SITUS BERITA TERBARU

Serikat Pekerja Nasional Sepakat Tolak BPJS

Thursday, February 27, 2014
CISARUA � Ratusan buruh pekerja atau Serikat Pekerja Nasional (SPN) mendesak pemerintahan daerah (pemda) segera mengkaji ulang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN). Mereka menilai, UU BPJS ini justru lebih menguntungkan pihak asing, karena jaminan sosial yang dulunya dikelola negara ternyata diswastakan. Front Nasional yang tergabung terdiri dari Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 (SBSI 1992), Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Barisan Insan Muda (BIMA), Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (GASPERMINDO), Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Serikat Rakyat Miskin Indonesia dan Serikat Pekerja Informal Indonesia (SPINDO) serta Serikat Pekerja Pariwisata, Kabupaten Bogor.



Mereka menilai paradigma jaminan sosial merupakan hak dari warga negara, sehingga negara yang berkewajiban untuk memenuhinya dalam kepesertaan sebagai sistem angsuran. Ketua SPN DKI Jakarta, Ramidi, yang didampingi Ketua Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Bogor, Edison, mengeluhkan, karut-marutnya penyelenggaraan BPJS dan SJKN yang dinilai sangat merugikan. Pasalnya, masih banyak rakyat Indonesia yang belum memegang kartu BPJS Kesehatan sampai dengan saat ini. �Apa semua sudah punya kartu BPJS Kesehatan? Belum kan? Itulah kenapa kami bilang pemerintah setengah hati menjalankan BPJS Kesehatan, karena pemerintah belum siap,� ujarnya.

Selama ini buruh mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes). �Berapa porsi iuran yang harus dibayarkan pengusaha dan buruh karena Perpres itu belum direvisi. Akhirnya buruh tidak punya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan ini adalah kebohongan publik,� ucapnya.

Dia menilai pemerintah telah melanggar janji karena tak juga merevisi Perpres tersebut mengenai besaran iuran bagi para pekerja. Artinya, pekerja harus membiayai sendiri pengobatannya dengan jumlah yang lebih besar. �Kalau pengusaha sudah bayar premi di atas 4,5 persen, pekerja harusnya tidak perlu bayar. Tapi karena belum ada revisi juga, pengusaha bisa saja seenaknya sehingga benefit pekerja bisa menurun,� pungkasnya. (rif/wan)


Sumber : Harian Metropolitan
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive