SITUS BERITA TERBARU

Pencalonan Pramono Edhie dan Jokowi Dipaksakan

Saturday, September 28, 2013
inilah..com, Jakarta - Sekitar sepekan setelah Taufiq Kiemas meninggal dunia, sebuah rumor baru beredar di kalangan selebriti politik. Yaitu PDI Perjuangan dan Partai Demokrat akan berkoalisi.

Koalisi itu berbentuk kesepakatan dalam penentuan nama siapa yang akan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden yang diajukan kedua partai papan atas itu di Pilpres 2014.

Disebutkan, Pramono Edhie, adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mantan KSAD, Kepala Staf Angkatan Darat akan dipasangkan dengan Jokowi. Gubernur DKI Jaya periode 2012-2017 yang belakangan disebut Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP sebagai salah seorang kader politik terbaik partainya. Pramono sebagai Capres dan Jokowi selaku Cawapresnya.

Sekilas rumor itu dianggap tidak masuk akal. Sebab persepsi yang ada selama ini adalah Megawati Soekarnoputri baik pribadi maupun sebagai Ketua Umum PDIP tidak akan mungkin pernah mau berkoalisi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Bagi Megawati, SBY merupakan musuh permanennya. Sehingga yang menyepelekan rumor itu menganggap pasangan capres dan cawapres Demokrat-PDIP, tak akan mungkin terjadi di Pilpres 2014.

Namun demikian, ada juga yang mempercayainya. Dengan menyebutkan, pencalonan itu melibatkan berbagai kepentingan. Mulai dari kepentingan pribadi, politik dan termasuk kepentingan pihak asing.

Kepentingan pribadi, berupa rekonsialiasi SBY dengan Megawati. Kepentingan politik, menjaga kekuasaan Indonesia tetap dipegang "Partai Tengah" dan Partai Nasionalis. Kepentingan asing, khususnya Amerika Serikat. Negara adidaya ini ingin melanggengkan kekuasaan militer di Indonesia, tetapi penampilan pemimpin militer tetap dalam wajah sipil.

Koalisi PDIP dan Demokrat dalam Pilpres 2014 dimungkinkan, sebab Megawati Soekanroputri sudah mengendorkan ketidak sukaannya terhadap SBY. Setelah Presiden SBY memberikan perhatian dan pelayanan yang serba prima dalam menangani pemulangan jenazah Taufiq Kiemas.

Dalam pemulangan jenazah suami Megawati itu dari Singapura ke Indonesia pada 9 Juni 2013 hingga ke pemakaman di TMP Kalibata, Megawati menyaksikan sendiri, begitu "all out" SBY memberikan waktunya. SBY menyediakan dua pesawat airbus dan satu hercules.

Ketika jenazah Taufiq Kiemas tiba bandara Halim Perdanakusumah, adalah SBY yang paling sibuk mulai dari penerimaan dan penyerahan jenazah, hingga penutupan lobang makam dan penyerahan bendera merah putih, bekas pembungkus jenazah kepada Megawati.

SBY benar-benar menunjukkan rasa hormatnya kepada Megawati melalui penghormatan terakhir yang serba berkelas kepada almarhum Taufiq Kiemas. Hal itu membuat Megawati tidak bisa lagi terus memelihara ketidak sukaannya terhadap SBY. Singkatnya, kepergian Taufiq Kiemas untuk selama-lamanya justru membuka peluang bagi terciptanya sebuah rekonsiliasi politik antara Megawati dan SBY.

SBY sendiri berkepentingan menjadikan iparnya Pramono Edhie sebagai suksesor. Tujuannya dalam rangka pengamanan keluarga Cikeas, setelah pemerintahan di Indonesia tak lagi dikendalikannya. Diyakini, bila Pramono terpilih menjadi Presiden, masa lalu pemerintahan SBY yang diwarnai oleh beberapa kasus, tak bakal diutak-atik.

Pemilihan Pramono Edhie juga diyakini akan sulit ditolak Megawati. Sebab ketika Pramono berpangkat Letnan Kolonel, prajurit Kopassus itu merupakan salah seorang Ajudan Megawati, tatkala putri Proklamator ini menjabat sebagai Presiden ke-5 RI pada Juni 2001 hingga Oktober 2004.

Kepentingan asing, kepentingan Amerika Serikat ikut disebut-sebut, sebab hanya berselang tiga hari jenazah Taufiq Kiemas dikebumikan, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Scot Marciel, menyempatkan diri bertemu Megawati Soekarnoputri. Diplomat karir dari AS itu dua kali bertamu ke kediaman Teuku Umar 27, Jakarta Pusat.

Pertemuan pertama dalam rangka menyampaikan ucapan duka cita, sedangkan pertemuan kedua yang memakan waktu lebih dari dua jam, untuk meyakinkan Megawati. Dubes Marciel kabarnya meminta Megawati untuk mengizinkan Jokowi berpasangan dengan Pramono Edhie.

Kombinasi pasangan ini bagi Amerika Serikat sangat ideal. Sebab Pramono Edhie sebagai bekas pimpinan tertinggi di TNI AD, dianggap bisa menjaga kepentingan Washington di Indonesia lewat jalur militer. Sementara Jokowi, dengan popularitasnya, tak soal apakah itu bagian dari rekayasa Washington atau tidak, namun bekas Walikota Solo itu dianggap mewakili kepentingan masyarakat sipil.

Yang menarik dari wacana pencapresan dan koalisi Demokrat dan PDIP ini yaitu menonjolnya unsur atau kegiatan yang dipaksakan. Mengapa ?

Celakanya jika wacana pencalonan seperti ini dilanjutkan, jelas yang terwakili hanya kepentingan kelompok. Bukan lagi mengutamakan kepentingan nasional. Karena ingin memenangkan kepentingan kelompok, mau tak mau para sponsor terpaksa menempuh berbagai cara yang nota bene sama dengan sebuah pemaksaan kepentingan.

Yang juga cukup menarik, bahasa tubuh dari Pramono Edhie dan Jokowi. Mereka tidak memperlihatkan sorot wajah yang penuh antusiasime untuk menjadi calon pemimpin nasional. Jawaban-jawaban mereka berdua terhadap pertanyaan wartawan, khususnya yang menyangkut pencalonan terkesan sangat hati-hati atau lebih tepat disebut tidak siap. Yang siap hanyalah para sponsor mereka. Jadi kembali ada aroma keterpaksaan yang mereka sembunyikan.

Ketidak siapan Pramono dan Jokowi, sesungguhnya bisa dimengerti. Sebab nampaknya mereka berdua menyadari ketokohannya di panggung nasional, sebetulnya belum terbentuk. Ketokohan mereka di panggung nasional baru sebatas pencitraan yang dibuat oleh para sponsor.

Sekalipun Pramono Edhie lahir dari sebuah korps elit militer, tetapi prestasinya jika dibandingkan dengan sesama anggota Kopassus lainnya, belum bisa dibilang cemerlang. Tidak usah jauh-jauh. Bandingkan saja rekam jejaknya dengan Prabowo Subianto. Akan sangat mudah dilihat berbagai plus minus dari rekam rekam jejak mereka berdua.

Sama halnya dengan Jokowi. Sekalipun Jokowi paling sering dikritik bahkan dilecehkan Amien Rais, tapi tanpa merujuk pada serangan-serangan politisi gaek dari PAN tersebut, dengan mudah bisa dilihat apa yang menjadi kekurangan Jokowi bila dipilih menjadi pemimpin nasional.

Jadi kemampuan dan ketokohan Pramono Edhie dan Jokowi, secara politik maupun kepemimpinan, masih jauh dari persyaratan. Kemampuan mereka terlihat menonjol, karena memang ada pihak yang sengaja memaksa-maksakan.Sehingga secara keseluruhan pencalonan Pramono Edhie dan Jokowi patut dibilang terlalu dipaksakan.

Duet militer-sipil yang coba dikesankan dari wacana pencalonan mereka, juga begitu terasa sangat dipaksakan. Selain rezim militer bukan lagi eranya, era sipil yang coba diwakilkan lewat Jokowi, tidak cukup kuat alasannya.

Kalau berpijak pada filosofi dan teori politik, demokrasi yang sehat, hanya bisa lahir dari sebuah kondisi yang kondusif. Demokrasi yang sehat tak akan pernah lahir dari situasi yang dipaksakan
------------------------------------------
Sumber: http://nasional.inilah..com/read/det...owi-dipaksakan
------------------------------------------
keberhasilan jokowi hanya mitos yang dibesar-besarkan oleh media dengan hidden agenda ... sementara pramono levelnya blm bisa dikatakan cukup mewujudkan sosok seorang capres ... namun jika harus memilih diantara 2 orang ini, saya lebih memilih pramono edi wibowo ketimbang jokowi, apa alasannya ? simpel saja alasannya, kemampuan jokowi jelas tidak mumpuni sebagai pemimpin kaliber nasional, pengalamannya di solo tidak cukup jadi alasan jokowi untuk jadi presiden, apalagi prestasi jojowi hanya setahi kuku saja di solo, dan yang lebih berbahaya lagi adalah keberadaan konglomerat hitam buronan blbi termasuk james riyadi yang berusaha menjual sosok jokowi lewat media sekaligus berlindung dibalik popularitas jokowi ...
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive