Jakarta - Kasus dugaan malpraktik operasi caesar yang mengakibatkan pasien Siska Makatey meninggal dunia akibat diduga salah penanganan yang dilakukan Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, Dokter Hendry Simanjuntak dan Dokter Hendy Siagian, kian santer dibicarakan.
Apalagi, setelah para dokter di sejumlah wilayah Indonesia menyerukan aksi mogok untuk menolak penahanan Dokter Ayu dan kawan-kawan.
Seperti diketahui, aksi mogok para dokter menolak penahanan Dokter Ayu dilakukan setelah Mahkamah Agung memutuskan dokter berusia 35 tahun itu bersalah atas kasus malpraktik.
Keputusan MA membalik putusan Pengadilan Negeri (PN) Manado yang membebaskan Dokter Ayu dan dua koleganya. Dalam putusan tersebut, ketiga dokter tersebut dipidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Salinan putusan MA soal kasus yang menimpa Dokter Ayu yang beredar di kalangan wartawan menyebutkan bahwa memutus bersalah Dokter Ayu, Dokter Hendry dan Dokter Hendy atas kealpaannya menyebabkan meninggalnya pasien bernama Siska Makatey pada 10 April 2010 di Rumah Sakit Umum Prof Dr RD Kandouw Malalayang, Kota Manado.
Berikut uraian kejadian sebagaimana dalam putusan MA bernomor 90/PID.B/2011/PN.MDO:
Bahwa Dokter Ayu, Dokter Hendry dan Dokter Hendy sebagai dokter di Rumah Sakit Prof Dr RD Kandou Manado melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban Siska Makatey. Pada saat korban sudah tidur telentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi antiseptis pada dinding perut dan sekitarnya.
Selanjutnya, korban ditutup dengan kain operasi, kecuali area pembedahan. Di mana saat itu korban telah dilakukan pembiusan total.
Dokter Ayu (terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban untuk mengangkat bayi. Setelah itu, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat perdarahan untuk selanjutnya dilakukan penjahitan terhadap dinding perut.
Peran Dokter Hendry (terdakwa II) sebagai asisten operator I, dan Dokter Hendy (terdakwa III) asisten operator II membantu memperjelas area pembedahan yang dilakukan Dokter Ayu sebagai pelaksana operasi.
Pada saat sebelum operasi dilakukan, para terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk, termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap korban.
Selain itu, para terdakwa juga melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan lainnya, setelah dilakukannya pembedahan. Seharusnya, prosedur itu dilakuan sebelum proses pembedahan berlangsung.
Usai pemeriksaan jantung, Dokter Ayu melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai konsultan jaga bagian kebidanan dan penyakit kandungan bahwa nadi korban 180 kali per menit. Dan saat itu, Najoan menanyakan kepada Dokter Ayu tentang hasil pemeriksaan jantung. Selanjutnya dijawab oleh Dokter Ayu tentang hasil pemeriksaan adalah denyut jantung sangat cepat (Ventrikel Tachy Kardi). Namun, Najoan mengatakan bahwa denyut nadi 180 kali per menit bukan denyut jantung sangat cepat tetapi kelainan irama jantung (fibrilasi).
Berdasarkan keterangan saksi Dokter Hermanus J Lalenoh Sp An, tekanan darah sebelum korban dianestesi atau dilakukan pembiusan sedikit tinggi, yakni pada angka 160/70. Akan tetapi pembedahan dengan kondisi tersebut, pada prinsipnya, dapat dilakukan namun dengan anestesi risiko tinggi.
Karena itu, Dokter Hermanus meminta agar terdakwa menjelaskan kepada keluarga korban tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Sementara itu, berdasarkan hasil rekam medis No 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli Dokter Erwin Gidion Kristanto SH Sp F, pada saat korban masuk rumah sakit, keadaan korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.
Berdasarkan uraian tersebut, MA memutuskan bahwa Dokter Ayu, Dokter Hendry, dan Dokter Hendy "lalai dalam menangani korban saat masih hidup dan pelaksanaan operasi, sehingga korban mengalami emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung." Kondisi itu menghambat darah masuk ke paru-paru hingga mengakibatkan kegagalan fungsi paru dan jantung.
Akibatnya, korban Siska meninggal dunia berdasarkan surat keterangan RSU Prof Dr RD Kandou Manado No 61/VER/IKF/FK/K/VI/ 2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh Dokter Johannis F Mallo SH SpF DFM, yang menyatakan di antaranya:
- Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar paha kanan
- Lama kematian korban tidak dapat ditentukan karena proses perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan
- Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik
yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri.
- Kematian korban akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Penulis: /ARD
sumber
Lengkapnya bisa di situs MA di sini
clear ya sepertinya cukup berita ttg dokter
Apalagi, setelah para dokter di sejumlah wilayah Indonesia menyerukan aksi mogok untuk menolak penahanan Dokter Ayu dan kawan-kawan.
Seperti diketahui, aksi mogok para dokter menolak penahanan Dokter Ayu dilakukan setelah Mahkamah Agung memutuskan dokter berusia 35 tahun itu bersalah atas kasus malpraktik.
Keputusan MA membalik putusan Pengadilan Negeri (PN) Manado yang membebaskan Dokter Ayu dan dua koleganya. Dalam putusan tersebut, ketiga dokter tersebut dipidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Salinan putusan MA soal kasus yang menimpa Dokter Ayu yang beredar di kalangan wartawan menyebutkan bahwa memutus bersalah Dokter Ayu, Dokter Hendry dan Dokter Hendy atas kealpaannya menyebabkan meninggalnya pasien bernama Siska Makatey pada 10 April 2010 di Rumah Sakit Umum Prof Dr RD Kandouw Malalayang, Kota Manado.
Berikut uraian kejadian sebagaimana dalam putusan MA bernomor 90/PID.B/2011/PN.MDO:
Bahwa Dokter Ayu, Dokter Hendry dan Dokter Hendy sebagai dokter di Rumah Sakit Prof Dr RD Kandou Manado melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban Siska Makatey. Pada saat korban sudah tidur telentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi antiseptis pada dinding perut dan sekitarnya.
Selanjutnya, korban ditutup dengan kain operasi, kecuali area pembedahan. Di mana saat itu korban telah dilakukan pembiusan total.
Dokter Ayu (terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban untuk mengangkat bayi. Setelah itu, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat perdarahan untuk selanjutnya dilakukan penjahitan terhadap dinding perut.
Peran Dokter Hendry (terdakwa II) sebagai asisten operator I, dan Dokter Hendy (terdakwa III) asisten operator II membantu memperjelas area pembedahan yang dilakukan Dokter Ayu sebagai pelaksana operasi.
Pada saat sebelum operasi dilakukan, para terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk, termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap korban.
Selain itu, para terdakwa juga melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan lainnya, setelah dilakukannya pembedahan. Seharusnya, prosedur itu dilakuan sebelum proses pembedahan berlangsung.
Usai pemeriksaan jantung, Dokter Ayu melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai konsultan jaga bagian kebidanan dan penyakit kandungan bahwa nadi korban 180 kali per menit. Dan saat itu, Najoan menanyakan kepada Dokter Ayu tentang hasil pemeriksaan jantung. Selanjutnya dijawab oleh Dokter Ayu tentang hasil pemeriksaan adalah denyut jantung sangat cepat (Ventrikel Tachy Kardi). Namun, Najoan mengatakan bahwa denyut nadi 180 kali per menit bukan denyut jantung sangat cepat tetapi kelainan irama jantung (fibrilasi).
Berdasarkan keterangan saksi Dokter Hermanus J Lalenoh Sp An, tekanan darah sebelum korban dianestesi atau dilakukan pembiusan sedikit tinggi, yakni pada angka 160/70. Akan tetapi pembedahan dengan kondisi tersebut, pada prinsipnya, dapat dilakukan namun dengan anestesi risiko tinggi.
Karena itu, Dokter Hermanus meminta agar terdakwa menjelaskan kepada keluarga korban tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Sementara itu, berdasarkan hasil rekam medis No 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli Dokter Erwin Gidion Kristanto SH Sp F, pada saat korban masuk rumah sakit, keadaan korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat.
Berdasarkan uraian tersebut, MA memutuskan bahwa Dokter Ayu, Dokter Hendry, dan Dokter Hendy "lalai dalam menangani korban saat masih hidup dan pelaksanaan operasi, sehingga korban mengalami emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung." Kondisi itu menghambat darah masuk ke paru-paru hingga mengakibatkan kegagalan fungsi paru dan jantung.
Akibatnya, korban Siska meninggal dunia berdasarkan surat keterangan RSU Prof Dr RD Kandou Manado No 61/VER/IKF/FK/K/VI/ 2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh Dokter Johannis F Mallo SH SpF DFM, yang menyatakan di antaranya:
- Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar paha kanan
- Lama kematian korban tidak dapat ditentukan karena proses perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari pertama setelah melahirkan
- Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik
yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri.
- Kematian korban akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Penulis: /ARD
sumber
Lengkapnya bisa di situs MA di sini
clear ya sepertinya cukup berita ttg dokter