Generasi muda, terutama pemilih pemula menjadi bagian penting untuk kemajuan dan kesejahteraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena mereka adalah pelaku demokrasi di masa yang akan datang.
Karakter generasi muda dalam pemilu sebagai pemilih pemula diantaranya yaitu karakter politiknya yang masih polos, dinilai relatif belum terpola dan merupakan pemilih aktif. Mereka cenderung berpikir terbuka (open minded), meskipun di sisi lain tetap berkeinginan kritis, kosmopolitan, dan mengikuti sejumlah perkembangan politik nasional. Sehingga menarik untuk dijadikan ajang perebutan.
Terkait hal tersebut Pemilu 2014 menjadi salah satu tumpuan untuk membuktikan bahwa generasi muda memiliki kekuatan strategis di dalamnya. Pemilih pemula pada Pemilu 2014 diperkirakan 30,2 juta orang. Jadi, ada sekitar 17 persen di antara sekitar 175 juta pemilih yang akan memilih untuk pertama kali pada tahun 2014. Jumlah ini sangat signifikan dari segi politik pemungutan suara (electoral politics). Bila pemilih pemula digabung dengan pemilih muda lain yang berusia di bawah 30 tahun, jumlahnya pada 2014 menjadi dua kali lipat, sekitar 34 persen.
Pemilu 2014 nantinya akan menghadapi beberapa tantangan diantaranya adalah ketidakpercayaan publik kepada parpol, melemahnya kedekatan pemilih dengan parpol, tingginya pemilih yang belum menentukan pilihan hingga turunnya partisipasi pemilih.
Generasi muda sebagai pemilih pemula adalah pemilih masa depan yang harus digarap menjadi pemilih yang berstruktur positif yang artinya adalah pemilih yang diberikan pendidikan menjadi sosok pemilih yang mengerti �hak dan kewajiban� demokratis. Sehingga jika dia harus berpartisipasi, maka sang pemilih pemula, memahami partisipasi politiknya bukanlah partisipasi kosong, habis mencoblos selesai sudah.
Dalam konteks inilah terletak urgensi pendidikan politik, bukan pengerahan atau mobilisasi politik. Pendidikan politik yang konstruktif dan benar menjadi sesuatu yang mutlak untuk pemilih pemula. Mengapa demikian, karena di sinilah salah satu proses pembentukan karakter politik seorang anak bangsa ditentukan.
Maka, memahami sikap politik kaum muda dan ke arah mana angin politik mereka bertiup menjadi sangat penting, baik untuk praktis politik maupun untuk pendidikan dan pembangunan politik di masa akan datang. Tentu semua berharap agar pemilih muda memiliki sikap politik yang tegas, yaitu menolak politik pencitraan, menolak figur yang popular secara instan dan menolak praktik politik uang.
Penulis : Widodo Rubianto
*sumber kompasiana
Karakter generasi muda dalam pemilu sebagai pemilih pemula diantaranya yaitu karakter politiknya yang masih polos, dinilai relatif belum terpola dan merupakan pemilih aktif. Mereka cenderung berpikir terbuka (open minded), meskipun di sisi lain tetap berkeinginan kritis, kosmopolitan, dan mengikuti sejumlah perkembangan politik nasional. Sehingga menarik untuk dijadikan ajang perebutan.
Terkait hal tersebut Pemilu 2014 menjadi salah satu tumpuan untuk membuktikan bahwa generasi muda memiliki kekuatan strategis di dalamnya. Pemilih pemula pada Pemilu 2014 diperkirakan 30,2 juta orang. Jadi, ada sekitar 17 persen di antara sekitar 175 juta pemilih yang akan memilih untuk pertama kali pada tahun 2014. Jumlah ini sangat signifikan dari segi politik pemungutan suara (electoral politics). Bila pemilih pemula digabung dengan pemilih muda lain yang berusia di bawah 30 tahun, jumlahnya pada 2014 menjadi dua kali lipat, sekitar 34 persen.
Pemilu 2014 nantinya akan menghadapi beberapa tantangan diantaranya adalah ketidakpercayaan publik kepada parpol, melemahnya kedekatan pemilih dengan parpol, tingginya pemilih yang belum menentukan pilihan hingga turunnya partisipasi pemilih.
Generasi muda sebagai pemilih pemula adalah pemilih masa depan yang harus digarap menjadi pemilih yang berstruktur positif yang artinya adalah pemilih yang diberikan pendidikan menjadi sosok pemilih yang mengerti �hak dan kewajiban� demokratis. Sehingga jika dia harus berpartisipasi, maka sang pemilih pemula, memahami partisipasi politiknya bukanlah partisipasi kosong, habis mencoblos selesai sudah.
Dalam konteks inilah terletak urgensi pendidikan politik, bukan pengerahan atau mobilisasi politik. Pendidikan politik yang konstruktif dan benar menjadi sesuatu yang mutlak untuk pemilih pemula. Mengapa demikian, karena di sinilah salah satu proses pembentukan karakter politik seorang anak bangsa ditentukan.
Maka, memahami sikap politik kaum muda dan ke arah mana angin politik mereka bertiup menjadi sangat penting, baik untuk praktis politik maupun untuk pendidikan dan pembangunan politik di masa akan datang. Tentu semua berharap agar pemilih muda memiliki sikap politik yang tegas, yaitu menolak politik pencitraan, menolak figur yang popular secara instan dan menolak praktik politik uang.
Penulis : Widodo Rubianto
*sumber kompasiana