Please disable ad-blocker to view this page



SITUS BERITA TERBARU

[MEGA STRONG] Menakar Hasrat Berkuasa Mega

Tuesday, February 4, 2014
inilah..com, Jakarta � Dalam �La Mains Sales�, karya pemenang Nobel Sastra, Jean Paul Sartre, seorang tokoh bernama Hoederer bertanya,� Bisakah kau bayangkan mengatur kekuasaan tanpa dosa?�

Bisakah, bahkan tanpa dosa �kecil� bernama kebohongan? �Tidak,� kata filsuf politik Niccolo Machiavelli. Merujuk epos kuno karangan penulis buta Homerus, �Illiad�, Machiavelli menekankan, seorang politisi harus tahu bagaimana mengombinasikan fakta dan kebohongan. �Yang satu tanpa yang lain,� kata Machiavelli,� tak akan menjamin kekuasaan yang lama.�

Jadi tak perlu heran bila politik, juga di Indonesia, banyak dipenuhi pameran kepura-puraan. Politik kemudian tak ubahnya semacam panggung olah seni hipokrisi.
Pertanyaannya, apakah Megawati Sukarnoputri atau para elit Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun tengah berpura-pura�atau kasarnya berbohong, terkait persoalan calon presiden yang akan diusung partainya? Sebagaimana kita tahu, hingga saat ini PDIP belum secara resmi mengumumkan siapa calon presiden-calon wakil presiden yang akan mereka usung untuk Pilpres kali ini. Yang ada, hingga saat ini yang baru bergulir semata wacana dan bahkan rumors.
Wacana paling �gres�, partai banteng bermoncong putih itu disebut-sebut sudah menyiapkan dua strategi. Yakni, bila berhasil memenuhi syarat 'presidential threshold', menurut Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo, kemungkinan besar partainya akan mengusung duet Megawati-Jokowi. �Kalau suara PDIP tidak memenuhi syarat, Jokowi-lah yang diusung sebagai capres,� kata dia.
Tentu saja, lontaran itu kontan meletikkan wacana lanjutan. Tidak hanya di internal PDIP, melainkan di publik. Banyak yang tak percaya, Megawati�melihat skenario itu, ternyata masih memendam hasrat besar untuk berkuasa.
Persoalannya, apakah skenario sebagaimana dilontarkan Tjahjo itu benar? Sangat sulit memverifikasi kebenaran bahwa skenario itu adalah rencana resmi PDIP. Bukan tidak mungkin, Tjahjo sendiri melontarkan isu itu semata untuk mengukur (test the water) reaksi publik, terutama konstituen partai. Kemungkinan kedua, ia justru melontarkan itu untuk menera kekuatan baru dalam partai, sebuah kelompok yang menyebut diri �Projo� alias Pro-Jokowi, yang semakin hari semakin terlihat kuat. Setidaknya di media massa.
Secara pribadi, saya sendiri skeptis atas skenario tersebut. Bagi saya, sukar untuk mempercayai bahwa Mega masih menyimpan hasrat besar untuk berkuasa dan duduk di kursi RI I.

Ada beberapa alasan yang mendasari keyakinan saya tersebut. Pertama, saya melihat Megawati bukanlah seseorang yang tidak belajar, terutama belajar dari pengalaman. Melihat penampilannya di televisi, beberapa komentarnya dalam lima tahun terakhir, tampak bahwa Mega telah banyak berubah. Ia tak lagi seperti sebelumnya, yang kadang berkomentar �tak nyambung� atas suatu masalah.
Saya percaya, Megawati telah menghayati diktum Heraclitus, panta rhei, yang seringkali ia kutip dalam pidatonya. Heraclitus percaya, semua mengalir, segala sesuatu berubah. Bagi Mega, termasuk tentu saja dirinya sendiri. Saya tak yakin Megawati mau disandingkan dengan keledai yang terjerumus ke dalam lubang kekalahan yang sama untuk ketiga kalinya, bila ia kembali ikut berlaga.
Kedua, saya juga tak yakin Mega akan mengabaikan �wasiat� suaminya, almarhum Taufik Kiemas. Sebelum kepergiannya menghadap Ilahi, melalui media massa berkali-kali publik menengarai keberatan sang suami bila Mega kembali berlaga di Pilpres.
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa di internal PDIP pun meruyak kabar bahwa hasrat Mega untuk berkuasa, sudah tak lagi menyala. Der wille zur macht , atau hasrat berkuasa di dada Mega, dinyakini sudah meredup bagai nyala pelita semata.
Lalu, untuk apa Mega tak segera memproklamasikan capres partainya secara resmi? Mengapa justru ia seolah menjadikan dirinya batu sandungan Jokowi?
Pertama, Mega sangat mengerti, meskipun Jokowi bisa menjadi faktor pendulang suara, Gubernur Jakarta itu tidak otomatis menjadi satu-satunya faktor penting bagi perolehan suara PDIP. Ibaratnya, Jokowi sekadar enzim yang membantu proses pendulangan suara itu, tapi bukan koefisen paling pokok.
�Tanpa mencalonkan Jokowi sebagai calon presiden, Megawati diprediksi tetap bakal memenangkan pertarungan perebutan kursi RI 1,� kata peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Adjie Alfaraby, di Jakarta, Ahad (2/2/2014) lalu. Elektabilitas Megawati itu berkisar pada angka dukungan 13,4 persen (dukungan terbawah) hingga 22,2 persen (dukungan teratas). Angka yang jauh lebih tinggi dibanding capres-capres lain.
Kedua, tampaknya Mega belum sepenuhnya mempercayai calon yang melejit tiba-tiba tanpa rekam jejak pasti soal kinerja. Di kalangan dekat Mega sudah bukan rahasia bila putri proklamator RI itu selalu becermin dari kinerja yang ditorehkan Presiden SBY saat ini. Di mata Mega, seakan Presiden SBY tak lebih dari calon yang tiba-tiba terlihat cemerlang hanya karena digosok media. Tampaknya, begitu pula Mega memandang Jokowi, meski Gubernur Jakarta itu tercatat memiliki prestasi di Kota Solo.
Bila saja semua itu ditambahi sang pembisik dengan membawa-bawa �kekuatan di belakang Jokowi�, fakta maupun fiksi, wajar bila Sang Ibu belum bisa sepenuhnya mempercayai Jokowi. [dsy]

sumber : http://nasional.inilah..com/read/det...a#.UvA-rvl_s-I

Komentar TS :

Hidup bu mega, sekaranglah saatnya anda bisa memenangi pemilu presiden.

buat panastak, jangan lupa pilih PDIP april nanti
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive