
23 Mei 2014 17:23 wib
Metrotvnews.com, Purbalingga: Kemunculan sejumlah purnawirawan TNI dalam kancah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dipastikan tidak berpengaruh kepada netralitas prajurit TNI.
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengatkaan itu saat melihat kesiapan pasukan guna membantu mengatasi bencana Gunung Slamet, di Yonif 406/Candra Kusuma, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Jumat )23/5/2014).
Sehingga, menurut dia, blok-blokan antara purnawirawan TNI yang mendukung salah satu pasangan calon presiden (capres) dan wapres tidak bisa mempengaruhi prajurit TNI untuk ikut dalam politik praktis, kata Panglima TNI para purnawirawan tidak bisa mempengaruhi netralitas TNI. "Mereka adalah purnawirawan. Tak bisa memengaruhi TNI. Saya tegaskan itu," katanya
http://pemilu.metrotvnews.com/read/2...netralitas-tni
Jumat, 23 Mei 2014, 19:43 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, PURBALINGGA -- Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengusulkan agar pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) mengenai netralitas TNI. Hal itu disampaikan Panglima saat melakukan kunjungan kesiapan anggota TNI menghadapi Pemilihan Presiden dan antisipasi erupsi Gunung Slamet di Batalyon 406 Candrakusuma Purbalingga, Jumat (23/5). ''Kalau untuk pemilihan legislatif memang sudah secara tegas disebutkan bahwa TNI harus netral. Namun kalau untuk pilpres, UU tidak menyebutkan secara tegas mengenai soal ini,'' jelasnya.
Meski demikian, dia menegaskan, ada atau tidak ada aturan Perppu Panglima tetap menjamin panglima dan juga anggota TNI tetap akan bersikap netral dalam menyikapi penyelenggaraan pilpres. ''Saya tegaskan, TNI tetap netral,'' jelasnya.
Soal banyaknya mantan jenderal yang kini terjun ke politik praktis dan bergabung pada masing-masing kubu calon presiden, Panglima menyatakan, pihaknya sudah tidak bisa mengatur masalah itu. ''Itu sudah bukan wilayah kami. Mereka sudah pensiun dari TNI, dengan demikian hak politik mereka juga dijamin UU,'' tegasnya.
Panglima TNI, pada Jumat (23/5), melakukan kunjungan kerja ke Jawa Tengah. Selain mengunjungi Purbalingga, dia juga mengunjungi Markas Kodam IV Diponegoro Semarang, dan juga meninjau kondisi Gunung Slamet dengan mengunjungi pos pengamatan Gunung Slamet di Desa Dawuhan Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang.
Selain bermaksud meninjau kesiapan anggota TNI dalam membantu proses evakuasi warga bila Gunung Slamet meletus, juga untuk meninjau kesiapan anggotanya dalam ikut mengamankan jalannya pemilihan presiden. ''Saa berkunjung ke Jawa Tengah untuk meninjau kesiapan TNI menghadapi pilpres,'' katanya.
http://www.republika.co.id/berita/na...netralitas-tni
Minggu, 16 Oktober 2011 , 21:04:00 WIB




Para veteran TNI
RMOL. Partai Demokrat geram dengan sebagian aktvis dan para jenderal purnawirawan yang tidak mengakui lagi SBY sebagai Presiden RI dan mau mendeklarasikan pemerintahan sementara.
Adalah Ketua DPP Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, yang mengingatkan para jenderal itu untuk tidak lagi terlibat dalam urusan politik praktis. Para jenderal itu lebih baik taat dalam barisan Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) dan memegang teguh sapta marga. "Sebagai anak tentara saya malu dengan gerakan mereka itu. Apalagi para jenderal purnawirawan itu cuma macan ompong yang tak perlu ditakuti. Saya tahu persis kalau jenderal sudah pensiun," kata Ruhut Sitompul kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Minggu, 16/10).
Ruhut juga mengingatkan para aktivis yang terlibat dalam gerakan pembentukan pemerintahan sementara itu untuk tidak menari di atas gendang orang lain. "Mereka itu sirkus semua yang tidak track record-nya dalam dunia politik. Saya yakin gerakan itu akan ke laut," demikian Ruhut.
http://www.rmol.co/read/2011/10/16/4...erlu-Ditakuti-
28 Maret 2014 19:55 wib
Metrotvnews.com, Jakarta: Jenderal purnawirawan Luhut Binsar Pandjaitan muncul di depan wartawan beberapa jam setelah deklarasi Jokowi sebagai calon presiden, Jumat (14/3). Di Gedung Wisma Bakrie II, Luhut ternyata menyampaikan dukungan kepada Jokowi.
Luhut bicara atas nama 22 jenderal purnawirawan TNI-Polri. Di barisannya bergabung nama-nama seperti : Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Letjen (Purn) Johny Lumintang, Mayjen TNI (Purn) Syamsir Siregar dan Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan. â??Yang dukung Jokowi itu kelompok jenderalâ??jenderal yang tidak menonjol di era Orde Baru. Sedangkan Prabowo kan anak emas Soeharto dan selalu mendapat dukungan penguasa ketika itu,â?? ujar Direktur Studi Demokrasi Rakyat, Hari Purwanto.
Menengok ke belakang, Luhut Pandjaitan adalah lulusan terbaik AKABRI angkatan 1970. Namun, semasa Orde Baru, karier politiknya tidak terlalu mengkilap. Ketika berpangkat Letnan Jenderal, Luhut menempati pos Komandan Pendidikan dan Latihan TNI-AD.
Seperti Prabowo, Luhut juga pernah bergabung dengan Korps Baret Merah, namun kariernya hanya mentok sebagai Komandan Grup 3 ketika berpangkat kolonel. Sebelumnya, ia mengawali karier di kesatuan elite itu sebagai komandan pertama dan pendiri Detasmen 81, Antiteroris Kopassus. Kemudian ketika berpangkat Letnan Kolonel, ia menjadi Asisten Operasi.
Sementara, Jenderal Fachrul Razi baru mencuat di era Gus Dur. Ia menjadi Wakil Panglima TNI mendampingi Laksamana Widodo AS yang dipercaya Gus Dur sebagai panglima TNI. Sebelum itu, ia menduduki jabatan Kepala Staf Umum ABRI, lalu menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan. Di ujung Orde Baru, 1996--1997 Fachrul hanya kebagian pos Gubernur Akademi Militer.
Johny Lumintang sempat menduduki jabatan â??juru latihâ?? sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI. Dia kemudian menjadi Gubernur Lemhamnas, Wakil Kepala Staff Angkatan Darat dan terakhir menjadi Sekretaris Jenderal Dephankam. Johny inilah yang menggantikan Prabowo Subianto, pascarusuh Mei 1998. Namun, ia hanya mengawal masa transisi selama satu hari, sebelum Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad ) yang baru, Djamari Chaniago tiba di
Jakarta. Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan, malah punya pengalaman langsung berhadap-hadapan dengan Prabowo. Sintong lah yang â??mengusirâ?? Prabowo dari rumah Presiden BJ Habibie di Patra Kuningan. Peristiwa itu terjadi sehari setelah Habibie menggantikan Soeharto, 22 Mei 1998.
Di kubu Prabowo, bergabung Jenderal-jenderal yang berlatar belakang veteran Timor-Timur. Salah satunya, Yunus Yosfiah. Mantan Menteri Penerangan (1998â??1999) ini mungkin yang paling tenar, terutama bagi pers Asing terutama Australia. Sama seperti Prabowo, dia dibayangi oleh tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM. Australia menganggapnya sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kematian lima wartawan Australia di Timor-Timur pada 1975, yang terkenal dengan tragedi â??Balibo Fiveâ??. Jabatan terakhirnya adalah Kepala Staf Sosial Politik ABRI.
Manuver para jenderal menjelang Pemilu 2014 ini semakin menarik karena Prabowo sendiri sedang kecut terhadap PDIP lantaran Banteng Moncong Putih itu mengusung Jokowi sebagai calon presiden -- Langkah yang menurut Prabowo melanggar perjanjian Batu Tulis pada 2009. Dalam perjanjian itu, PDIP sepakat untuk mengusung Prabowo sebagai capres 2014. Setelah merasa dikhianati, Prabowo bukan hanya kecewa namun mulai mengumbar serangan ke PDIP dan Megawati.
Kehilangan Prabowo, toh bukan berarti PDIP ditinggalkan para jenderal. Sejak Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi memang sudah intens menjalin komunikasi dengan Luhut, Sintong dan kawan-kawan yang sering berkumpul di Wisma Bakrie II . Tak heran, saat Jokowi dan Prabowo berhadap-hadapan untuk merebut kursi RI1, tidak semua jenderal memilih berada di barisan Prabowo.
http://news.metrotvnews.com/read/201...prabowo-jokowi
Kamis, 22 Mei 2014 | 21:36 WIB

mantan jenderal yang bergabung ke Jokowi ....
JAKARTA, KOMPAS.com â?? Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso mengklaim jenderal purnawirawan yang berada di balik pasangan bakal calon presiden-wakil presiden Joko "Jokowi" Widodo-Jusuf Kalla lebih banyak ketimbang pasangan bakal capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
"Memang sepertinya terbagi dua, tapi kalau dihitung-hitung lebih banyak yang mendukung Jokowi-JK," ujarnya di Kantor PKPI Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/5/2014) malam.
Hal ini diungkapkan Sutiyoso menyusul keputusan partainya yang resmi mendukung pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Sutiyoso mengungkapkan, sejumlah petinggi TNI yang berada di balik PKPI dan mendukung Jokowi-JK antara lain mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono, mantan Kepala BAIS Zainudin, mantan Kepala Staf AL Suparno, mantan Kepala Staf AU Sutria Tubagus, mantan Kapolri Bimantoro dan Da'I Bachtiar, dan sejumlah petinggi TNI lainnya.
Namun, Sutiyoso mengingatkan hal ini bukanlah sinyalemen perpecahan. Menurutnya, ini hanya soal pilihan saja. "Oleh sebab itu, mari berlomba secara fair, siapa yang menang kita hormati dan kita tentu berharap semua berjalan lancar dan jujur," ujar Sutiyoso.
http://indonesiasatu.kompas.com/read...campaign=Kknwp

Jokowi, the PDIP Guard
Kamis, 22 Mei 2014 | 21:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com â?? Mantan Kepala Badan Intelijen Negara, AM Hendropriyono, dua eks Kepala Polri, yakni Surojo Bimantoro dan Da'i Bachtiar, serta belasan jenderal Tentara Nasional Indonesia memberikan dukungannya kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo- Jusuf Kalla. Mereka bertekad dan berjuang untuk memenangkan pasangan tersebut pada Pemilu Presiden 2014.
"Ada dari (jenderal) bintang empat dan belasan bintang tiga yang dukung Jokowi-JK," ujar Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Sutiyoso saat deklarasi dukungan PKPI kepada pasangan capres-cawapres Jokowi-Jusuf Kalla di Kantor Dewan Pimpinan Nasional PKPI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/5/2014).
Sutiyoso beserta partainya juga telah resmi memberikan dukungan kepada Jokowi-JK. Dukungan itu diberikan tanpa syarat bagi-bagi kekuasaan. Dalam sambutannya, Hendropriyono menyebut nama-nama jenderal dan mantan Kapolri yang mendukung Jokowi-JK. Nama-nama yang disebut, antara lain Jenderal (Purn) Fachrurrozy, mantan Kepala Bais Letjen TNI (Purn) Farid Zainudin, mantan Kepala Staf TNI AL Laksamana (Purn) Soeparno, mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI (Purn) Sutria Tubagus, mantan Kepala Staf TNI AL Laksamana (Purn) Tedjo, serta dua mantan Kapolri Surojo Bimantoro dan Da'i Bachtiar.
http://indonesiasatu.kompas.com/read...campaign=Kknwp

Senin 18 November 2013
JAKARTAâ?? Komunikasi Politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua Dewan Penasihat Partai Gerindra Prabowo Subianto dan tujuh purnawirawan jenderal dinilai tidak berpengaruh pada peta politik di tingkat purnawirawan TNI.
