Terkait dengan momentum Pemilihan Presiden 2014, media khususnya media sosial memiliki peran yang cukup signifikan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sosok pemimpin Indonesia di masa mendatang. Pemimpin yang akan membawa misi perubahan bagi Indonesia minimal 5 tahun mendatang. Pemimpin yang akan merubah wajah pendidikan putra-putri Indonesia, pemimpin yang akan merubah nasib kaum buruh, wajah ekonomi, sosial budaya, wajah birokrasi, pertahanan keamanan hingga hubungan luar negeri (Internasional).Berkaitan dengan hal tersebut, media sebagai jembatan yang menghubungkan antara harapan masyarakat dan tujuan yang ingin diciptakan oleh calon presiden tentu harus dapat bersikap netral dan profesional. Mengedepankan sisi-sisi idealisme dan kebaikan umat, sehingga dapat tercipta kesamaan frame tentang grand desain Indonesia di masa depan.Untuk itu, partisipasi media dalam pemilu perlu memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengedapankan prinsip keadilan dan independensi Pers. Banyak batasan-batasan serta larangan yang perlu diketahui media dalam menjalankan kerja Pers, terutama terkait momentum tahun politik, sehingga tidak cenderung black campaign.Larangan tersebut terkait dengan menjual blocking segment atau blocking time untuk kampanye Pemilu, menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye Pemilu, serta ketidakberimbangan atas pemberitaan dan pemberian iklan yang diberitakan atau disiarkan oleh media.
Dalam konteks kontestasi pilpres, netralitas dan objektifitas media massa akan menampilkan postur media massa sebagai sumber informasi penting bagi publik atas rekam jejak, visi misi dan program pembangunan yang diusung oleh tiap pasangan capres/cawapres. Hal itu dapat terjadi jika ada kesadaran internal bagi para pelaku industri media massa untuk melihat kepentingan bangsa yang lebih luas.Terkait hal tersebut, berdasarkan pemantauan media yang dilakukan The Indonesian Institute menyebutkan isi berita media massa selama masa kampanye terbuka 15 Maret hingga 5 April 2014 larut dalam kepentingan elit pemilik dibandingkan dengan urusan publik. "Media massa yang seharusnya menyajikan berita-berita yang objektif dan berimbang malah ikut larut dalam kepentingan para elit pemilik media dibandingkan dengan kepentingan publik," kata peneliti TII Arfianto Purbolaksono di Jakarta.Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Ade Armando, pengamat penyiaran publik dari Universitas Indonesia, karena banyak bos media menduduki jabatan politik di partai, lembaga penyiaran publik menjadi rawan dipolitisasi. "Masalah berbahaya nanti kalau media sudah jadi kepentingan politik�.
Terkait pemberitaan dan iklan di media, diharapkan agar Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers dan publik untuk melakukan pengawasan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing, terutama terkait dengan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan iklan Kampanye Pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau oleh media massa cetak, online dan elektronik.Begitu pula dengan pasangan capres/cawapres serta parpol pengusung hendaknya dapat memanfaatkan momentum sesuai dengan aturan perundang-undangan serta bergerak pada upaya kompetisi yang kualitatif, tidak hanya mengandalkan teknik-teknik pencitraan, tetapi lebih berbobot pada isu konsep dan program pembangunan nasional.Selain itu, diharapkan agar masyarakat bisa memantau pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers dan melaporkannnya ke Komisi Penyiaran Indonesia dan/atau Dewan Pers. Dengan demikian, wajah demokrasi di Indonesia menjadi semakin matang. Semoga pemilu 2014 mampu melahirkan pemimpin yang dapat membentuk Indonesia baru dengansistem yang lebih profesional dan berwibawa di mata Internasional.


