REPUBLIKA.CO.ID, Siang itu, ketika sedang berbincang dengan seorang kawan, sekaligus mantan relawan lepas pasangan nomor urut dua di sebuah kedai kopi, Jakarta Selatan, kami bersebelahan dengan tiga siswi sekolah menengah atas. Mereka saling berhadapan tetapi tak sering membuka percakapan.
"Begitulah kalau intenet sudah bisa diakses lewat handphone. Sibuk sendiri-sendiri," kata Hanafi berbisik pelan menyindir kelakuan para ABG itu.
Tatapan mereka melahap habis layar ponsel yang berlatar tampilan merah. Karakter itu milik media sosial bernama Path. Keinginan untuk berinteraksi hanya sesekali, selebihnya bergosip ria lewat jari-jari mengomentari status atau gambar yang diunggah kolega mayanya.
Sekitar tahun 2003, jejaring sosial seperti Friendster, Live Connector dan Myspace mulai mengunjungi anak-anak muda. Jika komputer rumah belum tersambung layanan internet, mereka harus mengantongi uang setidaknya Rp 3.000 untuk singgah di warung internet (warnet).
Ada batasan waktu berselancar secara virtual. Pun aktivitasnya hanya sekadar berbalas pesan atau chatting dengan sejumlah avatar manusia. Entah siapa dan berada di mana mereka. Ada istilah kopi darat, sebab tatap muka sangat ditunggu-tunggu bila muncul kesan pertama.
Dulu, jarang sekali orang percaya dengan mahluk penghuni dunia maya. Setelah membayar tiga lembar uang seribuan, maka semua rutinitas kembali seperti semula. Minim sekali pengaruhnya hingga mengkristalkan opini seseorang lantaran topik pembicaraan udara barusan.
"Sekarang berbeda. Orang-orang terlalu sering keluar masuk jejaring sosial. Jadi, informasi di dalamnya seolah real. Kayak lagi diskusi, lalu ada pesan yang dibawa pulang," ujar pembela Jokowi-JK ini di jejaring Path.
Benarkah seperti itu? Pengamat teknologi dan komunikasi Universitas Indonesia Dr Irwansyah mengatakan, internet memang berkembang. Bukan soal kecanggihan sistem global tersebut, tetapi perangkatnya, gadget. Ketergantungan kaum urban terhadap teknologi ini tinggi.
Dengan gadget di genggaman, mereka dapat mengalihkan bilik publik dari analog ke digital. Tak ada batasan ruang dan waktu di dalamnya. Informasi pun dapat diakses bebas. "Muncullah topik tertentu yang dapat digosipkan. Media sosial jadi saranannya," kata Irwansyah.
Pengguna jejaring sosial selalu ingin tahu siapa figur yang kerap kali jadi topik perbincangan di sana. Jokowi salah satunya. Tim media kampanye Presiden RI ini mampu menginformasikan kandidatnya dengan apik. Tren di mata publik sebagai pejabat prorakyat.
Pencitraan atau bukan, tetapi konsep blusukan menjadi nilai positif capres ini di mata netizen. Kelompok penyebar informasi membentuk sosok Jokowi berbeda. Mereka tak membawa atribut partai di sini. Mereka tahu, persepsi masyarakat negatif terhadap politik.
"Teknologi adalah alat kebebasan. Ketika orang pakai teknologi, itu tidak ada lagi batasan. Jadi, jangan cerita parpol dalam mengemas Jokowi," ungkap pria kelahiran Medan ini
Berbeda dengan Prabowo. Bila gagasan dari tim media Jokowi ini memunculkan basis relawan, kubu kandidat nomor urut satu ini justru menyemarakkan dukungan terstruktur. Makanya, asumsi netizen terhadap Prabowo hanya sekadar mencari kebenaran dan sanggahan sejarah.
"Sayangnya, Prabowo itu terikat persoalan masa lalu yang dinilai kelam," tutur Sarjana FISIP Universitas Sumatera Utara ini.
Irwansyah menyanggah kalau tim media sosial Jokowi-JK bergerak sporadis. Mereka sudah punya bekal menggiring relawan. Cukup menyediakan konten dan bank data terkait pasangan calon ini, para admin memberikan ruang gerak bebas kepada para relawan.
Internet itu, kata dia, kolegial. Ada sistem desentralisasi sehingga para pengguna jejaring ini bebas berekspresi, hanya saja tak melenceng dari pakemnya, yakni posting postif. Kurang tepat kalau tim Prabowo bergerak dengan struktur masif. Gagasan semacam itu tak sejalan dengan teknologi. "Kalau bergerak seperti ini, efeknya kurang dominan di dunia maya," menurut Irwansyah.
Ada empat kelompok yang ia nilai sebagai pemegang peranan kemenangan Jokowi-JK. Pertama adalah relawan. Mereka orang-orang tanpa pamrih. Tujuannya hanya bersuara mencari perubahan, jangan sampai kosmos dari rezim lama menjabat kembali di pemerintahan.
Kedua, tipikal individu atau gabungan yang berorientasi kepada bisnis belaka. Mereka membuat sistem guna membentuk opini publik. Dengan begitu, kandidat tersebut menyewa jasa atau membeli server yang mereka ciptakan itu sebagai alat pemenangan.
Ketiga adalah tim sukses yang bergerak di dunia maya. Entah kreasi robot atau dikelola manusia, namun ada ide dan konten tersebarluaskan.
Keempat adalah tim penggiring isu. Mereka membuat sebuah media online baru sebagai acuan pemberitaan. "Media sosial dan media konvensional peranannya saling mendukung," ujar konsultan komunikasi pemerintah ini.
Meski perbincangan internet hanya marak diramaikan kaum urban, bukan berarti penduduk desa termarginalkan informasi. Isu jejaring sosial juga dimanfaatkan untuk berbagi pesan melalui SMS atau broadcast message ke golongan pinggiran.
Sekarang jelas terbukti kalau media sosial adalah sarana penunjang demokrasi. Pun di berbagai negara, fasilitas ini sukses menyokong proses pembangunan pemerintahan. Salahnya, Jokowi tak mampu merawat jejaring nirkabal ini secara serius. Popularitas dia mulai terancam tenggelam.
"Iya, Jokowi tampaknya tak punya akun yang ia kelola sendiri. Sekarang netizen banyak kecewa," kata dia.
Menurut Irwansyah, Presiden Jokowi sekarang harusnya bisa menjalin komunikasi dengan para pendukungnya secara virtual. Berbagai kebijakan tak harus diumumkan satu arah. Sebagai kandidat yang dulu dipercaya membawa perubahan, ia perlu menjabarkan, seperti apa keinginannya.
"Ajak saja publik diskusi. Misalnya, program Kartu Indonesia Sehat kurang apa? Daerah mana belum mendapat terjangkau, saya mohon laporannya," ujar dia memberikan contoh kicauan Jokowi sebaiknya lewat jejaring sosial.
Sebab, jika Jokowi benar-benar mendapat dukung publik, khususnya media sosial, harusnya ia tetap popular. Hal yang terjadi sekarang justru banyak netizen berkeluh kesah dengan cara kepala negara ini memimpin bangsa. Seolah ia menang karena tim di belakangnya.
Berita di koran, televisi, radio, atau news online tentu akan diramu saat memasuki ranah virtual. Sebagai orang yang ternama di kelompok jejaring internet. Jokowi harusnya memberikan informasi kepada mantan relawan, seperti apa kerja dia sekarang. "Publik tak selalu ingin tahu hasil, namun seperti apa proses pencapaiannya," ungkap Irwansyah.
Koordinator Jasmev, Dyah Kartika Rini Djoemadi, mengaku telah menjauh dari Jokowi setelah kemenangan. Ia tak ingin masuk dalam struktur pemerintahan. Alasannya, supaya bisa memberikan kritik kepada presiden RI jika ada yang menyimpang.
Inisiator Political Wave, Yose Rizal, pun kembali bekerja di kantornya daerah Cassablanca. Sebagai profesional, ia memantau lagi produk-produk dari sebuah brand untuk dipasarkan. Pun Adryan Fitria yang mengaku dikontrak atas jasa kampanyenya kemarin itu.
Bahkan, relawan lepas seperti Hanafi yang menemani saya di kedai kopi ini hanya menjadi stalker di Path atau Kaskus. Sesekali, ia menggeleng kepala atau membatin sendiri saat membaca pemberitaan tentang Jokowi. Sudah turun tensinya untuk berkomentar lagi di jejaring sosial.
"Sekarang ketawa-ketawa aja kalau liat opini netizen di medsos soal Jokowi," ujarnya cengengesan.
sumber : republika
Dikutip dari: http://adf.ly/10XkUX