Pasalnya, purnawirawan jenderal di era reformasi berbeda dengan saat Orde Baru yang masih punya keterikatan kuat dengan institusi. â??Kalau dulu pensiunan jenderal sudah ada hubungan yang tidak terbantahkan dengan TNI. Namun, sekarang tidak terorganisasi dan tidak ada komunitas itu. Mantan-mantan jenderal zaman sekarang boleh saja masuk ke partai apa saja,â?? tandas Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Karena itu, kata mantan jenderal ini, dalam hadirnya tujuh jenderal ke Istana menemui Presiden SBY jangan terlalu dihebohkan seolah merupakan kekuatan yang berpengaruh besar secara politik. â??Kalau zaman Orde Baru orang bisa wah, ada apa ini?. Kalau zaman sekarang biasa saja, kenapa mesti kita ribut dengan tujuh orang itu?â?? paparnya. Kalauketujuhorangituhanya mewakili dirinya pribadi, ujarnya, maka silakan saja.
Tetapi kalau mereka mewakili partai, tentunya patut dipertanyakan. Kalau dalam pertemuan tersebut merekamenyodorkansiapayang mau jadi calon presiden, paparnya, maka itu jelas menyalahi saluran. â??Harusnya datang kepada ketua-ketua partai dan datang kepada ketua dewan pembina partai. Jangan kepada presiden, datang saja ke Cikeas. Ini kan bukan kerajaan,â?? sindirnya.
Soal informasi bahwa mereka para purnawirawan jenderal yang diundang untuk dimintai dukungan terkait adanya wacana yang mau melakukan kudeta, ketua Departemen Politik DPP PDIP ini menilai berlebihan. â??Di internal TNI itu tidak ada informasi atau sebagainya, dan saya lihat tidak mungkin TNI melakukan kudeta. Apalagi dari sipil,â?? tandasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Bidang Politik dan Jaringan Ridwan Darmawan menilai, percuma jika maksud SBY menemui para purnawirawan jenderal dan Prabowo untuk membangun proteksi politik. Selaku presiden, ujarnya, mencari proteksi politik yang paling efektif adalah dari rakyat.
Caranya melalui kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Jika yang dimaksud juga untuk kepentingan jangka panjang setelah tidak menjabat lagi, menurut Ridwan hal itu juga tetap tidak efektif. â??Caranya bukan meminta ke tokoh yang berpotensi menjadi pemegang kekuasaan berikutnya, melainkan dengan cara tidak mewarisi permasalahan hukum,â?? tandasnya
http://koran-sindo.com/node/300593
-------------------------
NKRI kini bukan lagi negara ecek-ecek yang hanya terbelit dengan kemiskinan, pengangguran dan kebodohan dan separatisme seperti di masa lalu. NKRI sekarang dan di masa depan adalah sebuah bangsa yang sudah mulai maju, sejajar dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Ekonomi NKRI akan tumbuh dan berkembang dengan mengandalkan kekayaan nasionalnya, dan penduduk yang semakin baik kwalitas sumber daya manusianya.
Sistem politik yang sudah menganut Demokrasi penuh (Full Democration) dan model ekonomi yang semuanya sudah dilakukan dengan pendekatan Mekanisme Pasar (Price mechanism), adalah tanda-tanda menuju ke arah kemajuan itu. Untuk negeri yang sudah maju seperti ini, dimana kekuatan ekonomi akan menjadi andalan utama untuk menjaga kestabilan dan kesinambunagn kemajuan, sangat diperlukan tipe Pemimpin yang sangat paham mengenai dunia bisnis atau perdagangan internasional. Itulah yang menjadi salah satu alasan bahwa Presiden RI di tahun 2014 dan sesudahnya, seharusnya di isi orang-orang yang professional di dunia bisnis, tentu pengusaha dengan integritas moral yang baik dan luhur budinya



