JAKARTA, KOMPAS.com - Survei dan hasil hitung cepat belakangan menjadi bisnis yang tumbuh subur menjelang dan saat Pemilu. Keduanya menjadi penentu kebijakan dan terkadang menentukan nasib seorang calon anggota legislatif. Tak ayal, meski dibutuhkan, survei dan hitung cepat kerap menjadi momok menakutkan bagi partai dan para kadernya.
"Kita sudah terjebak dalam pendekatan kuantitatif. Seakan politik itu prosentase. Dua tambah dua sampai dengan empat. Padahal belum tentu empat kalau dalam politik," ujar Redaktur Senior Kompas Budiarto Shambazy di Jakarta, Minggu (20/4/2014).
Jurnalis yang akrab disapa Mas Bas ini membandingkan budaya politik yang terbangun di Indonesia dengan negara demokrasi mapan seperti Amerika Serikat. Di negara paman Sam itu, Budiarto mengungkapkan, survei bukanlah tolak ukur utama dalam menentukan kebijakan. Survei yang dilakukan lebih kepada survei kualitatif, bukan persentase elektabilitas.
"Mereka mengambil keputusan bukan berdasar hasil survei. Kenapa? Banyak studi menelaah, dan kesimpulan utamanya bahwa hasil survei adalah hasil kuantifikasi politik. Itu tidak dipercayai warga Amerika. Mereka lebih percaya issues, telaah kualitatif," paparnya.
Budiarto menuturkan, dalam kampanye-kampanye calon presiden Amerika, terlihat jelas setiap calon memiliki karakter yang jelas, jejak rekam, gaya kepemimpinan, dan penguasaan isu yang matang. Sementara di Indonesia, dia belum melihat adanya kandidat capres yang memaparkan visi dan misinya. Yang mengemuka di media sekarang, justru saling serang untuk menggerus elektabilitas.
"Kita sudah terjebak dalam pendekatan kuantitatif. Seakan politik itu prosentase. Dua tambah dua sampai dengan empat. Padahal belum tentu empat kalau dalam politik," ujar Redaktur Senior Kompas Budiarto Shambazy di Jakarta, Minggu (20/4/2014).
Jurnalis yang akrab disapa Mas Bas ini membandingkan budaya politik yang terbangun di Indonesia dengan negara demokrasi mapan seperti Amerika Serikat. Di negara paman Sam itu, Budiarto mengungkapkan, survei bukanlah tolak ukur utama dalam menentukan kebijakan. Survei yang dilakukan lebih kepada survei kualitatif, bukan persentase elektabilitas.
"Mereka mengambil keputusan bukan berdasar hasil survei. Kenapa? Banyak studi menelaah, dan kesimpulan utamanya bahwa hasil survei adalah hasil kuantifikasi politik. Itu tidak dipercayai warga Amerika. Mereka lebih percaya issues, telaah kualitatif," paparnya.
Budiarto menuturkan, dalam kampanye-kampanye calon presiden Amerika, terlihat jelas setiap calon memiliki karakter yang jelas, jejak rekam, gaya kepemimpinan, dan penguasaan isu yang matang. Sementara di Indonesia, dia belum melihat adanya kandidat capres yang memaparkan visi dan misinya. Yang mengemuka di media sekarang, justru saling serang untuk menggerus elektabilitas.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Sidarto Danusubroto juga mengkritisi keberadaan lembaga survei yang juga konsultan politik. Dia melihat dari sejumlah survei yang ada, tidak sampai lima lembaga yang dinilainya objektif dalam memaparkan data.
"Yang lainnya, nggak jelas. Tergantung siapa yang bayar," tukas Sidarto.
Sidarto meminta agar para konsultan politik dan juga lembaga survei tak berkhianat dari pakem ilmu pengetahuan yang telah dimiliki. Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat ini menyebut konsultan politik yang tunduk pada rupiah sebagai "pelacur" intelektual.
"Menjaga kehormatan profesi untuk tidak tergelincir menjadi 'pelacur' intelektual. Konotasinya bersedia melakukan hal yang tidak dibenarkan hanya karena dibayar," ujar Sidarto.
SUMBER
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
sekarang adalah jaman baru, dimana politik dimaknai sebagai angka2, dan kuantifikasi menjadi "realitas politik". padahal kuantifikasi politik sendiri cenderung mereduksi angka dan tren menjadi "pilihan masyarakat" dan "kepuasan masyarakat". akhirnya, politik pencitraan menjadi panglima, dimana preferensi politik seseorang dituntun oleh angka2 yang menjadi patokan dalam lembaga survei.
pilihan politik tidak lagi berdagang issue, bertarung visi dan misi, atau memperdebatkan bagaimana negara kedepan. angka2 kemudian membuat batas terhadap pilihan politik menyangkut pribadi, yang tentunya dijadikan "kenyataan politik" oleh pemilih.
andaikata tidak ada kontra argumen yang jelas, baik secara literal, logika maupun realitas empiris, masyarakat pemilih akan mempercayai bahwa gejala, simbol dan tanda adalah kenyataan. seperti yang dikatakan Jean Baudrillard "simulakra". dan politik indonesia kini penuh simulakra.
akhir kata, selamat mereproduksi "realitas politik", para capres!


