Siapapun yang terpilih menjadi Ketua Umum DPP PG, yang utama dan pertama diperbaiki adalah manajemen politik dan kelembagaan PG, yang dirusak oleh sistem oligarki yang mementingkan diri dan kelompok sendiri.
Jadwal Musyawarah Nasional (Munas) ke-9 Partai Golkar (PG) memang belum jelas, saya perkirakan, Januari atau April 2015. Meski belum ada keputusan resmi, aura Munas PG sudah merebak usai Pemilu legislatif. Gonjang ganjing soal ini semakin mendinamisir suasana internal PG pasca Pemilu Presiden.
Munas pada 2015 sesuai rekomendasi Munas ke-8 tahun 2009 di Pekanbaru. Ini di luar kebiasaan konstitusional, Munas tidak tepat waktu. Makanya, Wakil Ketua Umum DPP PG HR.Agung Laksono (AL), tidak sependapat dengan Munas 2015 karena rekomendasi Munas bertentangan dengan keputusan Munas tentang AD/ART. AL ingin Munas tepat waktu, lima tahun sesuai AD/ART, seperti Munas-munas sebelumnya.
Setelah konflik meluas, AL kemudian menerima keputusan DPP PG melaksanakan Munas di 2015. Mungkin, ada jalan tengah. Ketua Tim Pemenangan AL sebagai Ketua Umum PG, Fahmi Idris, mengatakan, menerima pelaksanaan Munas pada 2015 adalah cara AL mempertahankan keutuhan dan soliditas PG.
"Kalau Agung bertahan dengan Munas 2014, akan ada lagi Munas pada 2015, yang sama-sama melahirkan kepengurusan. Akan ada kepengurusan kembar. Agung tidak ingin seperti itu. Golkar ini partai berpengalaman menyelesaikan masalah internalnya. Dalam sejarah, Golkar tidak pernah mengalami dualisme kepemimpinan. Agung menerima Munas pada 2015 hanya untuk menjaga keutuhan dan soliditas Golkar," kata Fahmi ketika memberi pembekalan di Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspinas) KOSGORO 1957 di Jakarta pada 13-15 September 2014.
Manajemen Politik
Dalam sebuah percakapan di perjalanan dari Bandara KNIA ke Perapat, beberapa bulan lalu, AL mengungkap jika menjabat Ketua Umum DPP PG, kepengurusan di bawah kepemimpinnya akan diisi 70 persen generasi usia 50 tahun ke bawah. "Mulai sekarang Golkar harus menyiapkan generasi baru untuk memimpin partai di masa depan," katanya.
Selain mengakomodasi generasi muda, ada tiga gagasan lain yang menarik dan penting bagi pengembangan manajemen politik PG, setidaknya untuk lima tahun ke depan. Pertama, AL tidak ingin rangkap jabatan, baik di dunia usaha maupun pemerintahan. Dia ingin total dan tidak "sambilan", seperti ketika Akbar Tanjung menjabat ketua umum, yang secara total mengurus PG. "Walaupun menjabat Ketua DPR, Akbar total mengurus Golkar, akhirnya menang di Pemilu 2004," katanya.
Kedua, merevitalisasi hubungan PG dengan TNI/Polri dan birokrasi. Walaupun revitalisasi hubungan ini tidak secara legal-institusional, namun PG akan mengakomodasi para pensiunan TNI/Polri dan PNS dalam struktur kepengurusan PG mulai dari DPP sampai tingkat desa dan kelurahan. "Hubungan kesejarahan Golkar dengan TNI/Polri dan birokrasi sempat terputus. Ketiga, membangun PG yang mandiri, dalam pengertian manajemen politik PG tidak bergantung pada orang per orang yang memiliki uang.
Faktor Agung Laksono
AL sukses menempatkan dirinya sebagai pemain utama dan faktor penting dalam sejarah PG di era reformasi, sejak Munaslub tahun 1998 hingga Munas ke-8 tahun 2009. Pertama, di Munaslub 1998, peran AL memenangkan Akbar Tanjung (AT) sebagai ketua umum, tentu tidak bisa dilupakan. Walaupun kalah suara dalam pemilihan ketua penyelenggara Munaslub, AL akhirnya terpilih sebagai pimpinan sidang Munaslub mewakili faksi BJ. Habibie-AT.
AL mencalonkan diri pada Munas 2004 di Bali. Namun, di detik-detik akhir, dia mendukung Jusuf Kalla, yang akhirnya terpilih sebagai ketua umum. Di Munas ke-8 di Pekanbaru, AL bersama AT mendukung Aburizal Bakrie. Ketiga orang ini, selalu disebut sebagai "Tripel A". Munas ke-8 memilih Aburizal Bakrie sebagai ketua umum, AT sebagai Ketua Dewan Pertimbangan dan AL sebagai Wakil Ketua Umum.
Kedua, jika pada tiga Munas sebelumnya AL hanya faktor penting di lingkaran pendukung calon ketua umum, maka jika di Munas mendatang AL menjadi faktor penting di antara para calon ketua umum lainnya. AL adalah orang pertama yang secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai calon ketua umum.
Ketiga, selain AT, karir politik AL lengkap di lingkungan PG maupun di legislatif dan eksekutif. AT tidak pernah memimpin Ormas pendiri dan didirikan, sedangkan AL menjabat Ketua Umum Kosgoro 1957 (organisasi pendiri Golkar) dan pernah menjabat Ketua Umum DPP AMPI (organisasi didirikan Golkar).
Keempat, konsep kepemimpinan dan manajemen politik sesuai kebutuhan PG saat ini dan masa depan yang tidak tergantung pada satu orang yang punya uang, dan merevitalisasi hubungan historis dengan TNI/Polri dan birokrasi.
Kelima, sebagai pemimpin Ormas pendiri, seperti halnya pemimpin SOKSI Ade Komaruddin dan pemimpin Ormas MKGR, Priyo Budisantoso, AL punya modal mengawal idiologi dan konstitusi partai, dua instrumen politik PG yang porakporanda selama 10 tahun terakhir.
Penutup
AL hanyalah satu dari beberapa kader yang menyatakan diri maju memperebutkan jabatan Ketua Umum PG. Ada Muhammad Hidayat, Airlangga Hartarto, Ade Komaruddin dan Priyo Budi Santoso. Dalam suatu diskusi di Medan, Akbar Tanjung mengatakan, Aburizal Bakrie juga akan maju mempertahankan jabatan ketua umum yang kini disandangnya.
Siapapun yang terpilih menjadi Ketua Umum DPP PG, yang utama dan pertama diperbaiki adalah manajemen politik dan kelembagaan PG, yang selama 10 tahun dirusak oleh sistem oligarki yang mementingkan diri dan kelompok sendiri. Manajemen politik dan kelembagaan yang tidak terukur, justru telah merusak tatanan ideal paling mendasar di PG, yakni ideologi (Pancasila dan Doktrin Karya Siaga Gatra Praja) dan konstitusi (AD/ART dan berbagai peraturan organisasi).
Maka, kesiapan untuk memimpin PG, harusnya diperkuat dengan kesiapan ideal (secara ideologis dan konstitusional). Kedudukan kader Ormas pendiri di PG, bukan hanya sebagai pelengkap bagi sumber rekrutmen kader dan punya daya dukung bagi pelaksanaan manajemen politik partai, tapi juga harus berfungsi sebagai pengawal ideologis dan konstitusional PG. Sebagai pimpinan Ormas Pendiri Golkar, AL punya kekuataan untuk mengawal aset dan potensi-potensi ideal yang dimiliki partai.
Oleh Riza Fakhrumi Tahir
Penulis adalah Mantan Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Sumatera Utara (1999 – 2012), Sekretaris PDK Kosgoro 1957 Provinsi Sumatera Utara (2010 – 2015).
