SITUS BERITA TERBARU

Gas Bumi Dalam Negeri Defisit Tapi Ekspor Meningkat

Saturday, January 4, 2014


Keberpihakan pemerintah pada industri belum tercermin pada peraturan yang dibuat. Berdasarkan peraturan pemerintah, segmen industri hanya menjadi prioritas keempat.

Indonesia negara yang sangat kaya akan sumber daya alam, tak ada yang menyangkal itu. Cadangan minyak, gas bumi, dan sumber energi lainnya semuanya melimpah.

Jadi amat ironis jika negeri yang kaya raya akan sumber energi ini justru kekurangan energi. Hal ini kentara dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2010 yang menunjukkan adanya defisit gas sekitar 95 MMscfd (Million Metric Standard Cubic Feet per Day).



Apa pasal? Ternyata, defisit itu terjadi karena kontrak lebih besar dari pada pasokan. Kontrak mencapai 3.215 MMscfd tetapi pasokannya hanya 3.119 MMscfd. Defisit ini terjadi, antara lain, karena gas tersebut banyak diekspor ke luar negeri seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Bisa jadi, karena persoalan itu pula kini pemerintah merasa perlu dukungan pihak swasta agar berinvestasi di sektor energi dan dan sektor sumber daya mineral mulai 2010-2014. Besaran investasi yang ditawarkan tak tanggung-tanggung, sekitar Rp 1.480 triliun. Nah, besaran ini termasuk untuk investasi untuk pengadaan gas.

Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR akhir Mei lalu, Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh mengungkapkan hal itu. Pemerintah membutuhkan partisipasi pihak swasta karena investasi sekitar 68,62% atau Rp 1.016 triliun diharapkan datang dari swasta. "Dari APBN hanya 5,45% atau sekitar Rp 80,746 triliun dan dari BUMN 25,92% atau sekitar Rp 383,85 triliun. Paling banyak itu dari swasta, Rp 1.016 triliun," ujar nya.

Keberpihakan pemerintah kepada industri yang belum tercermin pada peraturan yang
dibuat, tampaknya menjadi salah satu penyebab defisitnya gas. Saat ini, berdasarkan peraturan pemerintah, segmen industri hanya menjadi prioritas keempat. Pantas kalau pasokan gas untuk industri sangat sulit. Malah sebagian harus impor. Tiga prioritas utama pemerintah selama ini adalah lifting, pupuk, dan listrik.

Pengamat perminyakan Kurtubi menilai langkah pemerintah untuk mengimpor gas sangat tidak tepat. �Ongkos impor gas bisa jadi lebih tinggi daripada harga jual ekpor gas Indonesia,� ujarnya.
Selain itu, impor gas membutuhkan tambahan infrastruktur berupa terminal penerima gas alam cair yang sampai sekarang belum terealisasi. Pemerintah menargetkan akan membangun terminal penerima gas di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali pada 2012. �Jadi tidak ada gunanya impor gas,� tutur Kurtubi.

Semestinya, kebutuhan gas di dalam negeri akan terpenuhi jika pemerintah tidak �terlalu� mementingkan ekspor. Soalnya, dengan cadangan gas dalam negeri sebesar 170 TCF (2P) dipekirakan bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga 100 tahun ke depan. Hal ini terungkap di acara Editor�s Meeting dengan direksi PT Perusahaan Gas Negara Tbk. di Jakarta pertengahan Juni lalu.

Menurut Michael Baskoro, Commercial Director & COO PT Perusahaan Gas Negara (PGN), saat ini demand gas di dalam negeri luar biasa besar. Terutama untuk kebutuhan pembangkit tenaga listrik, industri, sektor transportasi, dan rumah tangga. Menurut catatannya, tahun ini, untuk pembangkit listrik saja, PLN butuh gas hingga 2.093 MMscfd tetapi baru terpenuhi sekitar 800 MMscfd. Di sektor industri, kebutuhan total sebesar 2.700 MMscfd, namun PGN baru dapat memenuhi sekitar 500 MMscfd saja.

Sebagai BUMN yang tidak bermain di sektor hulu, PGN berkepentingan mendapatkan pasokan gas untuk mencapai visi dan misinya. Menurut Baskoro, hingga saat ini alokasi gas untuk PGN masih terbatas dan belum bisa memenuhi demand dalam negeri yang masih sangat besar itu.

Tahun 2006 hingga 2007 alokasi gas untuk PGN masih di bawah 200 juta Mscf atau berkisar antara 3,99% hingga 4,51% dari total alokasi gas oleh negara. Tahun 2009, alokasi gas untuk PGN meningkat menjadi 9,45%. Namun pada tahun 2010 turun lagi menjadi 8,50%. �Meskipun kontribusi dan infrastruktur yang dibangun bertambah, namun alokasi untuk PGN masih terbatas,� ungkapnya.

