Publik mungkin belum lupa dengan kecelakaan maut di Tol Jagorawi yang melibatkan AQJ pada Minggu dinihari, 8 September 2013. Kecelakaan yang menewaskan tujuh orang dan menyebabkan delapan orang lainnya mengalami luka-luka tersebut begitu menyita perhatian. Bukan hanya karena banyaknya jumlah korban jiwa, tetapi karena melibatkan anak di bawah umur dari musisi terkemuka. Bagaimana bisa anak usia 13 tahun dilepas mengendarai mobil sendiri?
Pasca peritiwa yang dialami AQJ, banyak pihak bereaksi. Mulai dari Kepolisian yang mendadak rajin merazia pengendara motor, hingga Dinas Pendidikan yang melarang siswa mengendarai sendiri kendaraan pribadi ke sekolah.
Pihak lain tak mau kalah, mereka memperkeruh keadaan dengan komentar pedas. Kelalaian orangtua jadi sasaran tembak utama. Padahal, kelalaian yang sama dilakukan juga oleh banyak orangtua di Indonesia. Mereka membelikan kendaraan pribadi untuk anak, meskipun sang anak belum dewasa. Bedanya kalau orangtua AQJ mampu membelikan mobil sport mewah, orangtua lain mungkin hanya mampu membelikan motor.
Anak di Bawah Umur Masih Bebas Berkendara
Insiden yang dialami AQJ, nampaknya belum dapat memberi pelajaran pada kita semua. Anak di bawah umur masih banyak berkeliaran di jalan. Mereka seenaknya melaju kencang, memacu kendaraan tanpa memikirkan risiko yang ditimbulkan. Karena belum dewasa secara usia, kedewasaan sikapnya pun belum bisa kita andalkan. Butuh perhatian orangtua untuk mencegah perilaku negatif anaknya.
Dan benar saja. Tadi malam kami baru saja mendapat kabar duka. Salah seorang siswa sekaligus teman kami meninggal dunia setelah ditabrak motor di Jalan Tubagus Ismail, Bandung, pada Selasa malam. Ironisnya sang penabrak masih di bawah umur, belum memiliki izin mengemudi, dan mengaku bahwa motor yang digunakan juga bukan miliknya. Kesalahan yang terulang. Namun karena warga sipil biasa, media luput memberitakannya.
Korban adalah Mahasiswa Baru ITB
Korban adalah seorang mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (FTSL-ITB) angkatan 2013, bernama Alfons Gorby Evardo. Belum genap semester pertama dijalaninya, belum usai euforia dirasakannya, kecelakaan maut tersebut menjadi cara ampuh yang menghentikan kereta mimpinya.
Menurut kesaksian sesama rekan FTSL ITB, saat kecelakaan terjadi Gorby mengalami syok berat. Sejak di ambulans Gorby tidak dapat melihat, matanya terasa gelap. Dia hanya bisa meraba wajah teman yang menemaninya saat itu. Penyebab pasti meninggalnya memang belum diketahui, karena selain bagian tengkorak kepala yang retak, terdapat banyak cairan bewarna putih di paru-parunya.
Gorby sempat menggunakan alat bantu pernapasan, namun tensi darahnya sangat tinggi. Setelah itu, tiba-tiba tensi turun drastis dan kondisinya semakin parah. Akhirnya sekitar pukul 19.15 WIB Rabu malam, Gorby menghebuskan nafas terakhirnya.
Ancaman Hukuman bagi Pelaku
Menurut ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Namun karena pelaku dalam kasus ini adalah anak di bawah umur, maka terlebih dahulu harus diupayakan penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Bagi anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dijatuhi tindakan, tidak dapat dipidanakan. Sedangkan bagi yang sudah mencapai usia tersebut dapat dikenakan pidana berupa peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara.
Pasal 81 UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak, paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jadi dalam kasus ini, pelaku penabrakan dapat diancam dengan pidana 3 tahun penjara. Namun penjatuhan pidana penjara pada anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir, apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat.
Semoga kasus ini menjadi perhatian bagi semua orangtua untuk lebih fokus menjaga anak-anaknya. Sadarilah bahwa bukan saja korban dan keluarganya yang dirugikan, tetapi masa depan anak anda juga yang ikut dipertaruhkan.
Sumber:Kompasiana
Pasca peritiwa yang dialami AQJ, banyak pihak bereaksi. Mulai dari Kepolisian yang mendadak rajin merazia pengendara motor, hingga Dinas Pendidikan yang melarang siswa mengendarai sendiri kendaraan pribadi ke sekolah.
Pihak lain tak mau kalah, mereka memperkeruh keadaan dengan komentar pedas. Kelalaian orangtua jadi sasaran tembak utama. Padahal, kelalaian yang sama dilakukan juga oleh banyak orangtua di Indonesia. Mereka membelikan kendaraan pribadi untuk anak, meskipun sang anak belum dewasa. Bedanya kalau orangtua AQJ mampu membelikan mobil sport mewah, orangtua lain mungkin hanya mampu membelikan motor.
Anak di Bawah Umur Masih Bebas Berkendara
Insiden yang dialami AQJ, nampaknya belum dapat memberi pelajaran pada kita semua. Anak di bawah umur masih banyak berkeliaran di jalan. Mereka seenaknya melaju kencang, memacu kendaraan tanpa memikirkan risiko yang ditimbulkan. Karena belum dewasa secara usia, kedewasaan sikapnya pun belum bisa kita andalkan. Butuh perhatian orangtua untuk mencegah perilaku negatif anaknya.
Dan benar saja. Tadi malam kami baru saja mendapat kabar duka. Salah seorang siswa sekaligus teman kami meninggal dunia setelah ditabrak motor di Jalan Tubagus Ismail, Bandung, pada Selasa malam. Ironisnya sang penabrak masih di bawah umur, belum memiliki izin mengemudi, dan mengaku bahwa motor yang digunakan juga bukan miliknya. Kesalahan yang terulang. Namun karena warga sipil biasa, media luput memberitakannya.
Korban adalah Mahasiswa Baru ITB
Korban adalah seorang mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (FTSL-ITB) angkatan 2013, bernama Alfons Gorby Evardo. Belum genap semester pertama dijalaninya, belum usai euforia dirasakannya, kecelakaan maut tersebut menjadi cara ampuh yang menghentikan kereta mimpinya.
Menurut kesaksian sesama rekan FTSL ITB, saat kecelakaan terjadi Gorby mengalami syok berat. Sejak di ambulans Gorby tidak dapat melihat, matanya terasa gelap. Dia hanya bisa meraba wajah teman yang menemaninya saat itu. Penyebab pasti meninggalnya memang belum diketahui, karena selain bagian tengkorak kepala yang retak, terdapat banyak cairan bewarna putih di paru-parunya.
Gorby sempat menggunakan alat bantu pernapasan, namun tensi darahnya sangat tinggi. Setelah itu, tiba-tiba tensi turun drastis dan kondisinya semakin parah. Akhirnya sekitar pukul 19.15 WIB Rabu malam, Gorby menghebuskan nafas terakhirnya.
Ancaman Hukuman bagi Pelaku
Menurut ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Namun karena pelaku dalam kasus ini adalah anak di bawah umur, maka terlebih dahulu harus diupayakan penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Bagi anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dijatuhi tindakan, tidak dapat dipidanakan. Sedangkan bagi yang sudah mencapai usia tersebut dapat dikenakan pidana berupa peringatan, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara.
Pasal 81 UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak, paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jadi dalam kasus ini, pelaku penabrakan dapat diancam dengan pidana 3 tahun penjara. Namun penjatuhan pidana penjara pada anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir, apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat.
Semoga kasus ini menjadi perhatian bagi semua orangtua untuk lebih fokus menjaga anak-anaknya. Sadarilah bahwa bukan saja korban dan keluarganya yang dirugikan, tetapi masa depan anak anda juga yang ikut dipertaruhkan.
Sumber:Kompasiana