JAKARTA — Kebebasan pers di Indonesia merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Kebebasan pers ini telah dimanfaatkan media untuk mengawal demokratisasi di Indonesia. Media berperan dalam mengungkap penyakit masyarakat, seperti korupsi dan pelanggaran hukum.
"Kondisi ini membuat saya optimistis demokrasi bisa lebih terkonsolidasi dan masa depan Indonesia lebih baik," kata Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, Minggu (8/2).
Namun, Azyumardi mengingatkan adanya kecenderungan media yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan pemiliknya. Jika dibiarkan, ini berbahaya karena media yang seharusnya berpihak pada kepentingan publik justru berpihak pada kepentingan politik pemiliknya semata.
Oleh karena itu, pemilik media harus bisa menahan diri menggunakan medianya untuk kepentingan dirinya sendiri, terutama para pemilik media elektronik yang menggunakan frekuensi publik. "Komisi Penyiaran Indonesia harus lebih tegas menindak penyalahgunaan frekuensi publik. Pemerintah juga harus memperkuat regulasi supaya frekuensi publik itu tidak disalahgunakan oleh pemilik media," kata Azyumardi.
"Kondisi ini membuat saya optimistis demokrasi bisa lebih terkonsolidasi dan masa depan Indonesia lebih baik," kata Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, Minggu (8/2).
Namun, Azyumardi mengingatkan adanya kecenderungan media yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan pemiliknya. Jika dibiarkan, ini berbahaya karena media yang seharusnya berpihak pada kepentingan publik justru berpihak pada kepentingan politik pemiliknya semata.
Oleh karena itu, pemilik media harus bisa menahan diri menggunakan medianya untuk kepentingan dirinya sendiri, terutama para pemilik media elektronik yang menggunakan frekuensi publik. "Komisi Penyiaran Indonesia harus lebih tegas menindak penyalahgunaan frekuensi publik. Pemerintah juga harus memperkuat regulasi supaya frekuensi publik itu tidak disalahgunakan oleh pemilik media," kata Azyumardi.
Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki juga berharap pers Indonesia tetap bisa menempatkan diri sebagai kekuatan demokrasi yang keempat. Oleh karena itu, posisi media harus jelas dan terpisah dari pemilik modal yang memegang kekuasaan politik, baik eksekutif maupun legislatif.
Bergeser
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menuturkan, teori demokrasi pada abad ke-21 sudah berbeda atau bergeser dari teori sebelumnya. Pada abad ke-20, teori demokrasi mengenal Trias Politica—eksekutif, yudikatif, dan legislatif—plus satu pilar lainnya, yaitu media.
Saat ini, eksekutif, yudikatif, dan legislatif masuk di satu cabang kekuasaan yang bernama negara. Tiga cabang kekuasaan lainnya, menurut Jimly, adalah pemodal, masyarakat sipil, dan media.
Saat ini, lanjut Jimly, ada kecenderungan empat cabang kekuasaan akan bertumpuk di satu tangan. "Ini sangat membahayakan. Harus ada usaha untuk mencegah penumpukan kekuasaan di satu tangan. Misalnya, pengusaha besar menguasai industri media, lalu dia membuat partai dan kemudian jadi presiden. Itu sangat mungkin terjadi, trennya sudah begitu, hanya sekarang belum berhasil. Namun, ini tidak bisa dibiarkan. Bayangkan, presiden memegang empat cabang kekuasaan. Ini bukan demokrasi lagi," ujar Jimly.
Oleh karena itu, Jimly menyarankan perlunya sebuah kebijakan untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia mengusulkan perlunya undang-undang tentang larangan konflik kepentingan.
Sumber : kompas
Kalau media dijadiin tempat buat menebar fitnah, masyarakat jadi objek kebohongan publik dong, nanti suatu saat akhirnya berita tidak lagi diminati, mending nntn ganteng-ganteng srigala,hehe
Dikutip dari: http://adf.ly/10Sm4g