Minimnya alokasi gas untuk PGN, karena pemerintah telah mengambil kebijakan yang justru berpihak kepada perusahaan asing. Sejak Pebruari 2010 alokasi gas PGN sebesar ± 100 MMscfd dialihkan dari PGN ke Chevron/Duri untuk mendukung lifting migas. Akibatnya, pasokan gas bumi untuk pembangkit listrik PLN dikurangi dalam jumlah yang sama. Bahkan rencananya, BP Migas akan menyalurkan gas dari Jambi Merang untuk kebutuhan Chevron sebesar ± 85 MMscfd dalam waktu dekat ini.

Chevron adalah perusahaan energi asing yang berkantor pusat di San Ramon, California, Amerika Serikat. Perusahaan ini beroperasi di banyak negara dan bergerak pada hampir semua spektrum energi: minyak bumi dan gas alam, termasuk eksplorasi dan produksi; pengilangan minyak; pemasaran dan transportasi; petrokimia; tenaga listrik dan panas bumi.

Di Indonesia, Chevron bekerja sama dengan BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) dalam bidang eksplorasi-produksi dan bekerja sama dengan Pertamina dalam bidang panas bumi dan tenaga listrik.

Beyond Pipelines

Di jagat bisnis energi, PGN merupakan BUMN yang cukup diperhitungkan. Perusahaan ini tumbuh cukup pesat. Itu tergambar pada transformasi yang dilakukan PGN. Pada masa lalu, PGN masih memanfaatkan sumber-sumber gas setempat. Artinya, PGN menggunakan gas bumi yang bersumber dari ladang-ladang gas setempat untuk kemudian didistribusikan ke pengguna di sekitar daerah tersebut. Tentu saja, volume bisnisnya terbatas.

Saat ini, telah PGN melakukan transmisi gas bumi antarpulau. Pipa transmisi gas utama antara lain: Grissik-Duri, Grissik-Singapore, dan South-Sumatera to West Java (SSWJ). Dengan kondisi ini, memungkinkan volume gas bumi yang lebih besar untuk didistribusikan di wilayah lain. �Ke depan, kami akan menerapkan Beyond Pipelines. PGN berencana membangun terminal penerima LNG terapung. Dengan ini akan memungkinkan PGN menggunakan sumber-sumber gas yang lebih jauh di dalam dan luar negeri,� ujar Baskoro.

Dengan komposisi kepemilikan saham publik (43.04%) dan negara (56.96%), PGN juga berkembang pesat. Penyertaan negara sebesar Rp 1,4 triliun di awal, telah berkembang menjadi kekayaan negara senilai lebih dari Rp 58 triliun (per Januari 2011) dari evaluasi saham di PGN. �Kami siap bertarung dalam bisnis gas, termasuk dengan perusahaan asing sekalipun, asal dilakukan dengan cara benar,� kata Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PGN.

Peran strategis PGN pun, menurut Baskoro, sudah cukup menguntungkan negara. BUMN ini telah berkontribusi dalam PDB 2010 sebesar Rp 180 triliun. PGN juga berperan mengurangi subsidi PLN (BBM) sebesar Rp 11,3 triliun per tahun. Di sektor tenaga kerja, PGN telah melibatkan sekitar 1,34 juta orang di industri yang memanfaatkan gas bumi. PGN juga berperan dalam penghematan biaya produksi industri hingga Rp 33,7 triliun per tahun.

Kontribusi PGN terhadap negara tak bisa dibilang kecil. Menurut Riza, pada 2009 PGN menyetor deviden ke negara sebesar Rp 702,7miliar dan 2010 Rp 2.132,1 miliar. Kalau ditambah setoran pajak, tahun ini PGN telah berkontribusi sebesar Rp 3,7 triliun. �Maka, wajar jika kami berharap ada dukungan dari pemerintah,� ujarnya.

Menurut Baskoro, ada lima dukungan yang diharapkan PGN dari pemerintah: mendapat prioritas pasokan gas, adanya implementasi DMO (Domestic Market Obligation) secara konsisten, mendapat kemudahan perizinan, pengembalian gas dari Chevron/Duri kepada PGN, dan adanya alokasi pasokan LNG (Liquified Natural Gas).

Dukungan alokasi pasokan LNG ini untuk mengatasi krisis kekurangan pasokan gas. �PGN telah berkomitmen untuk membangun infrastruktur gas bumi dalam bentuk Terminal Penerima LNG Terapung di Jawa Barat bersama Pertamina dan di Medan,� ujarnya.

Nah, ke depan, akankah pemerintah berpihak pada BUMN-BUMN yang telah menguntungkan negara ini? (AKS)

http://www.eksekutif.co.id/gaya-hidu...meningkat.html

udahlah, gak jelas negara ini kedepannya kayak gimana
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive