JAKARTA - Aktivis 77-78, Rizal Ramli, mengatakan, 10 tahun terakhir masyarakat Indonesia disuguhi orde pencitraan. Bak sinetron di televisi, menurut Rizal, orde pencitraan tampil bagus dan indah, tapi kenyataannya tidak seperti itu.
"Kalau kita lihat kenyataan, ternyata 80 persen rakyat Indonesia belum sejahtera, ternyata jalan macet, ternyata tidak ada irigasi yang dibangun selama 10 tahun terakhir. Orde citra, 10 atau 20 tahun mendatang hanya akan jadi fote note dalam sejarah," kata Rizal saat diskusi di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (15/3/2014).
Sebelum orde pencitraan, lanjutnya, ada orde lama atau orde kemerdekaan. Saat itu, menurut Rizal memang ada ekses tapi secara keseluruhan dilakukan konsolidasi untuk kemerdekaan.
Apa yang disebut orde lama pada dasarnya adalah orde kemerdekaaan. Di mana kita menkonsolidasikan kemerdekaan, memang ada ekses saat itu tapi secara keseluruhan itu orde kemerdekaan. Pascaorde lama, muncul orde baru yang otoriter dan orde reformasi.
Setelah orde citra tumbang, kata dia, harus dibangun orde kedaulatan. "Itu pokok utama masalah kita, karena kita tidak percaya diri menghadapi kekuatan asing dan mencari pembangunan yang efektif untuk bangsa kita," paparnya.
Delapan tahun lalu, Rizal mengaku mengenalkan istilah demokrasi prosedural. Demokrasi hanya sekadar memilih wakil dan pemimpinnya namun rakyat tidak mendapat manfaat sama sekali.
Dua tahun lalu, Rizal menulis artikel di sebuah surat kabar nasional tentang criminal demokrasi. Pasalnya, menurut dia, dua tahun lalu banyak pemimpin daerah dan anggota DPR yang masuk penjara karena terlibat kasus. Penyebabnya, versi Rizal Ramli, karena demokrasi di Indonesia dibajak kekuatan uang.
"Untuk menyelesaikannya kita harus mereformasi pembiayaan partai politik. Lebih bagus partai politik dibiayain negara seperti di Eropa daripada sekarang nyolong berjamaah Rp60 triliun dari anggaran. Lebih bagus kita biayaian Rp5 triliun, sehingga tugas partai hanya cari kader yang kompeten," tegasnya.
"Kalau kita lihat kenyataan, ternyata 80 persen rakyat Indonesia belum sejahtera, ternyata jalan macet, ternyata tidak ada irigasi yang dibangun selama 10 tahun terakhir. Orde citra, 10 atau 20 tahun mendatang hanya akan jadi fote note dalam sejarah," kata Rizal saat diskusi di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (15/3/2014).
Sebelum orde pencitraan, lanjutnya, ada orde lama atau orde kemerdekaan. Saat itu, menurut Rizal memang ada ekses tapi secara keseluruhan dilakukan konsolidasi untuk kemerdekaan.
Apa yang disebut orde lama pada dasarnya adalah orde kemerdekaaan. Di mana kita menkonsolidasikan kemerdekaan, memang ada ekses saat itu tapi secara keseluruhan itu orde kemerdekaan. Pascaorde lama, muncul orde baru yang otoriter dan orde reformasi.
Setelah orde citra tumbang, kata dia, harus dibangun orde kedaulatan. "Itu pokok utama masalah kita, karena kita tidak percaya diri menghadapi kekuatan asing dan mencari pembangunan yang efektif untuk bangsa kita," paparnya.
Delapan tahun lalu, Rizal mengaku mengenalkan istilah demokrasi prosedural. Demokrasi hanya sekadar memilih wakil dan pemimpinnya namun rakyat tidak mendapat manfaat sama sekali.
Dua tahun lalu, Rizal menulis artikel di sebuah surat kabar nasional tentang criminal demokrasi. Pasalnya, menurut dia, dua tahun lalu banyak pemimpin daerah dan anggota DPR yang masuk penjara karena terlibat kasus. Penyebabnya, versi Rizal Ramli, karena demokrasi di Indonesia dibajak kekuatan uang.
"Untuk menyelesaikannya kita harus mereformasi pembiayaan partai politik. Lebih bagus partai politik dibiayain negara seperti di Eropa daripada sekarang nyolong berjamaah Rp60 triliun dari anggaran. Lebih bagus kita biayaian Rp5 triliun, sehingga tugas partai hanya cari kader yang kompeten," tegasnya.
Rizal mengaku miris melihat perpolitikan saat ini. Untuk menjadi calon legislatif (caleg) saja harus mengeluarkan uang minimal Rp3 miliar. "Sementara, caleg yang baik, bagus dan yang punya visi tidak punya Rp3 miliar untuk jadi anggota DPR," ungkapnya.
Dalam bidang hukum, lanjut Rizal, penegakannya hanya tajam untuk rakyat tapi tumpul untuk para elite. Padahal, Indonesia negara demokrasi terbesar di dunia. Dia mencontohkan, Singapura negara otoriter dan tidak demokratis tapi rule of law jalan sehingga rakyat merasa terlindungi dan pengusaha merasa ada kepastian hukum.
Indonesia negara demokrasi nomor tiga paling besar di dunia, tapi hukumnya hanya tajam untuk rakyat tapi tidak tajam untuk elite. Singapura otoriter tidak demokratis tapi role of law jalan sehingga rakyat merasa dilindungi, pengusaha merasa ada kepastian hukum.
"Indonesia negara demokrasi tapi tidak ada rule of law. Rakyat tidak dapat kepastian hukum, pengusaha tidak memiliki kepastian bisnis. Itu lah kenapa demokrasi di Indonesia tidak membawa manfaat besar untuk rakyat. Demokrasi hanya untuk elite, pejabat dan politisi," kata dia.
Mantan Menteri Koordinator bidang Perekonomian itu menyatakan, biaya perjalanan dinas pejabat pada 2004 hanya Rp4 triliun, sekarang jadi Rp23 triliun. Sementara, kesejahteraan rakyat sama sekali tidak naik. Biaya plesiran pejabat, kata dia, jauh lebih tinggi daripada anggaran pertanian yang hanya Rp15,5 triliun . Padahal, 40 persen rakyat bekerja di sektor pertanian.
"Nanti pada waktunya anggaran pejabat akan kita potong hanya Rp10 triliun. Yang Rp13 triliun akan kita gunakan untuk kasih telur kepada anak di bawah 12 tahun, karena 30 persen rakyat kurang gizi," pungkas kandidat calon presiden dari Konvensi Rakyat itu.
sumber



