SITUS BERITA TERBARU

Wiranto: Perlu Pemimpin Tegas, tetapi Bernurani

Monday, January 27, 2014
Quote:


Jenderal TNI (Purn) Wiranto sebetulnya memiliki peluang besar mengambil alih kekuasaan saat diberikan kesempatan oleh Presiden Soeharto ketika terjadi huru-hara Mei 1998. Namun, karena percaya bahwa demokrasi merupakan pilihan terbaik untuk masa depan bangsa ini, ia mengabaikan kesempatan tersebut.

Dalam wawancara khusus pekan lalu, Wiranto mengungkapkan detik-detik menentukan yang menguji moral dan nuraninya pada malam menjelang pergantian Presiden RI dari Soeharto kepada BJ Habibie pada 21 Mei 1998. Inilah detik-detik keputusan yang turut mengantarkan Indonesia dalam era reformasi.

�Seusai menerima surat dari Presiden (Inpres Nomor 16 Tahun 1998 yang memberikan wewenang Operasi Keselamatan Nasional), malam itu, saya ditanya salah seorang kepala staf saya, �Apakah Panglima akan ambil alih?� Tidak, jawab saya. Besok akan kita antarkan pergantian (presiden) secara konstitusional,� kata Wiranto yang saat itu menjabat Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan RI.

Lebih lanjut Wiranto bercerita, dirinya tidak menyesal dengan langkah yang ia ambil saat itu.

�Jika kesempatan itu saya ambil, akan ada perang saudara. Buat apa mengambil alih kekuasaan jika akhirnya hanya menyengsarakan rakyat. Apalagi, waktu itu, kuat keinginan masyarakat akan hadirnya era baru. Jika diambil, Indonesia akan menjadi seperti Mesir atau Libya saat ini. Alhamdulillah itu tidak terjadi,� ucapnya.

Wiranto berpandangan, setinggi apa pun jabatan seseorang, hendaknya kepentingan bersama dan bangsa lebih dikedepankan ketimbang ego pragmatis pribadi atau golongan. Jika filosofi ini dikedepankan dan diresapi, niscaya negara ini akan maju. Korupsi bisa dihindari.

�Kuncinya pada nurani. Itu merupakan ideologi ilahiah, bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Ideologi yang mengalahkan apa pun,� tutur calon presiden dari Partai Hanura ini.

Wiranto memilih jalan yang panjang. Dia harus bertarung tiga kali dalam pemilu presiden. Pertama, saat dia menang dalam konvensi Partai Golkar tahun 2004 dan menjadi calon presiden partai tersebut pada pemilu tahun itu. Kedua, saat dia menjadi calon wakil presiden, berpasangan dengan Jusuf Kalla, pada Pemilu Presiden 2009. Ketiga, jika dia nanti mulus maju kembali sebagai calon presiden berpasangan dengan pengusaha Hary Tanoesudibjo pada Pemilu Presiden 2014.

�Waktu terus berganti, tetapi kami melihat reformasi belum berjalan ideal. Sikap ABRI yang tidak mengambil alih kekuasaan ternyata tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Ada kelemahan-kelemahan yang bisa diperbaiki. Dari situlah saya kemudian maju jadi capres. Jika janji-janji (reformasi) sudah terpenuhi, saya tidak akan ikut maju,� ujar Wiranto.

Dia pun mendirikan Partai Hanura dengan harapan bisa membawa perubahan dengan hati nurani agar bisa meluruskan jalan menuju Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

�Sampai saat ini, belum ada satu pun kader Partai Hanura di DPR yang terlibat korupsi,� kata Ketua Umum Partai Hanura ini yang siang itu menerima Kompas dengan hangat dan tampak santai mengenakan kemeja putih dan setrip kuning keemasan dipadu dengan celana jins.

Terkait dengan dugaan keterlibatan Bambang Wiratmadji Soeharto dalam kasus suap mantan Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat, yang diselidiki KPK, menurut Wiranto, walaupun belum jadi terdakwa, Bambang, yang merupakan salah satu pendiri sekaligus Ketua Dewan Penasihat dan Ketua Dewan Pengarah Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura, langsung dinonaktifkan.

�Ini ketegasan kami. Pada level apa pun, jika ditetapkan sebagai tersangka, ya, harus dinonaktifkan. Kejujuran adalah prinsip. Kalau pemimpin menggunakan nuraninya, bukan sekadar otak, insya Allah akan luput dari masalah dan melanggar hukum. Hati nurani selalu mengajak orang pada kebenaran,� ungkap Wiranto.

Kuat, tetapi tidak otoriter

Menurut dia, negara ini butuh kepemimpinan yang kuat, tetapi tidak otoriter. Pemimpin yang tegas, berwibawa, sekaligus bernurani.

�Seperti China dan Singapura, meski bukan negara demokrasi, mereka bisa maju. Ini karena pemimpinnya bersih, tegas, peduli, dan punya arah. Apalagi, ke depan, pemimpin baru punya tantangan besar menghadapi era globalisasi. Pemimpin harus siap,� ujar doktor Ilmu Manajemen SDM dari Universitas Negeri Jakarta ini.

Pemilu sebagai instrumen demokrasi, menurut Wiranto, seharusnya bisa menghasilkan pemimpin perubahan tersebut. Ketika kekuasaan Soeharto telah jatuh dan akhirnya menghasilkan Orde Reformasi, kondisi rakyat tak banyak berubah. Wajah kemiskinan di mana-mana. Korupsi tetap merajalela.

�Yang dibutuhkan Indonesia adalah pemilu yang benar-benar mampu menghadirkan para pemimpin perubahan, bukan sekadar manajer atau pemimpin yang gila jabatan. Pemimpin yang menjadikan jabatannya hanya instrumen guna melakukan langkah-langkah terobosan menuju Indonesia baru yang lebih baik. Tanpa kehadiran pemimpin perubahan, kita akan terus terjebak pada kondisi status quo,� ujarnya.


SUMBER



Pemimpin yang tegas an bernurani itu cuma Jokowi
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive