Kartu Tenaga Kerja Luar Negri (KTKLN), hingga saat ini masih menjadi salah satu persoalan bagi buruh migran. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) banyak menerima pengaduan terkait pelayanan KTKLN, dari lemahnya sosialisasi, kurang jelasnya prosedur, maraknya percaloan, lemahnya koordinasi antar lembaga publik terkait, hingga informasi sesat dan intimidasi yang dilakukan lembaga publik pada TKI.
UU 39 Tahun 2004 Pasal 62 ayat satu tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri memang mengamanatkan keharusan buruh migran untuk memiliki KTKLN yang diterbitkan oleh pemerintah, namun kebijakan ini tampaknya butuh dikaji ulang dalam pembahasan revisi UU 39/2004 di DPR-RI. Mengapa?, karena fungsi kebijakan KTKLN masih tumpang tindih dan rentan melahirkan pemerasan pada TKI. Jika KTKLN dimaksud sebagai penunjuk identitas, bukankah TKI sudah memiliki paspor dan visa kerja yang jelas diakui dunia Internasional. Jika KTKLN dimaksud sebagai penunjuk asuransi TKI, bukankah TKI yang diasuransikan telah memegang kartu peserta asuransi. Lebih luas lagi, jika KTKLN dianggap sebagai sebuah skema perlindungan TKI, mengapa masih banyak TKI yang memegang KTKLN tidak terjamin perlindungannya di luar negeri. Demikianlah sederet pertanyaan atas hadirnya kebijakan KTKLN bagi TKI.
Secara mendasar, ada 3 pihak yang saling terhubung dalam proses migrasi TKI, pemerintah, warga negara, dan pelaku pasar (swasta). Setiap pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing sesuai ketentuan perangkat hukum yang berlaku. Ilustrasinya setiap warga negara wajib bayar pajak, maka pemerintah selaku penyelenggara negara, wajib memenuhi kebutuhan warga negara dari pajak yang dikelolanya. Pemenuhan kebutuhan warga negara oleh pemerintah selaku penyelenggara negara disebut sebagai pelayanan.
Analogi di atas seharusnya berlaku juga pada kebijkan KTKLN, karena KTKLN adalah sebuah produk pelayanan. Sebagai pelayanan, KTKLN wajib memenuhi standardisasi yang diatur dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menetapkan azas pelayanan publik yang harus ditaati, antara lain:
Kepentingan umum, yaitu; pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Kepastian hukum, yaitu; jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.
Kesamaan hak, yaitu; pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu; pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.
Keprofesionalan, yaitu pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
Partisipatif, yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
Keterbukaan, yaitu setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
Akuntabilitas, yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.
Ketepatan waktu, yaitu penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.
Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.
Selanjutnya pasal 31 UU 25 Tahun 2009 mengatur tentang ketentuan tarif atau biaya pelayanan. Jika pelayanan publik itu dikenakan biaya maka besaran biaya tersebut harus ditetapkan berdasarkan persetujuan DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kembali pada persoalan KTKLN sebagai produk pelayanan publik (TKI), fakta di lapangan menunjukkan mayoritas calon TKI atau TKI cuti tidak tahu prosedur mengurus KTKLN. Minimnya informasi membuat praktik percaloan semakin subur dan mengarah pada aksi pemerasan. TKI tidak tahu di mana membuat KTKLN, apa saja persyaratan KTKLN, fungsi KTKLN, dan prosedur penerbitan KTKLN. Di sisi lain, amat disayangkan BNP2TKI sebagai badan publik yang menerbitkan KTKLN, justru memberikan informasi sesat dan mengintimidasi TKI melalui banner KTKLN di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta.
Informasi yang disebutkan dalam banner, jelas menyesatkan dan merugikan TKI, karena sanksi yang disebut atau dikutip BNP2TKI dari UU 39/2004 melalui banner tersebut subyek hukumnya bukan ditujukan kepada TKI, melainkan kepada lembaga penempatan atau PJTKI.
Lebih lanjut Pasal 40 dan 52 UU 25 Tahun 2009, memperbolehkan masyarakat untuk mengadukan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan KTKLN kepada Ombudsman, DPR-RI, DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota, bahkan mengajukan gugatan dan ganti rugi kepada pengadilan dalam hal terjadinya pelanggaran penyelenggaraan pelayanan publik, apabila penyelenggara pelayanan publik tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan dan tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Melihat fakta tentang kebijakan pelayanan publik di atas masyarakat mempunyai kesempatan untuk melakukan gugatan atas praktik-praktik pelanggaran penyelenggaraan penerbitan KTKLN atau mengajukan uji materiil pasal KTKLN melalui peninjauan kembali (judicial review) tentang kebijakan KTKLN kepada Mahkamah Konstitusi.
Sumber : www.buruhmigran.or.id
UU 39 Tahun 2004 Pasal 62 ayat satu tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri memang mengamanatkan keharusan buruh migran untuk memiliki KTKLN yang diterbitkan oleh pemerintah, namun kebijakan ini tampaknya butuh dikaji ulang dalam pembahasan revisi UU 39/2004 di DPR-RI. Mengapa?, karena fungsi kebijakan KTKLN masih tumpang tindih dan rentan melahirkan pemerasan pada TKI. Jika KTKLN dimaksud sebagai penunjuk identitas, bukankah TKI sudah memiliki paspor dan visa kerja yang jelas diakui dunia Internasional. Jika KTKLN dimaksud sebagai penunjuk asuransi TKI, bukankah TKI yang diasuransikan telah memegang kartu peserta asuransi. Lebih luas lagi, jika KTKLN dianggap sebagai sebuah skema perlindungan TKI, mengapa masih banyak TKI yang memegang KTKLN tidak terjamin perlindungannya di luar negeri. Demikianlah sederet pertanyaan atas hadirnya kebijakan KTKLN bagi TKI.
Secara mendasar, ada 3 pihak yang saling terhubung dalam proses migrasi TKI, pemerintah, warga negara, dan pelaku pasar (swasta). Setiap pihak memiliki hak dan kewajiban masing-masing sesuai ketentuan perangkat hukum yang berlaku. Ilustrasinya setiap warga negara wajib bayar pajak, maka pemerintah selaku penyelenggara negara, wajib memenuhi kebutuhan warga negara dari pajak yang dikelolanya. Pemenuhan kebutuhan warga negara oleh pemerintah selaku penyelenggara negara disebut sebagai pelayanan.
Analogi di atas seharusnya berlaku juga pada kebijkan KTKLN, karena KTKLN adalah sebuah produk pelayanan. Sebagai pelayanan, KTKLN wajib memenuhi standardisasi yang diatur dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menetapkan azas pelayanan publik yang harus ditaati, antara lain:
Kepentingan umum, yaitu; pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Kepastian hukum, yaitu; jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.
Kesamaan hak, yaitu; pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu; pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.
Keprofesionalan, yaitu pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
Partisipatif, yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
Keterbukaan, yaitu setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
Akuntabilitas, yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.
Ketepatan waktu, yaitu penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.
Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.
Selanjutnya pasal 31 UU 25 Tahun 2009 mengatur tentang ketentuan tarif atau biaya pelayanan. Jika pelayanan publik itu dikenakan biaya maka besaran biaya tersebut harus ditetapkan berdasarkan persetujuan DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kembali pada persoalan KTKLN sebagai produk pelayanan publik (TKI), fakta di lapangan menunjukkan mayoritas calon TKI atau TKI cuti tidak tahu prosedur mengurus KTKLN. Minimnya informasi membuat praktik percaloan semakin subur dan mengarah pada aksi pemerasan. TKI tidak tahu di mana membuat KTKLN, apa saja persyaratan KTKLN, fungsi KTKLN, dan prosedur penerbitan KTKLN. Di sisi lain, amat disayangkan BNP2TKI sebagai badan publik yang menerbitkan KTKLN, justru memberikan informasi sesat dan mengintimidasi TKI melalui banner KTKLN di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta.
Informasi yang disebutkan dalam banner, jelas menyesatkan dan merugikan TKI, karena sanksi yang disebut atau dikutip BNP2TKI dari UU 39/2004 melalui banner tersebut subyek hukumnya bukan ditujukan kepada TKI, melainkan kepada lembaga penempatan atau PJTKI.
Lebih lanjut Pasal 40 dan 52 UU 25 Tahun 2009, memperbolehkan masyarakat untuk mengadukan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan KTKLN kepada Ombudsman, DPR-RI, DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota, bahkan mengajukan gugatan dan ganti rugi kepada pengadilan dalam hal terjadinya pelanggaran penyelenggaraan pelayanan publik, apabila penyelenggara pelayanan publik tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan dan tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Melihat fakta tentang kebijakan pelayanan publik di atas masyarakat mempunyai kesempatan untuk melakukan gugatan atas praktik-praktik pelanggaran penyelenggaraan penerbitan KTKLN atau mengajukan uji materiil pasal KTKLN melalui peninjauan kembali (judicial review) tentang kebijakan KTKLN kepada Mahkamah Konstitusi.
Sumber : www.buruhmigran.or.id