
"Saya awalnya curiga, waktu Rabu, 30 April 2014, saya lihat si anak pas pulang sekolah jalannya ngangkang," katanya saat ditemui di kediamannya di Harjamukti, Cimanggis, Depok, Rabu siang, 7 Mei 2014. "Pas saya tanya, dia cuma bilang digigit semut."
Namun, pada keesokan harinya, sang anak mengeluh kelaminnya sakit. M lalu memeriksa dan melihat bagian vital anaknya ternyata sudah bengkak. "Terus saya bawa dia ke bidan. Tapi, kata bidan, lebih baik diperiksa di rumah sakit khusus ibu dan anak."
Saat tiba di rumah sakit, M bercerita, dokter yang memeriksa terkejut melihat kondisi kelamin anaknya. "Kata dokter, ini luka akibat penganiayaan. Saya disarankan membawa anak saya untuk divisum."
Perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci dengan penghasilan hanya sebesar Rp 300 ribu sebulan itu tak mampu membayar biaya visum. "Saya disarankan melapor ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Jakarta Timur buat dapat surat rujukan visum agar gratis," katanya. Sayangnya, anak M enggan dibawa ke rumah sakit untuk divisum karena merasa takut dan trauma.
Kepada ibunya, korban tidak bisa mengingat kejadian penyebab kelaminnya bengkak itu secara rinci. "Anak saya bilangnya, sebelum kelaminnya terasa sakit, dia tidak sadar dan terbangun di dalam toilet sekolahnya," dia menjelaskan.
Setelah ditanya berkali-kali oleh ibunya, W lalu menyebut nama seorang guru. "Lalu saya tanya terus, dan jawaban dia begitu terus. Saya jadi semakin curiga kalau benar gurunya yang melakukan ini," kata M.
Gara-gara kejadian ini, korban merasa trauma dan enggan bersekolah. Pada Minggu lalu, 4 Mei 2014, Kepala SDN 06 Petang, Pondok Rangon, Jakarta Timur, Sukirno, mengunjungi rumah M untuk mencari tahu penyebab anaknya tak masuk sekolah selama empat hari. Kepada kepala sekolah, M langsung membeberkan cerita anaknya. "Tapi kepala sekolah waktu itu bilang ke saya supaya jangan dulu melapor ke polisi," ujarnya.
Saat dikonfirmasi mengenai keterangan M, Sukirno membantahnya. "Tidak, saya tidak melarang. Malah saya langsung bikin rapat sama guru yang lain," ujarnya saat ditemui di sekolah. "Semua guru sudah dikumpulkan dan tidak ada yang mengakui." Guru yang disebut korban pun, kata Sukirno, menyatakan juga berani bersumpah tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan.
Sukirno pun langsung melakukan penyelidikan sendiri. Dia mendapat keterangan dari penjaga sekolah yang melihat korban pada hari kejadian, 30 April 2014. "Kata penjaga sekolah, pada Rabu lalu, sekitar pukul 11.00 WIB, W turut membantu teman sekelasnya mengangkat bangku dari toilet yang kini digunakan sebagai gudang ke ruangan yang akan digunakan untuk try out murid kelas VI."
Anak-anak kelas III memang diminta membantu oleh seorang guru yang mengajar pendalaman materi untuk kelas VI. "Waktu itu penjaga sekolah melihat ia dan teman-temannya biasa saja, tidak ada yang aneh."
Sukirno menegaskan, kalau kasus ini telah dilaporkan, dirinya tetap mendukung polisi mengusutnya. "Saya juga sudah kasih dispensasi kepada dia buat enggak masuk sekolah," kata Sukirno. Dia juga telah menghubungi RS Polri dan meminta psikolog untuk menggali keterangan siswanya itu. "Kalau nanti ada guru yang terbukti bersalah, pasti akan ada sanksi tegas."
Saat ditemui terpisah, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Jakarta Timur Ajun Komisaris Besar Polisi Didik Sugiarto menyatakan sudah mendapat informasi kasus tersebut. "Meskipun orang tua korban belum melapor, kami proaktif mendalami kasus ini karena memang ini melibatkan anak di bawah umur, jadi tidak perlu menunggu laporan."
Sumber


