilih ote-ote, tempe goreng, dan tahu isi.
Salah satu alasannya, makanan jenis tersebut murah produksi. Masyarakat juga suka. Otomatis pangsa pasarnya cukup besar. ''Saya pilih berjualan gorengan bersama istri,'' ujarnya.
Fabriz merasa beruntung. Sebab, istri dan keluarganya gemar makan gorengan. Dari situ, dia tahu resep gorengan. Perlahan, dia mempelajari bagaimana membuat gorengan renyah dan nikmat.
Sebagai mantan GM di rumah makan, Fabriz pun menerapkan sistem yang sama di rumahnya. Misalnya, dapur harus bersih, makanan higienis, dan peralatan yang bersih.
Memang, lapak yang dimiliki Fabriz berbeda dengan milik pedagang lain. Lapak Fabriz bersih dari minyak maupun kotoran. Pembeli nyaman dan tidak merasa jijik. ''Itu salah satu sistem yang saya terapkan,'' ujar penggemar Francesco Totti tersebut.
Selain lokasi yang bersih, bahan makanan harus higienis. Sering orang menghindari gorengan karena kolesterol, serik di tenggorokan, dan minyak yang mengganggu. Gorengan hasil tangan Fabriz tidak demikian.
Dia membatasi jumlah minyak goreng. Sering kali penjual gorengan memasak dengan jumlah minyak berlebihan. Mereka tidak menyadari minyak itu diserap sehingga kadar minyak jenuh di dalam gorengan tersebut sangat tinggi. Fabriz juga menghindari penggunaan minyak beberapa kali.
Sistem tersebut memang boros minyak. Biaya pembelian minyak membengkak. Tapi, Fabriz tidak peduli. Bisa jadi, untung setiap gorengan memang sedikit, tapi rasanya enak. ''Pelanggan juga semakin bertambah,'' ujarnya.
Awalnya, dia hanya menjual tiga jenis gorengan. Masing-masing jenis 25 biji. Hasilnya, selama beberapa hari gorengannya habis. Kala itu, Novita, sang istri, selalu menemaninya berjualan. Karena respons pasar positif, Fabriz pun menambah jumlah gorengan. Kini jumlahnya bisa lebih dari 150 biji untuk setiap gorengan.
Pada bulan ketiga, Novita mengandung. Dia hanya membantu dari rumah. Salah satunya meracik bumbu. Fabriz lalu mencari pekerja yang sampai sekarang masih menemaninya. Setiap pukul 17.00, dia bersama karyawannya itu mulai menyiapkan dagangan di Jalan Manyarkertoarjo. Normalnya, Fabriz berjualan hingga pukul 22.00. Namun, kenyataannya berbeda. Tidak sampai tiga jam, gorengan sudah habis.
Banyak pelanggan mampir karena melihat bule berjualan. Ada daya tarik baginya untuk menarik pelanggan. Sampai sekarang, angka penjualannya terus meningkat. ''Mereka tahu dari cerita rekannya. Lalu, mereka datang sendiri untuk mencoba,'' paparnya sambil melayani beberapa pembeli yang antre di depan lapaknya.
Orang tua Fransesco Alesandro itu juga menceritakan awal mula masuk ke Indonesia. Tepatnya pada 2014 ketika dia bertemu sang pujaan hati di Singaraja. Mereka menjalin hubungan yang berlanjut ke pernikahan pada 2011.
Pada 2013, dia mendapat pekerjaan di Surabaya. Yakni, GM rumah makan di Jalan Imam Bonjol. Bagi dia, posisi sebagai GM di rumah makan bukan pengalaman baru. Ketika berada di Roma, Fabriz pernah bekerja di beberapa hotel terkenal di negara itu. ''Saya nyaman dengan pekerjaan GM rumah makan,'' katanya.
Namun,bekerja kepada seseorang tidak memberikan kebebasan waktu. Dia mulai berpikir membuka usaha sendiri. Yakni, berjualan gorengan.
Banyak rekan yang menyesalkan ketika dia keluar dari pekerjaan itu. Tapi, Fabriz memiliki prinsip kuat. Kerja keras akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat meski dimulai dari yang terkecil. Dukungan yang diberikan istri mendorong dia untuk mandiri. Pada Maret 2014, dia mulai membuka usaha itu.
Kini, satu dasawarsa Fabriz tinggal di Indonesia. Dia suka dengan Indonesia. Bagi dia, tidak ada penyesalan meraup rezeki di negeri ini. Hanya, sesekali dia merindukan Pino, sang ayah. Pria tersebut kini masih berada di Roma Selatan. Dia juga pekerja keras. Fabriz kerap terinspirasi sang ayah yang terus memberi semangat dari kejauhan.
SUMBER
LUAR BIASA
Link: http://adf.ly/uFYEp