Edward Snowden, mantan kontraktor di Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat, kembali mengumbar informasi kesejumlah media asing mengenai penyadapan oleh intelijen Amerika Serikat di berbagai negara, seperti Jerman, Perancis, Brasil, termasuk Indonesia. Informasi ini memicu protes diplomatik dari berbagai negara korban tindakan AS yang melanggar kedaulatan dan etika diplomasi. The Guardian, harian Inggris, memberitakan aksi intelijen Australia dari Direktorat Sandi Pertahanan (DSD) dan Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat dalam operasi pengumpulan nomor telephone, email dan kontak pejabat penting di Indonesia di acara KTT Perubahan Iklim, Bali tahun 2007. Sementara itu, Der Spiegel dari Jerman memuat berita fasilitas penyadapan yang dipasang di kedutaan besar AS sejak tahun 2010 untuk memantau komunikasi para pejabat negara dimana salah satunya adalah di Kedubes AS di Jakarta, selain di ibukota negara lain seperti Kuala Lumpur, Hanoi, maupun Bangkok.
Meski perlu diverifikasi kebenaran informasi penyadapan tersebut, namun sikap tegas pemerintah Indonesia dalam merespon isu tersebut patut diapresiasi. Marty Natalegawa, Menlu RI, telah memanggil perwakilan diplomatik dari Australia dan Amerika Serikat guna meminta penjelasan informasi penyadapan dan menyatakan keberatan atas tindakan yang tidak mencerminkan prinsip kepercayaan dan kerjasama antar negara sahabat. Pemerintah juga membuka opsi untuk mengevaluasi berbagai kerjasama, khususnya bidang informasi dan intelijen dengan AS maupun Australia. Bahkan, Indonesia secara aktif bersama dengan negara lain terlibat dalam pengajuan resolusi PBB mengenai anti penyadapan sebagai respon atas tindakan Amerika Serikat. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memberikan sinyal yang tegas bahwa penyadapan selain melanggar etika diplomasi, dapat dimaknai sebagai agresi terhadap kedaulatan. Karenanya, Indonesia telah bersiap terhadap berbagai kemungkinan dan tidak gentar terhadap adanya potensi ancaman dari luar negeri. Sikap tegas juga telah ditempuh oleh Badan Intelijen Negara dengan meminta penjelasan dan menegur kepada counterpart Amerika Serikat dan Australia yang ada di Jakarta. Menurut Kepala BIN, Letjend TNI (purn) Marciano Norman, pihaknya telah melakukan pendalaman terhadap informasi yang berkembang di media massa guna memperoleh gambaran mengenai ada atau tidaknya penyadapan oleh intelijen asing. Jika pun penyadapan itu terjadi, BIN telah memiliki mekanisme untuk mendalami baik jenis dan klasifikasi informasi yang dianggap bocor, metode dan dampak yang mungkin ditimbulkan dari kebocoran informasi. Langkah BIN ini tidak hanya terkait dan merespon berita penyadapan oleh AS dan Australia, tetapi telah menjadi bagian dari fungsi yang diemban oleh intelijen dalam kerangka pengamanan kepentingan negara.
Mencermati upaya yang telah ditempuh, sesungguhnya tidak cukup alasan untuk melihat bahwa pemerintah Indonesia terlalu lunak dalam merespon isu penyadapan yang dilakukan AS, Australia atau bahkan siapapun yang melakukannya. Sikap pemerintah Indonesia telah menunjukan kematangan dalam diplomasi luar negeri dan dapat disandingkan dengan respon negara-negara Eropa yang juga menjadi korban penyadapan Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat. Kehati-hatian dan kecermatan menjadi penting mengingat sensitifitas isu dan perlunya fakta-fakta akurat dan dapat diverifikasi kebenarannya guna memperkuat langkah diplomatik. Karena itu, pemerintah tidak perlu merespon provokasi politik yang justru kontraproduktif dengan langkah yang telah ditempuh. Isu penyadapan seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk menyadari bahwa perkembangan zaman selalu disertai dengan ancaman yang bersifat multidimensi. Untuk itu negara harus memiliki kemampuan mengenali setiap potensi ancaman sejak dini. Dalam konteks itu, intelijen menjadi kebutuhan mutlak untuk diperkuat sebagai garis pertahanan pertama menghadapi ancaman. Intelijen adalah salah satu pendukung utama agar negara dapat menjalankan kewajibannya yang mutlak kepada rakyat untuk menjamin bahwa ancaman terhadap keamanan dapat diketahui secara dini untuk menghadapinya sehingga, resiko dapat dicegah sejak dini (Laurence Lustgarten & Ian Leigh, 1994).
Akan tetapi, sangat disayangkan ketika upaya maju yang telah dicapai justru terinterupsi dengan munculnya sikap dan statement provokatif yang justru memperkeruh situasi dari segelintir pihak. Sinyalemen itu telah terlihat sejak adanya upaya mendiskreditkan intelijen terkait beberapa isu belakangan ini dengan pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif. Bisa saja pernyataan itu mungkin dimaksudkan sebagai kritik terhadap kinerja BIN sepanjang disertai dengan data dan evaluasi kinerja yang akurat dan kredibel. Namun, tampaknya pernyataan itu lebih dimaksudkan mencari sensasi politik yang dapat menggeser perhatian kita terhadap isu penyadapan oleh asing menjadi persoalan persaingan politik dalam negeri yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan fungsi intelijen.
Menurut Michael Herman (Intelligence Service in the Information Age, 2001), tujuan intelijen memberikan informasi kepada pemerintah dengan menyatakan kebenaran. Intelijen melayani dan berada di bawah pembuat kebijakan dan ada untuk 1). menghindari kejutan-kejutan strategis, 2). menyediakan keahlian jangka panjang, 3). mendukung proses kebijakan, 4). menjaga kerahasiaan informasi, kebutuhan, sumber dan metode. Intelijen juga merupakan tenaga ahli pemerintah dalam hal metode pengumpulan dan eksploitasi data dan informasi, tetapi pada saat yang sama dalam tingkatan tertentu berfungsi sebagai ahli tentang masalah-masalah tertentu, dan peranannya mencari keseimbangan yang rumit di antara keduanya. Fungsi intelijen yang sangat penting dan strategis inilah yang kemudian menjadi keunikan tersendiri bagi lembaga intelijen negara manapun. Selalu ada dilema antara kerahasiaan dan transparansi. Namun demikian, instrumen hukum di Indonesia telah memberikan landasan yang jelas untuk mengatur BIN agar lebih profesional dan akuntabel dalam menjalankan fungsinya. Secara politis, kecil kemungkinan bagi BIN untuk digunakan sebagai alat politik kekuasaan sepertihalnya pada masa Orde Baru. Ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara telah mengamanatkan bahwa pelaksanaan fungsi intelijen senantiasa menghormati hukum, nilai-nilai demokrasi dan hak azasi manusia.Karena itu, berbagai pernyataan yang dilontarkan yang menyudutkan BIN tanpa bermodal data dan fakta dapat dimaknai sebagai upaya penyesatan opini yang justru mengganggu pelaksanaan fungsi intelijen dalam pengamanan kepentingan negara secara profesional dan akuntabel. Intelijen tidak tunduk pada orang per orang, melainkan pada ketentuan Undang-Undang dan mengabdi pada kepentingan negara.