Ipotnews - DPR RI meminta pemerintah tegas dan serius mengupayakan pengambilalihan ruang udara di atas wilayah Batam dan Natuna yang sejak 1946 masih "dikuasai" dan dikontrol Singapura. Desakan ini menemukan momentumnya ketika hubungan kedua negara menegang terkait penamaan kapal perang KRI Usman dan Harun.
Ketegangan antara Indonesia dan Singapura dalam sepekan terakhir terkait nama kapal perang "Usman dan Harun", mengingatkan kembali aset Indonesia berupa ruang udara di atas wilayah Batam dan Natuna yang sejak 1946 hingga kini dikuasai oleh Singapura. Terasa aneh memang, pesawat Indonesia yang melintas di atas Batam dan Natuna atau mendarat di Bandara Hang Nadim Batam, harus minta izin otoritas Singapura. Padahal, ruang udara tersebut jelas bagian dari kedaulatan Indonesia.
"Sudah seharusnya kontrol itu dilakukan oleh SDM (sumber daya manusia) kita yang dilengkapi teknologi pengawasan serta alutsista (alat utama sistem pertahanan) yang memadai," tegas Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR, Puan Maharani di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/1).
Selama ini, kata Puan, pemerintah selalu berlindung di balik alasan ketidaksiapan sumber daya manusia dan keterbatasan anggaran, sehingga negosiasi dengan Singapura untuk pengambilalihan itu terkendala. "Kalau kendalanya disebut-sebut karena kekurangan anggaran, itu kan bukan jawaban yang tepat. Yang menjadi kendala utama itu justru, karena ketidaktegasan kita untuk berani mengatakan "tidak" atas penguasaan ruang udara oleh Singapura," paparnya.
Seperti pernah diberitakan, dalam perjanjian yang diteken 1946, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dengan alasan keamanan penerbangan, menunjuk Singapura sebagai pengelola ruang udara Indonesia di tiga sektor, yakni sektor Batam hingga Singapura (A) yang mencakup area seluas 5 mil, sektor Tanjung Pinang dan Karimun (B), serta sektor Natuna (C).
Di bawah ketetapan ICAO, Indonesia mengizinkan Singapura mengontrol ruang udara sejauh 110 mil laut dari negara pulau itu dengan alasan keamanan, termasuk keberangkatan dan kedatangan pesawat baik sipil maupun militer. Perlengkapan dan teknologi Indonesia yang minim menjadi alasan Singapura dipercaya mengontrol penerbangan di tiga sektor tersebut.
Dalam perjanjian itu, Singapura berhak mengambil pajak bagi pesawat yang melintas di sektor A, sedangkan sektor B dan C belum ditetapkan pajaknya.
Ketegangan antara Indonesia dan Singapura dalam sepekan terakhir terkait nama kapal perang "Usman dan Harun", mengingatkan kembali aset Indonesia berupa ruang udara di atas wilayah Batam dan Natuna yang sejak 1946 hingga kini dikuasai oleh Singapura. Terasa aneh memang, pesawat Indonesia yang melintas di atas Batam dan Natuna atau mendarat di Bandara Hang Nadim Batam, harus minta izin otoritas Singapura. Padahal, ruang udara tersebut jelas bagian dari kedaulatan Indonesia.
"Sudah seharusnya kontrol itu dilakukan oleh SDM (sumber daya manusia) kita yang dilengkapi teknologi pengawasan serta alutsista (alat utama sistem pertahanan) yang memadai," tegas Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR, Puan Maharani di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/1).
Selama ini, kata Puan, pemerintah selalu berlindung di balik alasan ketidaksiapan sumber daya manusia dan keterbatasan anggaran, sehingga negosiasi dengan Singapura untuk pengambilalihan itu terkendala. "Kalau kendalanya disebut-sebut karena kekurangan anggaran, itu kan bukan jawaban yang tepat. Yang menjadi kendala utama itu justru, karena ketidaktegasan kita untuk berani mengatakan "tidak" atas penguasaan ruang udara oleh Singapura," paparnya.
Seperti pernah diberitakan, dalam perjanjian yang diteken 1946, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dengan alasan keamanan penerbangan, menunjuk Singapura sebagai pengelola ruang udara Indonesia di tiga sektor, yakni sektor Batam hingga Singapura (A) yang mencakup area seluas 5 mil, sektor Tanjung Pinang dan Karimun (B), serta sektor Natuna (C).
Di bawah ketetapan ICAO, Indonesia mengizinkan Singapura mengontrol ruang udara sejauh 110 mil laut dari negara pulau itu dengan alasan keamanan, termasuk keberangkatan dan kedatangan pesawat baik sipil maupun militer. Perlengkapan dan teknologi Indonesia yang minim menjadi alasan Singapura dipercaya mengontrol penerbangan di tiga sektor tersebut.
Dalam perjanjian itu, Singapura berhak mengambil pajak bagi pesawat yang melintas di sektor A, sedangkan sektor B dan C belum ditetapkan pajaknya.
Sebenarnya, UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah mengamanatkan bahwa pengembalian otoritas pengelolaan ruang udara Batam dan Natuna paling lambat 15 tahun sejak UU itu berlaku. Namun, sayangnya, sama sekali tak terlihat upaya serius pemerintah untuk memulai proses pengambilalihan.
Menyikapi hal itu, anggota Komisi V DPR, Tegus Juwarno mengatakan, pada dasarnya Indonesia sangat menginginkan ruang udara di atas Batam dan Natuna itu bisa di bawah kendali NKRI. "Tetapi, dalam salah satu perjanjian internasional, penguasaan ruang udara itu harus ada persetujuan dari Malaysia. Jadi, Malaysia masih keberatan, karena terkait dengan akses mereka ke Kinabalu atau Serawak,," kata Teguh.
Namun, jelas dia, pemerintah Indonesia tidak bisa secara serta-merta menolak sikap Malaysia tersebut. Terlebih lagi, lanjut Tegus, secara status quo, ruang udara Indonesia tersebut secara hukum masih berada di bawah kendali Singapura. "Sebenarnya, Singapura sendiri pada prinsipnya tidak mempersoalkan kalau ruang udara itu dikuasai kita. Mereka setuju, mungkin penguasaannya secara bertahap," kata Teguh.
Dia mengatakan, salah satu solusi bertahap untuk dapat menguasai ruang udara Batam dan Natuna, pemerintah harus melakukan negosiasi dengan Singapura untuk menempatkan SDM-nya untuk mengoperasikan pengawasan di Singapura. "Kita bisa menempatkan tenaga-tenaga ahli di Singapura untuk meng-operate pengawasan," ucapnya.
Melalui langkah jangka pendek tersebut, kata dia, paling tidak pengawasan sudah berada di bawah kendali Indonesia dengan memanfaatkan teknologi milik Singapura. "Sehingga, dalam kurun waktu tertentu bisa sepenuhnya pengawasan itu diambil alih kembali," imbuh Teguh.
Dia menegaskan, negosiasi untuk mengendalikan melalui Singapura ini menjadi satu-satunya pilihan, karena pemerintah Indonesia sudah terikat dengan perjanjian internasional. "Diharapkan, penolakan dari Malaysia bisa melunak. Karena kalau memang Malaysia tidak setuju, kita tidak bisa mengambil-alih ruang udara itu. Ketentuannya memang seperti itu," jelasnya.
Terkait ketersediaan anggaran untuk mendukung pengawasan ruang udara Batam dan Natuna, tegas Teguh, DPR akan mengalokasikan anggaran demi terwujudnya kedaulatan NKRI. "Jadi sekarang ini, selain negosiasi dengan Singapura, kita juga harus negosiasi dengan Malaysia," katanya.
Sumber


