Partai Islam di Yogya Tolak Sultan Perempuan
Partai berbasis Islam di Yogyakarta cenderung menolak gagasan Sultan Keraton Yogyakarta boleh perempuan. "Dalam sejarahnya, dari Hamengku Buwono I sampai X, semuanya laki-laki," kata Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD DIY Arief Budiono, Kamis 12 Februari 2015.
Arief mengatakan Kasultanan Yogyakarta adalah kerajaan Islam di Jawa. Islam memang tak membatasi seorang perempuan untuk menjadi pemimpin. Namun dalam sejarah kasultanan, tak satu pun sultan berasal dari seorang perempuan. Dan kini, tradisi itu dikukuhkan oleh aturan perundang-undangan. "Kami ingin menguatkan undang-undang," katanya.
DPRD DIY sedang merumuskan peraturan daerah istimewa tentang pengisian jabatan gubernur dan wakilnya. Sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY, gubernur adalah sultan yang bertahta. Adapun wakilnya, diisi oleh Adipati Pakualaman.
Undang-undang itu mengisyaratkan gubernur dan wakilnya adalah seorang laki-laki. Isyarat itu tertuang dalam pasal 18 ayat 1 yang mengatur tentang persyaratannya. Pada huruf m di ayat itu menyebutkan calon gubernur dan wakil gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Tanpa pencantuman kata "riwayat suami", aturan itu dinilai mengamanatkan kepala daerah harus laki-laki. "Kami lebih pada yang sesuai dengan ketetapan undang-undang," kata Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional Sutata.
Anggota DPRD DIY asal Partai Persatuan Pembangunan Edy Susila mengatakan persoalan siapa sultan yang bertahta itu tak bisa dilepaskan dari faktor sejarah keraton. "Model kasultanan selama ini sultannya laki-laki," katanya.
Dia berharap, pihak internal keraton tak mendistorsi sejarahnya sendiri. "Martabat keraton akan terjaga kalau keraton menjaga sejarahnya sendiri," katanya.
Gagasan tentang sultan boleh perempuan mencuat karena Sultan Hamengku Buwono X tak punya anak lelaki, melainkan punya lima anak perempuan dari permaisuri Kanjeng Ratu Hemas. Dia tak bisa mewariskan tahtanya kepada anaknya. Penghageng Tepas Dwarapura (pejabat penerangan Keraton Yogya) Keraton Kasultanan Yogyakarta Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat mengatakan, keharusan Sultan adalah laki-laki merupakan paugeran yang sudah baku. "Paugeran baku itu, menurut saya ya sultan itu harus laki-laki," kata Romo Tirun, panggilan akrab Jatiningrat.
SUMBER
Link: http://adf.ly/11Rwzv
Partai berbasis Islam di Yogyakarta cenderung menolak gagasan Sultan Keraton Yogyakarta boleh perempuan. "Dalam sejarahnya, dari Hamengku Buwono I sampai X, semuanya laki-laki," kata Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD DIY Arief Budiono, Kamis 12 Februari 2015.
Arief mengatakan Kasultanan Yogyakarta adalah kerajaan Islam di Jawa. Islam memang tak membatasi seorang perempuan untuk menjadi pemimpin. Namun dalam sejarah kasultanan, tak satu pun sultan berasal dari seorang perempuan. Dan kini, tradisi itu dikukuhkan oleh aturan perundang-undangan. "Kami ingin menguatkan undang-undang," katanya.
DPRD DIY sedang merumuskan peraturan daerah istimewa tentang pengisian jabatan gubernur dan wakilnya. Sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY, gubernur adalah sultan yang bertahta. Adapun wakilnya, diisi oleh Adipati Pakualaman.
Undang-undang itu mengisyaratkan gubernur dan wakilnya adalah seorang laki-laki. Isyarat itu tertuang dalam pasal 18 ayat 1 yang mengatur tentang persyaratannya. Pada huruf m di ayat itu menyebutkan calon gubernur dan wakil gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Tanpa pencantuman kata "riwayat suami", aturan itu dinilai mengamanatkan kepala daerah harus laki-laki. "Kami lebih pada yang sesuai dengan ketetapan undang-undang," kata Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional Sutata.
Anggota DPRD DIY asal Partai Persatuan Pembangunan Edy Susila mengatakan persoalan siapa sultan yang bertahta itu tak bisa dilepaskan dari faktor sejarah keraton. "Model kasultanan selama ini sultannya laki-laki," katanya.
Dia berharap, pihak internal keraton tak mendistorsi sejarahnya sendiri. "Martabat keraton akan terjaga kalau keraton menjaga sejarahnya sendiri," katanya.
Gagasan tentang sultan boleh perempuan mencuat karena Sultan Hamengku Buwono X tak punya anak lelaki, melainkan punya lima anak perempuan dari permaisuri Kanjeng Ratu Hemas. Dia tak bisa mewariskan tahtanya kepada anaknya. Penghageng Tepas Dwarapura (pejabat penerangan Keraton Yogya) Keraton Kasultanan Yogyakarta Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat mengatakan, keharusan Sultan adalah laki-laki merupakan paugeran yang sudah baku. "Paugeran baku itu, menurut saya ya sultan itu harus laki-laki," kata Romo Tirun, panggilan akrab Jatiningrat.
SUMBER
Link: http://adf.ly/11Rwzv