Link: http://adf.ly/sOm5q
Jadwal Musyawarah Nasional (Munas) ke-9 Partai Golkar (PG) memang belum jelas, saya perkirakan, Januari atau April 2015. Meski belum ada keputusan resmi, aura Munas PG sudah merebak usai Pemilu legislatif. Gonjang ganjing soal ini semakin mendinamisir suasana internal PG pasca Pemilu Presiden.
Munas pada 2015 sesuai rekomendasi Munas ke-8 tahun 2009 di Pekanbaru. Ini di luar kebiasaan konstitusional, Munas tidak tepat waktu. Makanya, Wakil Ketua Umum DPP PG HR.Agung Laksono (AL), tidak sependapat dengan Munas 2015 karena rekomendasi Munas bertentangan dengan keputusan Munas tentang AD/ART. AL ingin Munas tepat waktu, lima tahun sesuai AD/ART, seperti Munas-munas sebelumnya.
Setelah konflik meluas, AL kemudian menerima keputusan DPP PG melaksanakan Munas di 2015. Mungkin, ada jalan tengah. Ketua Tim Pemenangan AL sebagai Ketua Umum PG, Fahmi Idris, mengatakan, menerima pelaksanaan Munas pada 2015 adalah cara AL mempertahankan keutuhan dan soliditas PG.
"Kalau Agung bertahan dengan Munas 2014, akan ada lagi Munas pada 2015, yang sama-sama melahirkan kepengurusan. Akan ada kepengurusan kembar. Agung tidak ingin seperti itu. Golkar ini partai berpengalaman menyelesaikan masalah internalnya. Dalam sejarah, Golkar tidak pernah mengalami dualisme kepemimpinan. Agung menerima Munas pada 2015 hanya untuk menjaga keutuhan dan soliditas Golkar," kata Fahmi ketika memberi pembekalan di Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspinas) KOSGORO 1957 di Jakarta pada 13-15 September 2014.
Manajemen Politik
Dalam sebuah percakapan di perjalanan dari Bandara KNIA ke Perapat, beberapa bulan lalu, AL mengungkap jika menjabat Ketua Umum DPP PG, kepengurusan di bawah kepemimpinnya akan diisi 70 persen generasi usia 50 tahun ke bawah. "Mulai sekarang Golkar harus menyiapkan generasi baru untuk memimpin partai di masa depan," katanya.
Selain mengakomodasi generasi muda, ada tiga gagasan lain yang menarik dan penting bagi pengembangan manajemen politik PG, setidaknya untuk lima tahun ke depan. Pertama, AL tidak ingin rangkap jabatan, baik di dunia usaha maupun pemerintahan. Dia ingin total dan tidak "sambilan", seperti ketika Akbar Tanjung menjabat ketua umum, yang secara total mengurus PG. "Walaupun menjabat Ketua DPR, Akbar total mengurus Golkar, akhirnya menang di Pemilu 2004," katanya.
Kedua, merevitalisasi hubungan PG dengan TNI/Polri dan birokrasi. Walaupun revitalisasi hubungan ini tidak secara legal-institusional, namun PG akan mengakomodasi para pensiunan TNI/Polri dan PNS dalam struktur kepengurusan PG mulai dari DPP sampai tingkat desa dan kelurahan. "Hubungan kesejarahan Golkar dengan TNI/Polri dan birokrasi sempat terputus. Ketiga, membangun PG yang mandiri, dalam pengertian manajemen politik PG tidak bergantung pada orang per orang yang memiliki uang.
Faktor Agung Laksono
AL sukses menempatkan dirinya sebagai pemain utama dan faktor penting dalam sejarah PG di era reformasi, sejak Munaslub tahun 1998 hingga Munas ke-8 tahun 2009. Pertama, di Munaslub 1998, peran AL memenangkan Akbar Tanjung (AT) sebagai ketua umum, tentu tidak bisa dilupakan. Walaupun kalah suara dalam pemilihan ketua penyelenggara Munaslub, AL akhirnya terpilih sebagai pimpinan sidang Munaslub mewakili faksi BJ. Habibie-AT.
AL mencalonkan diri pada Munas 2004 di Bali. Namun, di detik-detik akhir, dia mendukung Jusuf Kalla, yang akhirnya terpilih sebagai ketua umum. Di Munas ke-8 di Pekanbaru, AL bersama AT mendukung Aburizal Bakrie. Ketiga orang ini, selalu disebut sebagai "Tripel A". Munas ke-8 memilih Aburizal Bakrie sebagai ketua umum, AT sebagai Ketua Dewan Pertimbangan dan AL sebagai Wakil Ketua Umum.
Kedua, jika pada tiga Munas sebelumnya AL hanya faktor penting di lingkaran pendukung calon ketua umum, maka jika di Munas mendatang AL menjadi faktor penting di antara para calon ketua umum lainnya. AL adalah orang pertama yang secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai calon ketua umum.
Ketiga, selain AT, karir politik AL lengkap di lingkungan PG maupun di legislatif dan eksekutif. AT tidak pernah memimpin Ormas pendiri dan didirikan, sedangkan AL menjabat Ketua Umum Kosgoro 1957 (organisasi pendiri Golkar) dan pernah menjabat Ketua Umum DPP AMPI (organisasi didirikan Golkar).
Keempat, konsep kepemimpinan dan manajemen politik sesuai kebutuhan PG saat ini dan masa depan yang tidak tergantung pada satu orang yang punya uang, dan merevitalisasi hubungan historis dengan TNI/Polri dan birokrasi.
Kelima, sebagai pemimpin Ormas pendiri, seperti halnya pemimpin SOKSI Ade Komaruddin dan pemimpin Ormas MKGR, Priyo Budisantoso, AL punya modal mengawal idiologi dan konstitusi partai, dua instrumen politik PG yang porakporanda selama 10 tahun terakhir.
Penutup
AL hanyalah satu dari beberapa kader yang menyatakan diri maju memperebutkan jabatan Ketua Umum PG. Ada Muhammad Hidayat, Airlangga Hartarto, Ade Komaruddin dan Priyo Budi Santoso. Dalam suatu diskusi di Medan, Akbar Tanjung mengatakan, Aburizal Bakrie juga akan maju mempertahankan jabatan ketua umum yang kini disandangnya.
Siapapun yang terpilih menjadi Ketua Umum DPP PG, yang utama dan pertama diperbaiki adalah manajemen politik dan kelembagaan PG, yang selama 10 tahun dirusak oleh sistem oligarki yang mementingkan diri dan kelompok sendiri. Manajemen politik dan kelembagaan yang tidak terukur, justru telah merusak tatanan ideal paling mendasar di PG, yakni ideologi (Pancasila dan Doktrin Karya Siaga Gatra Praja) dan konstitusi (AD/ART dan berbagai peraturan organisasi).
Maka, kesiapan untuk memimpin PG, harusnya diperkuat dengan kesiapan ideal (secara ideologis dan konstitusional). Kedudukan kader Ormas pendiri di PG, bukan hanya sebagai pelengkap bagi sumber rekrutmen kader dan punya daya dukung bagi pelaksanaan manajemen politik partai, tapi juga harus berfungsi sebagai pengawal ideologis dan konstitusional PG. Sebagai pimpinan Ormas Pendiri Golkar, AL punya kekuataan untuk mengawal aset dan potensi-potensi ideal yang dimiliki partai.
Oleh Riza Fakhrumi Tahir
Penulis adalah Mantan Wakil Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Sumatera Utara (1999 – 2012), Sekretaris PDK Kosgoro 1957 Provinsi Sumatera Utara (2010 – 2015).
Link: http://adf.ly/sOm5q