SITUS BERITA TERBARU

Mengintip Laboratorium Tempat Virus MerS Dibedah

Thursday, August 28, 2014


Quote: Meruyaknya wabah virus Ebola, juga munculnya kembali kasus baru virus MERS Cov, membuat Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Profesor Tjandra Yoga Aditama, sibuk. Nyaris saban hari, ia mengirimkan update ihwal kedua penyakit itu kepada para wartawan di lingkungan Kementerian Kesehatan.

"Selain pembicaraan panjang tentang Ebola, MERS CoV juga harus jadi perhatian penting kita," demikian Tjandra mengirim pesan lewat WhatsApp kepada Tempo, Ahad malam, 24 Agustus 2014 lalu. MERS CoV tak lain adalah Middle East Respiratory Syndrome, penyakit pernafasan akut parah yang disebabkan oleh Coronavirus. Gejala yang muncul bagi mereka yang terinfeksi virus ini adalah demam, batuk dan sesak nafas.

Perhatian pemerintah dalam menangani berbagai virus dan bakteri penyebab penyakit, termasuk MERS Cov, adalah mengoptimalkan fungsi laboratorium dengan pengamanan khusus. Di Indonesia, tempat penelitian yang lazim disebut sebagai laboratorium biosafety level 3 (BSL 3), antara lain, berada di Kementerian Kesehatan, tepatnya di Jalan Percetakan Negara No 23 Jakarta. Laboratorium ini diberi nama Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Sri Oemijati.

Jum'at lalu, 22 Agustus 2014, Tempo mendapat kesempatan untuk masuk dan melihat jeroan laboratorium tempat para ahli membedah virus yang mematikan, termasuk MERS CoV dan flu burung. Inilah laporannya:

"Dilarang masuk bagi yang tidak berkepentingan." Peringatan seperti lazim ditemukan pada tempat-tempat atau area yang aksesnya terbatas. Salah satu area terbatas itu adalah laboratorium, termasuk di Laboratorium Sri Oemijati. Itu sebabnya, siapapun yang hendak masuk ke laboratorium ini, termasuk para peneliti, ia harus melewati tiga pintu pengaman elektronik.

"Setiap peneliti pun harus steril jika ingin masuk ke ruang laboratorium," ujar Kepala Laboratorium BSL-3 Kemenkes, Ni Ketut Susilarini, kepada Tempo. Para peneliti yang masuk harus memakai alas kaki, masker, dan pakaian khusus saat meneliti di bilik-bilik khusus di dalam laboratorium BSL-3. Ada empat bilik di sini. Bilik-bilik itu digunakan untuk melakukan analisis mikro organisme, virologi, dan bakteriologi.

Di laboratorium ini, kata Susilarini, peneliti dari Kementerian Kesehatan meneliti virus dan bakteri penyakit infeksi pada manusia, termasuk MERS CoV dan flu burung. Di laboratorium yang diresmikan pada 1 Februari 2010 itu sudah ribuan sampel virus yang diduga sebagai H5N1, atau biasa dikenal dengan flu burung, diteliti. Dari total itu, hanya 197 kasus yang dinyatakan positif. Sedangkan dari 136 kasus yang diduga sebagai MERS CoV, semuanya negatif.

Sebelum ada laboratorium BSL-3, Indonesia harus mengimpor sampel virus atau bakteri penyakit infeksi yang hendak diteliti ke Hong Kong. Kini, per 2014, sudah ada 11 laboratorium selevel dengan Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Sri Oemijati yang tersebar di seluruh Indonesia. Di antaranya ada di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, dan di Salatiga, Jawa Tengah. "Semua laboratorium tersebut merujuk ke laboratorium pusat milik Kementerian Kesehatan ini," kata Susilarini.

Laboratarium BSL-3 dibangun dengan tujuan keamanan penelitian. Menurut Susilarini, laboratorium yang dalam pembangunannya menghabisnya dana kurang lebih Rp 40 miliar ini memiliki sistem dan alat penelitian khusus untuk mendalami virus dan bakteri infeksi pada manusia. Sebelumnya, hanya ada laboratorium dengan pengamanan tingkat dua, yang hanya mampu meneliti dasar virus dan bakteri infeksi tanpa pengamanan ekstra.

Meski begitu, peneliti tak serta-merta dapat menggunakan laboratorium BSL-3 tiap ada sampel virus atau bakteri yang ingin diteliti. "Harus masuk ke laboratorium penunjang dulu," ujar Susilarini. Ada tiga laboratorium penunjang untuk itu, yakni untuk mikro organisme (patogea), virologi, dan bakteriologi, dan satu laboratorium pengawasan.

Dalam laboratorium penunjang tersebut ada tiga alat inti untuk persiapan "pembedahan" sampel virus. Antara lain, yaitu PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk menggandakan DNA, DNA Sequencing untuk mengurutkan DNA yang digandakan, dan biological safety cabinet untuk mengurai sampel DNA virus atau bakteri yang ingin diteliti.

"Proses 'pembedahan' akhir baru dilakukan di laboratorium BSL-3," kata Susilarini. Proses akhir juga menggunakan biological safety cabinet dengan teknologi pengamanan yang lebih tinggi.

Biasanya proses "pembedahan" dilakukan selama dua hari setelah sampel virus atau bakteri datang. Menurut Susilarini, tiap hasil penelitian akan disimpan guna catatan bagi penelitian selanjutnya. Hingga saat ini, belum ada sampel virus Ebola yang "mampir" dan "dibedah" di laboratorium ini. "Belum ada kasusnya di Indonesia," ujar Susilarini.

sumber: TEMPO


Quote: Laboratorium BSL 3, Seperti Ini Pengamanannya

Jum'at lalu, 22 Agustus 2014, Tempo mendapat kesempatan untuk mengintip laboratorium tempat para ahli Indonesia membedah virus yang mematikan, termasuk MERS CoV (Middle East Respiratory Syndrome yang disebabkan oleh Coronavirus) dan virus flu burung. Tempat penelitian yang lazim disebut sebagai laboratorium biosafety level 3 (BSL 3) berada di Kementerian Kesehatan, tepatnya di Jalan Percetakan Negara No 23 Jakarta. Laboratorium ini diberi nama Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Sri Oemijati.

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Profesor Tjandra Yoga Aditama, laboratorium BSL mempunyai tingkat pengamanan yang berbeda-beda. Tingkatannya dimulai dari satu sampai empat. Sampai saat ini, di Indonesia baru sampai BSL-3.

"Setiap tingkatan BSL beda-beda," kata Tjandra saat ditemui Tempo di laboratorium BSL 3, Kementerian Kesehatan. Dimulai dari BSL-1 yang merupakan jenis laboratorium seperti biasa dan dapat dilakukan di ruangan di mana saja. "Tidak memperhatikan suhu atau kelembapan," ujarnya, " BSL-1 biasanya digunakan untuk mengurai bahan-bahan penelitian, seperti zat kimia. Tidak berbahaya."

Adapun BSL-2 tingkat keamanannya sudah lebih ketat dibandingkan dengan BSL-1. Laboratorium BSL-2 biasanya dipakai untuk meneliti penyakit yang tidak membahayakan. "Tingkat resikonya tidak tinggi," kata Tjandra.

Untuk BSL-3, tingkat pengamannya sudah sangat tinggi. Mulai dari peneliti yang memakai alat pelindung khusus, seperti sendal karet, baju pengaman khusus, dan masker. Selain itu, tekanan ruangan harus negatif agar semua kotoran dan kuman tidak mengalir keluar. Selain pengaturan mesin sendiri, setiap saat ada petugas kontrol yang memperhatikan suhu, kelembaban, dan tekanan di ruangan.

Setiap harinya, suhu dan tekanan berbeda, sesuai dengan keperluan peneliti, sedangkan kelembaban harus dijaga jangan sampai ada jamur. Selain itu, akses masuk ke BSL-3 juga minim karena virus yang diteliti tingkat penularannya sangat tinggi. Peneliti juga tidak boleh lebih dari empat jam berada di BSL-3. "Tidak boleh sembarangan," kata Tjandra.

Di dalam BSL-3 juga terdapat pipa vakum dengan filter high efficiency particulate air (HEPA). Jika ada mikrobiologi atau kuman lepas, akan terperangkap filter dan mati. "Benar-benar harus steril," kata Tjandra lagi.

Di BSL-3 terdapat empat divisi, yang disebut tim bioresiko. Tim bioresiko ini merupakan tim khusus untuk menjaga, memelihara, dan meningkatkan pengawasan. Tjandra menyebut, tim berasal dari peneliti dan petugas lab. Empat divisi tersebut adalah bio-safety, bio-lab information security, bio-administrasi, dan bio-pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Untuk jumlah peneliti di BSL-3, menurut Tjandra, cukup banyak. Mereka bisa berganti melakukan penelitian. Hal yang penting adalah setiap peneliti harus sudah pernah melakukan traning dan patuh terhadap kode etik peneliti, seperti mengikuti setiap aturan yang berlaku selama di dalam BSL-3. "Karena, ya, itu tadi, tingkat resiko menularnya ke peneliti tinggi," ujar Tjandra.

Untuk BSL-4, masih menurut Tjandra, hampir sama dengan BSL-3. Yang membedakan hanya tingkat pengaman yang lebih tinggi. "Seperti cara masuk yang mungkin akan lebih berlapis," katanya. Untuk masuk BSL-3, terdapat tiga pintu pengaman. "Kalau alat-alat yang digunakan pasti sama," katanya.

Saat ini, di Indonesia masih sampai BSL-3. Meski begitu, keberadaannya merupakan kemajuan bagi dunia penelitian di Indonesia. Sedangkan labotorium BSL-4 ada di beberapa negara, seperti Amerika, Singapura, dan India. "Dengan adanya laboratorium BSL 3, setidaknya Indonesia sudah dapat meneliti sendiri," kata Tjandra.

sumber: TEMPO


wah ternyata kita punya laboratorium yang canggih juga ya, 2 virus ini lagi terkenal dan semoga saja mereka bisa menemukan obat yang bisa mengatasi virus2 ini



Link: http://adf.ly/rWWWz
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive