SITUS BERITA TERBARU

Saya Ingin Membangun Mimpi Mereka

Wednesday, January 8, 2014
Quote: Anak-anak kampung Offie, Distrik Teluk Patipi, Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat telah memikat hati Mitha Abdillah. Enam bulan mengabdi di program Indonesia Mengajar, telah membukakan matanya tentang keluguan, ketulusan, dan kejujuran sesungguhnya.

Kampung Offie langsung membuyarkan bayangan Mitha tentang kampung pedalaman Papua. Sebelumnya dia sempat berpikir akan banyak menemui orang-orang berkoteka tanpa seikat helai benang di tubuhnya. Tetapi, sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah orangtua angkatnya, tak ada satu pun sosok berkoteka yang ditemuinya.

�Semua sudah berpakaian. Saya malah penasaran ingin lihat orang adat yang berkoteka,�kata Mitha saat berkunjung ke kantor Harian Surya Online, Senin sore (6/1/2014).

Sama halnya dengan pendatang lain, alumni Universitas Pelita Harapan (UPH) Surabaya ini mengalami kendala bahasa di awal-awal tinggal di kampung itu. Logat bahasa yang keras dengan intonasi cepat sempat membuatnya bingung. Pernah suatu ketika dia ditanya masyarakat dengan kalimat: Ibu kopi mana? �Saya kira dia tanya kopi, saya tunjukkan saja kopi di belakang. Tetapi setelah berdebat lama, maksud kalimatnya itu dia tanya saya mau pergi kemana,� urai anak tunggal dari pasangan Hadi Suyanto-Lilik Siti Fatimah ini.

Karena bahasa juga, sebulan pertama dia tidak bisa mengendalikan kelasnya. Di bulan-bulan pertama itu dia masih berpikir, untuk mendekati anak SD harus dilakukan dengan lemah lembut. Tetapi ternyata, intonasi itu tidak bisa ditangkap anak didiknya. �Saya baru mengerti kalau meminta mereka harus dengan suara keras seperti membentak. Ketika itu saya praktekkan, ternyata mereka menurut semua,�ceritanya sambil tertawa.

Selain bahasa, akses listrik juga terbatas dengan pemakaian genset untuk keluarga-keluarga mampu. Sementara keluarga miskin harus rela gelap-gelapan saat malam hari. Mitha pun harus membiasakan diri dengan kondisi itu.

Mitha juga harus membiasakan makan seadanya dengan sayur hasil ladang dan ikan dari laut. Bahkan tidak jarang dia harus makan nasi kosong, istilah untuk nasi tanpa lauk pauk.

Dan satu hal yang benar-benar harus membuatnya bersabar. Di lokasi itu satupun sinyal telepon seluler yang bisa masuk.

Untuk bisa mendapatkan sinyal, Mitha harus naik taksi (istilah kendaraan umum di Papua) ke kota dengan medan naik turun gunung selama dua jam. �Biasanya kalau sudah ke kota saya habiskan waktu untuk belanja kebutuhan sehari-hari sambil memuaskan telepon keluarga,�kata Mitha yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar di Jepang saat masih sekolah di SMAN 1 Surabaya.

Terlepas dari keterbatasan itu, kebahagiaan yang dirasakan Mitha jauh lebih besar. Di lokasi terpencil itu dia menemukan arti hidup sesungguhnya.

Status guru yang disandangnya menuntut dia untuk bisa menjadi pengayom dan pendidik yang kuat. Kondisi sekolah yang jumlah gurunya terbatas, menuntutnya harus merangkap mengajar di tiga kelas sekaligus karena ditinggal gurunya. Pernah suatu ketika dia mengajar di kelas 4, tetapi di kjelas 2 dan 3 tidak ada gurunya. Secara bergantian, ketika selesai mengajar di kelas 4 dia kunci pintunya, untuk masuk ke kelas 2. Dan hal sama dilakukan ketika dia akan masuk ke kelas 3.

Diakui Mitha, karena banyak guru yang sering bolos, membuat siswa-siswanya tertinggal. Bahkan banyak siswa kelas 4 yang masih belum bisa membaca. Untuk siswa-siswa ini Mitha punya trik khusus. Dia ajak anak-anaknya untuk belajar membaca di rumahnya sepulang sekolah.

�Mereka sangat senang sekali ketika saya sodorkan buku. Dengan kerasnya mereka mengeja kata-katanya satu per satu seperti sebuah nyanyian. Sampai sekarang ketika cuti liburan, saya masih terngiang suara-suara ejaan mereka, kangen sekali berkumpul dengan mereka lagi,� kata mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Psikologi UPH Surabaya.

Trik lain yang dipakai dia untuk menarik minat belajar anak didiknya adalah dengan membawa laptop dan memutarkan video-video pengetahuan seperti sistem pernafasan. �Mereka sangat suka sekali. Hampir sepanjang pelajaran selalu bertanya tentang isi video itu,�kata mantan Ketua OSIS SMAN 1 Surabaya.

Mitha juga kerap membawa video-vodeo berbahasa Inggris. Dia sangat terkejut ketika ternyata anak-anak pedalaman itu memiliki minat yang luar biasa dengan bahasa internasional itu.

�Mereka selalu menirukan kata-kata yang diucapkan di video itu, meski salah, saya melihat semangat mereka untuk belajar sangat luar biasa,�kata Mitha yang beberapakali memenangkan lomba pidato bahasa Inggris dan lomba karya ilmiah se-Jatim.

Untuk semakin mendekatkan dia dengan anak didiknya, di hari Minggu Mitha sering mengajak murid-muridnya jalan-jalan naik turun gunung sekadar menikmati udara segar.

Dari perjalanan itu dia bisa merasakan arti sebuah pengabdian yang sesungguhnya. �Saat akan memulai perjalanan mereka menenangkan saya. Ibu, jangan khawatir. Ibu di tengah saja. Biar yang di depan dan belakang kami. Kalau ada hewan buas kami yang akan melawan,� cerita Mitha.

Dan ternyata benar, ketika bertemu rusa atau babi hutan, anak-anak ini langsung memasang badan untuk Mitha. �Saya sampai mbrebes mili saat itu. Anak sekecil ini sudah memiliki tanggung jawab yang besar untuk melindungi sesamanya,�katanya.

Enam bulan mengabdi di daerah itu, hampir tak terasa. Banyak pelajaran berharga yang diambil dari sana. �Tak ada rasa menyesal atau susah sama sekali. Bahkan saya merasa sangat beruntung mendapat pelajaran berharga ini. Hidup cuma sekali, ini adalah pengalaman yang tidak semua orang bisa melakukan,�katanya.

Mitha ingin kehadirannya di sana, bisa memberikan semangat anak-anaknya untuk mau bermimpi meraih masa depannya. �Saya pernah mengajak mereka membuat pohon mimpi. Saya mereka menuliskan mimpinya di pohon itu. Saya sangat terkejut ketika ada anak bernama Hasan yang menuliskan mimpi ingin menjadi PNS di Jakarta. Saat saya tanya kenapa, katanya dia ingin ikut membangun Indonesia,�kata Mitha dengan mata menerawang.

Mitha yakin, meski letaknya di pedalaman, anak-anaknya akan bisa meraih mimpi itu. �Potensi-potensi itu ada, saat ada lomba menulis yang diadakan majalah Bobo, anak-anak saya banyak yang terpilih. Saya yakin ke depan mereka akan menjadi orang-orang yang lebih sukses,�pungkas Mitha yang Rabu ini (8/1/2014) kembali ke Papua melanjutkan pengabdiannya. sumber

mulia sekali

kayaknya mbak mitha perlu jd konsultan psikologi di gedung DPR sana
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive