Please disable ad-blocker to view this page



SITUS BERITA TERBARU

Nasehat Politik untuk Yuddy Chrisnandi

Monday, May 12, 2014
Politik praktis memang tak seindah teori dan etika politik. Orang yang paham teori politik dan punya niat baik untuk memperbaiki keadaan tak menjamin akan sukses di dunia politik. Pangkalnya satu: politik, seperti juga bidang lain, membutuhkan keterampilan.

Di dunia politik banyak akademisi dan pebisnis handal bertumbangan. Umumnya, ketika ditanya mengapa mereka gagal, mereka melemparkan kesalahan pada sistem, pada lawan-lawannya, pada siapa saja yang bahkan tak berkaitan dengan kekalahannya. Contoh, Yuddy Chrisnandi.

Ada memang satu dua orang yang benar-benar punya integritas sekaligus cakap berpolitik tapi kalah, akibat dicurangi lawan-lawannya. Tapi ini sangat jarang, apalagi di Indonesia. Di negara kita, orang yang menyalahkan lawan-lawannya atau sistem politik ketika ia kalah, umumnya memiliki kualitas pribadi yang tak jauh berbeda, bahkan mungkin lebih buruk dari lawannya.

Misalnya, Sutan Batoegana. Ia menganggap kegagalannya sebagai akibat dicurangi teman separtainya. Kita sangsi. Sutan yang diduga terlibat perkara suap BP Migas dan sering memojokkan orang lain secara kasar, tidak melakukan hal yang sama. Ia kalah karena ia kalah curang.

Di Indonesia, khususnya pascareformasi, yang terjadi adalah sebaliknya; banyak orang yang oleh masyarakat umum dianggap sebagai orang baik-baik banyak yang berkuasa. Risma di Surabaya, Ganjar di Semarang, Jokowi di DKI, dan Ridwan Kamil di Bandung�untuk menyebut beberapa nama. Bukankah mereka menghadapi lawan dan sistem yang kurang lebih serupa? Mengapa mereka menang?

Para Caleg gagal seperti Ahmad Yani dari PPP, Sutan Batoegana dari Demokrat, dan Yuddy Chrisnandi dari Hanura mestinya membuka mata. Bahwa mereka memang tidak punya kompetensi di bidang politik; bukan karena dicurangi, bukan karena uang. Di Indonesia, sekali lagi, dicurangi dan politik uang adalah bagian dari politik itu sendiri.

Mari kita sempitkan pada kasus Yuddy. Politisi yang dibesarkan Golkar ini pernah mengalami masa-masa kejayaan. Tapi jika dihitung secara kumulatif, Yuddy lebih banyak kalahnya, terutama dalam partai-partai menentukan.

Pada Pemilu 2009, misalnya, Yuddy masuk dalam deretan tokoh muda yang berkeinginan maju dalam Pilpres . Ia sempat terlibat dalam konvensi rakyat dan sempat menggelar roadshow ke sejumlah daerah. Apa hasilnya? Tak ada. Rakyat tak yakin dengan kemampuannya. Dengan kata lain, Yuddy tak bisa meyakinkan rakyat.

Lalu Yuddy mengikuti kontestasi perebutan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional (Munas) di Riau. Apa yang diperoleh? tak satupun suara untuk Yuddy.

Sebelumnya, Yuddy juga mengundurkan diri dari pencalonan sebagai caleg Partai Golkar di Dapil Jabar VII. Penyebabnya, nomor urutnya tidak sesuai harapan. Pada 2010, Yuddy mundur dari Partai Golkar. Dari semua ini, apa yang dialami Yuddy benar-benar sebuah kekalahan. Toh di Golkar hingga saat ini masih ada orang yang punya semangat dan dedikasi seperti Yuddy tapi tetap bisa bertahan.

Jika diungkit-ungkit, menjelang perebutan kursi ketum Golkar itu, Yuddy juga merapat ke keluarga Cendana, ke Tomy dan Tutut. Bahkan, dalam satu sesi wawanacara, Yuddy terkesan kuat mengemis-ngemis Tutut, dengan harapan Puteri Cendana itu dapat memodalinya.

Kini, 2014, Yuddy lagi-lagi kalah: tersingkir dari ketua Bapilu dan gagal menjadi anggota dewan. Ini, sekali lagi murni kekalahan dia sendiri, bukan kekalahan rakyat atau hati nurani, meski Yuddy bersikeras menyangkalnya.

Kesimpulannya, politik tak cukup dengan niat baik tapi juga kompetensi, atau, kata orang bijak, soal seni berpolitik. Teruslah belajar, Yud.

Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/0...di-656152.html
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive