Menyikapi kekhawatiran tersebut, Hatta Rajasa mengambil keputusan bijak memilih mengundurkan diri dari jabatan menteri koordinator bidang perekonomian (menko perekonomian) untuk berkonsentrasi menghadapi pemilu presiden (pilpres). Hatta, yang juga menjabat ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), memutuskan maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Langkah tersebut sangat patut diapresiasi. Sebab, dengan mundur dari kabinet, Hatta telah menegaskan tidak ingin tercebur dalam konflik kepentingan apabila tetap menduduki kursi menko perekonomian. Dia ingin fokus pada persiapan menghadapi Pilpres 9 Juli mendatang, sehingga tidak ingin mengabaikan tugas-tugas kenegaraan sebagai anggota kabinet.
Harus diakui budaya mundur belum mengakar di kalangan pejabat publik di Tanah Air demi menghindari konflik kepentingan. Namun, bukan berarti belum ada yang melakukannya. Menjelang Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga melakukan hal yang sama, yakni mundur dari kabinet pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. SBY kala itu meletakkan jabatan menteri koordinator bidang politik dan keamanan (menko polkam) karena memutuskan maju dalam pemilu presiden (pilpres) satu dekade silam.
Pada Januari lalu, Gita Wirjawan juga mengundurkan diri dari jabatan menteri perdagangan. Kala itu, Gita tengah berkonsentrasi menjadi peserta konvensi penjaringan capres yang digelar Partai Demokrat.
Mengundurkan diri dari jabatan publik demi sebuah ambisi politik, bukanlah hal yang tabu dilakukan. Hal itu juga bukan tindakan yang inkonstitusional. Justru langkah itu menunjukkan kesadaran seseorang bahwa tugas dan tanggung jawabnya di jabatan publik yang diembannya bakal terabaikan.
Secara manusiawi, panggilan untuk memenuhi ambisi politik akan lebih dominan dilakukan oleh seseorang yang tengah menduduki jabatan publik. Tugas dan tanggung jawab di jabatan publik dipastikan tidak akan maksimal. Sebab, jabatan publik adalah kerja kolektif, yang bisa didelegasikan kepada pejabat eselon di bawahnya. Sebaliknya, mewujudkan ambisi politik merupakan kerja personal.
Selepas ditinggalkan Hatta Rajasa, pertanyaan publik apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengisi kekosongan kursi menko perekonomian, dalam sisa usia pemerintahan yang tinggal lima bulan lagi. Ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan Presiden, yakni menunjuk pejabat definitif, atau menunjuk salah satu anggota kabinet, misalnya wakil presiden, untuk merangkap jabatan menko perekonomian secara ad interim.
Kedua opsi tersebut dilakukan demi menjamin kabinet tetap bekerja optimal. Meskipun, bukan merupakan kementerian teknis, posisi menko perekonomian dalam struktur kabinet tentu saja sangat strategis. Sebab, dia berfungsi mengoordinasi semua menteri bidang ekonomi. Apalagi, tolok ukur pembangunan nasional adalah di bidang ekonomi. Oleh sebab, itu hendaknya segera ditunjuk pengganti Hatta untuk melanjutkan kesinambungan koordinasi di tim ekonomi kabinet.
Tentu saja, tugas pengganti Hatta tidaklah mudah. Dia harus mampu mempertahankan pencapaian yang dirasakan selama ini, dan sedapat mungkin meningkatkannya. Apalagi, menjelang berakhirnya masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pada Oktober mendatang, ada tanggung jawab moral agar kabinet yang dipimpin SBY-Boediono ini mampu mewariskan kondisi perekonomian yang baik.
Itulah mengapa, meskipun tinggal menyisakan waktu lima bulan, Presiden sebaiknya menunjuk pejabat penggantinya. Ditilik dari tanggung jawab yang begitu besar, idealnya Presiden menunjuk menteri definitif, tidak dilakukan perangkapan jabatan oleh anggota kabinet lainnya.
Sejauh ini, sejumlah kalangan menyebut nama pengusaha nasional Chairul Tanjung sebagai figur yang dianggap layak dan mampu menduduki kursi menko perekonomian. Munculnya nama Chairul tentu bukan tanpa alasan mendasar. Lembaga yang dipimpinnya, yakni Komite Ekonomi Nasional (KEN), sering memberi rekomendasi kepada pemerintah mengenai kondisi perekonomian dan apa yang sebaiknya dilakukan untuk merespons dinamika di lingkungan domestik dan global. Dengan latar belakang itu, Chairul sudah sangat memahami tantangan perekonomian nasional, dan apa yang harus dilakukan dalam sisa waktu yang singkat ini.
Selain itu, dengan latar belakang sebagai pengusaha, dia tentu lebih memahami apa yang dibutuhkan dunia usaha, agar mampu memberi kontribusi lebih optimal bagi perekonomian. Sebab, salah satu tantangan terbesar saat ini adalah meningkatkan kinerja investasi dan mendorong sektor manufaktur, guna memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus meningkatkan nilai tambah perekonomian nasional.
sumber
siapa pun pengganti Hatta, semoga bisa membangun indonesia jadi lebih baik lagi


