MERDEKA.COM. Penerobos jalur Transjakarta akan didenda Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Besarnya denda ini menimbulkan kekhawatiran dari Komisi Kepolisian Nasional. Akan makin banyak orang yang memberikan uang damai pada polisi agar tak ditilang.
Polisi pun berjanji tak akan ada anggotanya yang menerima uang damai. Jika menemui, masyarakat diminta melapor dengan mengirim sms ke 1717. Polisi juga akan menambah jumlah provost untuk mengawasi polisi yang mencoba nakal.
"Bisa melaporkannya ke hotline 1717 dengan format SMS," tegas Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto, di Jakarta, Kamis (31/10).
Niat baik polisi ini patut diapresiasi. Pertanyaannya bisakah penerapan tilang benar-benar bebas uang damai?
Masalahnya uang damai di jalan ini sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Hal memalukan yang mencoreng citra kepolisian.
Tahun 1968, Kapolri Jenderal Hoegeng yang jujur sudah menyoroti masalah ini. Dia prihatin melihat para Polantas menjual kehormatan polisi dengan uang Rp 25.
"Di kalangan kepolisian sendiri, sudah menjadi pameo masyarakat adanya 'priit jigo!' Artinya kalau polisi lalu lintas meniup peluit bukan berarti ia melihat kesalahan seorang pengendara, melainkan ia butuh sekadar uang. Sejumlah jigo saja dari pengendara," kata Hoegeng dalam biografinya.
Di masa kepemimpinannya, Hoegeng berusaha membenahi Polantas. Beruntung dia punya Brigjen Pol Ursinus Medellu, komandan Polisi Lalu Lintas yang sama jujurnya. Saat itu Ursinus geram mendengar cemooh masyarakat soal 'KUHP' alias Kasih Uang Habis Perkara.
Ursinus memeras otak untuk melawan pelanggaran lalu lintas, sekaligus menghindari polisi-polisi nakal main di jalan. Dia akhirnya merumuskan sistem bukti pelanggaran alias Tilang yang kita kenal sekarang.
Ada lima warna dalam surat tilang yang dikeluarkan polisi. Merah untuk pelanggar, putih untuk pengadilan negeri, hijau untuk kejaksaan negeri, biru untuk bagian administrasi lalu lintas, kuning untuk bagian operasi lalu lintas.
Ursinus berharap tak ada lagi polisi yang memanfaatkan kesempatan. Dia prihatin melihat nilai polisi yang tak ada harganya, dikalahkan uang receh Rp 25 rupiah.
Tapi hal ini tak berlangsung lama. Setelah Hoegeng dan Ursinus pensiun, tak banyak teladan di Polri. Mulai polisi rendahan hingga jenderal lalu lintas tak lepas dari suap atau korupsi. Uang damai kembali lazim digunakan.
Kasus paling menghebohkan, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo terbukti menilep uang negara Rp 121 miliar pada proyek simulator SIM bernilai total Rp 200,56 miliar itu. Joko juga terbukti memperkaya diri sendiri.
Saat itu Hakim Ketua Suhartoyo mengganjar Djoko dengan hukuman penjara 10 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta. Tentu kasus ini pukulan untuk para Polantas di jalanan. Penggede yang seharusnya memberi teladan dan mengayomi malah korupsi dan memperkaya diri.
Maka bisakah Polantas benar-benar bersih dari uang damai?
sumber
jadi inget kata gusdur �Di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur, yaitu polisi Hoegeng, polisi tidur, dan patung polisi.�
di kampus ane sedang ngetrend kalimat umpatan "gw sumpahin lu jadi polisi!"
btw ini semua salah jokowi
ngurusin ginian aja ga begus
pulang kampung ke solo aja jok jadi ketua rt sono
jangan ngimpi lu jadi presiden