Pelaksanaan Nyepi tanggal 31 Maret 2014 (Saka 1936) ini berlangsung di tengah �gemuruh politik� Indonesia dalam pesta demokrasi menjelang Pemilu Legislatif 9 April dan pemilu presiden pada Juli mendatang. Untuk menghormati umat Hindu menjalankan ibadah penyepiannya, di Bali tidak akan dilakukan kampanye terbuka pada hari-hari melasti (prosesi ke laut dan sumber-sumber mata air), tawur ka sanga, nyepi, dan ngembak geni selama lima hari.
Pergantian tahun Saka, yang dimulai pada 78 Masehi, sejak awal mengusung pesan kebudayaan untuk meredakan nafsu perang antarsuku di Asia Selatan, menggantinya dengan pesan-pesan perdamaian. Suku Saka yang mengawali pesan perdamaian itu merupakan suku pengembara yang sangat tangguh sehingga suku-suku lain segera ikut menyambutnya.
Ternyata dari rahim perdamaian itu lahir toleransi serta karya sastra, filsafat, dan ilmu pengetahuan yang dikagumi sampai kini. Seperti, misalnya, Nagarjuna dengan doktrin Buddha Mahayana-nya, penyair Raja Sekhara dengan kitab Kavyamimamsanya, dan Mathara dengan pemikiran strategi politik.
Timbul pertanyaan, bisakah keheningan menyapa hiruk-pikuk kepentingan nafsu manusia? Atau sebaliknya, hiruk-pikuk nafsu manusia membelai keheningan batinnya sendiri? Prof Arysio Santos (2010) menyatakan, Indonesia pernah menjadi kekaisaran dunia, sumber segala peradaban besar seperti dikisahkan zaman Atlantis. Bisakah ini membuat kita bersyukur sambil menundukkan kepala memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Esa? Beberapa kali kemudian bangsa ini telah menunjukkan lagi kehebatannya. Sriwijaya pada sekitar abad ke-7, menyusul Majapahit pada sekitar abad ke-14. Tidak mustahil Indonesia akan berjaya kembali pada abad ke-21 ini.
Pengelolaan kekayaan alam memang menjadi masalah besar bangsa kita selama ini. Kebijakan kuno di Bali memandang alam sebagai cerminan wajah Tuhan. Dalam filosofi Tri Hita Karana, dikaitkan hubungan harmonis antara manusia dan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Itulah penyebab timbulnya kebahagiaan.Ketika alam dieksploitasi hanya sebagai obyek, pada saat yang sama manusia telah merendahkan derajatnya sendiri, serta mengingkari kekuasaan Tuhan. Ketidakseimbangan yang terjadi pada akhirnya akan memusnahkan manusia sendiri.
Tentulah berkali-kali kita sebagai bangsa pernah tersandung, jatuh, dan sakit sejak kemerdekaan sampai sekarang. Namun, kita selalu bangkit. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang dikisahkan pernah menjadi pusat peradaban dunia, sudah seharusnya pula kita bisa menghargai para pemimpin kita, mulai Bung Karno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini. Apa pun kelebihan dan kekurangan mereka, mereka tetap merupakan pemimpin bangsa yang pernah kita miliki. Tan hana wwang hayu sinulus, tidak ada manusia yang sempurna.
Justru dengan kesadaran tidak ada manusia yang sempurna itulah pula pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 ini menjadi semakin penting. Lebih dari tahun-tahun sebelumnya, tahun 2015 ke depan akan menjadi tahun-tahun dengan tantangan semakin berat bagi bangsa-bangsa di dunia.
Hari raya Nyepi mungkin bisa jadi salah satu momentum untuk merenunginya. Namun, dalam wacana pesan-pesan politik yang semakin riuh, kita pun perlu lebih sering lagi tenggelam dalam �nyepi-nyepi� yang lain agar selalu mendapat bimbingan Tuhan.
Pergantian tahun Saka, yang dimulai pada 78 Masehi, sejak awal mengusung pesan kebudayaan untuk meredakan nafsu perang antarsuku di Asia Selatan, menggantinya dengan pesan-pesan perdamaian. Suku Saka yang mengawali pesan perdamaian itu merupakan suku pengembara yang sangat tangguh sehingga suku-suku lain segera ikut menyambutnya.
Ternyata dari rahim perdamaian itu lahir toleransi serta karya sastra, filsafat, dan ilmu pengetahuan yang dikagumi sampai kini. Seperti, misalnya, Nagarjuna dengan doktrin Buddha Mahayana-nya, penyair Raja Sekhara dengan kitab Kavyamimamsanya, dan Mathara dengan pemikiran strategi politik.
Timbul pertanyaan, bisakah keheningan menyapa hiruk-pikuk kepentingan nafsu manusia? Atau sebaliknya, hiruk-pikuk nafsu manusia membelai keheningan batinnya sendiri? Prof Arysio Santos (2010) menyatakan, Indonesia pernah menjadi kekaisaran dunia, sumber segala peradaban besar seperti dikisahkan zaman Atlantis. Bisakah ini membuat kita bersyukur sambil menundukkan kepala memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Esa? Beberapa kali kemudian bangsa ini telah menunjukkan lagi kehebatannya. Sriwijaya pada sekitar abad ke-7, menyusul Majapahit pada sekitar abad ke-14. Tidak mustahil Indonesia akan berjaya kembali pada abad ke-21 ini.
Pengelolaan kekayaan alam memang menjadi masalah besar bangsa kita selama ini. Kebijakan kuno di Bali memandang alam sebagai cerminan wajah Tuhan. Dalam filosofi Tri Hita Karana, dikaitkan hubungan harmonis antara manusia dan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Itulah penyebab timbulnya kebahagiaan.Ketika alam dieksploitasi hanya sebagai obyek, pada saat yang sama manusia telah merendahkan derajatnya sendiri, serta mengingkari kekuasaan Tuhan. Ketidakseimbangan yang terjadi pada akhirnya akan memusnahkan manusia sendiri.
Tentulah berkali-kali kita sebagai bangsa pernah tersandung, jatuh, dan sakit sejak kemerdekaan sampai sekarang. Namun, kita selalu bangkit. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang dikisahkan pernah menjadi pusat peradaban dunia, sudah seharusnya pula kita bisa menghargai para pemimpin kita, mulai Bung Karno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini. Apa pun kelebihan dan kekurangan mereka, mereka tetap merupakan pemimpin bangsa yang pernah kita miliki. Tan hana wwang hayu sinulus, tidak ada manusia yang sempurna.
Justru dengan kesadaran tidak ada manusia yang sempurna itulah pula pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 ini menjadi semakin penting. Lebih dari tahun-tahun sebelumnya, tahun 2015 ke depan akan menjadi tahun-tahun dengan tantangan semakin berat bagi bangsa-bangsa di dunia.
Hari raya Nyepi mungkin bisa jadi salah satu momentum untuk merenunginya. Namun, dalam wacana pesan-pesan politik yang semakin riuh, kita pun perlu lebih sering lagi tenggelam dalam �nyepi-nyepi� yang lain agar selalu mendapat bimbingan Tuhan.