Pada awal Desember mendatang, tepatnya 3-6 Desember 2013, Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pertemuan yang akan menghadirkan 159 negara itu akan berlangsung di Nusa Dua, Bali.
Pertemuan puncak di Bali akan menjadi arena pertempuran kepentingan nasional antara negara-negar maju berhadapan dengan negara-negara berkembang. Bagi negara maju, yang dibelakangnya berderet kepentingan korporasi multi-nasional, pertemuan Bali diharapkan melapangkan jalan bagi agenda perdagangan bebas dunia.
Akan tetapi, negara-negara maju kelihatannya harus bersiap-siap menelan pil pahit. Pasalnya, perundingan marathon perwakilan 159 negara anggota WTO di Jenewa, Swiss, yang berakhir tanggal 26 November lalu, sudah menemui �jalan buntu�. Salah satu isu yang menjadi pemicu kebuntuan negosiasi itu adalah soal penghapusan subsidi sektor pertanian.
Isu pertanian memang sudah lama menjadi pertengkaran antara negara-negara maju dengan negara berkembang. Negara maju menghendaki penghapusan subsidi pertanian sebagai jalan memasuki pasar pangan negara-negara dunia ketiga. Di sisi lain, banyak negara berkembang tidak mau begitu saja menerima tuntutan negara maju itu. Negara-negara berkembang yang dikomandoi oleh India, juga negara-negara Amerika Latin, bersikukuh mempertahankan subsidi bagi sektor pertaniannya.
Tuntutan negara berkembang itu bukan tanpa alasan. Mereka bertanggung-jawab untuk memberi makan rakyatnya. Di sisi lain, mereka menyadari bahwa penghapusan subsidi pertanian hanya akan membunuh sektor pertanian mereka. Maklum, sektor pertanian negara berkembang tidak akan sanggup bersaing dengan pertanian negara maju yang didukung oleh teknologi, skill/keahlian, dan modal.
Di sisi lain, negara maju tidak berlaku adil dalam soal penghapusan subsidi ini. Sampai sekarang ini negara-negara maju masih memberi subsidi besar-besaran bagi sektor pertaniannya. AS, misalnya, pada tahun 2010, menggelontorkan US$ 130 miliar (sekitar Rp 1.430 triliun) untuk pertaniannya. Sementara di Eropa, pada tahun 2009, subsidi sektor pertanian mencapai US$ 106 miliar.
Indonesia sendiri sudah menjadi korban dari skema pertanian ala WTO ini. Sejak mengikuti arahan IMF dan WTO, yang menuntut penghapusan subsidi sektor pertanian, sektor pertanian Indonesia mengalami kehancuran. Saat ini alokasi subsidi untuk sektor pertanian hanya Rp 41 Triliun. Tak hanya itu, atas desakan WTO, Indonesia juga dipaksa membuka pasar di sektor pertaniannya. Akibatnya, dalam satu dekade terakhir produsen pangan lokal tersingkir.
Kebijakan pertanian ala WTO itu membawa malapetaka. Pertama, produksi pangan nasional terus merosot. Bentuk usaha tani tidak lagi sanggup mensejahterakan petani. Akibatnya, banyak petani yang meninggalkan pekerjaannya. Yang paling ironis, 60% penerima program raski di seluruh Indonesia adalah petani. Kedua, Indonesia semakin bergantung pada impor. Hampir semua kebutuhan pangan Indonesia didapatkan melalui impor: impor impor gandum (100 persen), kedelai (78 persen), susu (72 persen), gula (54 persen), daging sapi, (18 persen), dan bawang putih (95 persen).
Singkat cerita, Indonesia sebetulnya adalah korban paling mengerikan dari agenda WTO. Namun ironisnya, tidak seperti India dan negara-negara Amerika Latin, Indonesia justru seolah-olah tidak sadar sebagai korban. Malahan, dalam konteks pertemuan puncak WTO di Bali mendatang, pemerintah Indonesia justru ingin tampil seolah-olah sebagai �penyambung lidah� negara-negara maju untuk memaksakan kesepakatan antar negara-negara anggota WTO. ��Indonesia menginginkan WTO di Bali sukses. Misi utama Indonesia adalah mengembalikan kepercayaan terhadap WTO, caranya gimana, harus ada hasilnya,� ungkap Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamukti di Gedung Kementrian Perdagangan, Rabu (6/11/2013). Artinya, Indonesia berupaya keras menyukseskan agenda WTO, yang sebetulnya sudah mandek sejak kegagalan Putaran Doha tahun 2001 lalu.
Inilah yang sebetulnya sangat ironis. Di saat masing-masing negara berjuang untuk kepentingan nasionalnya di forum WTO, pemerintah Indonesia justru seperti �hilang ingatan�. Pemerintah Indonesia terlihat sama sekali tidak ada itikad politik membela kepentingan puluhan juta petaninya yang menjadi korban agenda liberalisasi impor pangan dan penghapusan subsidi pertanian. Pemerintah Indonesia juga tidak peduli dengan nasib industri nasionalnya yang tergilas oleh liberalisasi perdagangan.
Indonesia sangat dirugikan oleh agenda WTO ini. Pertama, keanggotaan Indonesia di WTO menyebabkan indonesia kehilangan kedaulatan ekonominya. Agenda WTO menyebabkan Indonesia makin ketergantungan terhadap impor, investasi asing, dan utang luar negeri. Situasi itu menyebabkan kapasitas produksi nasional Indonesia merosot, sebagian besar kekayaan alamnya tergadai ke tangan perusahaan asing, terjerat utang luar negeri, dan lain-lain.
Kedua, keanggotaan Indonesia di WTO juga menyebabkan Indonesia tergerus kedaulatan politiknya. Banyak produk perundangan-undangan dan kebijakan politik pemerintah didiktekan oleh ketentuan WTO. Salah satunya adalah UU pangan yang merujuk pada kesepakatan WTO di bidang pertanian (AoA). Ironisnya lagi, demi melaksanakan agenda WTO, pemerintah Indonesia melabrak konstitusi negaranya sendiri (UUD 1945).
SUMBER
68 tahun merdeka tapi kita belum betul2 menguasai apa yang kita punya. jangankan belajar mengolah sumberdaya kita, menguasainya pun sulit
Pertemuan puncak di Bali akan menjadi arena pertempuran kepentingan nasional antara negara-negar maju berhadapan dengan negara-negara berkembang. Bagi negara maju, yang dibelakangnya berderet kepentingan korporasi multi-nasional, pertemuan Bali diharapkan melapangkan jalan bagi agenda perdagangan bebas dunia.
Akan tetapi, negara-negara maju kelihatannya harus bersiap-siap menelan pil pahit. Pasalnya, perundingan marathon perwakilan 159 negara anggota WTO di Jenewa, Swiss, yang berakhir tanggal 26 November lalu, sudah menemui �jalan buntu�. Salah satu isu yang menjadi pemicu kebuntuan negosiasi itu adalah soal penghapusan subsidi sektor pertanian.
Isu pertanian memang sudah lama menjadi pertengkaran antara negara-negara maju dengan negara berkembang. Negara maju menghendaki penghapusan subsidi pertanian sebagai jalan memasuki pasar pangan negara-negara dunia ketiga. Di sisi lain, banyak negara berkembang tidak mau begitu saja menerima tuntutan negara maju itu. Negara-negara berkembang yang dikomandoi oleh India, juga negara-negara Amerika Latin, bersikukuh mempertahankan subsidi bagi sektor pertaniannya.
Tuntutan negara berkembang itu bukan tanpa alasan. Mereka bertanggung-jawab untuk memberi makan rakyatnya. Di sisi lain, mereka menyadari bahwa penghapusan subsidi pertanian hanya akan membunuh sektor pertanian mereka. Maklum, sektor pertanian negara berkembang tidak akan sanggup bersaing dengan pertanian negara maju yang didukung oleh teknologi, skill/keahlian, dan modal.
Di sisi lain, negara maju tidak berlaku adil dalam soal penghapusan subsidi ini. Sampai sekarang ini negara-negara maju masih memberi subsidi besar-besaran bagi sektor pertaniannya. AS, misalnya, pada tahun 2010, menggelontorkan US$ 130 miliar (sekitar Rp 1.430 triliun) untuk pertaniannya. Sementara di Eropa, pada tahun 2009, subsidi sektor pertanian mencapai US$ 106 miliar.
Indonesia sendiri sudah menjadi korban dari skema pertanian ala WTO ini. Sejak mengikuti arahan IMF dan WTO, yang menuntut penghapusan subsidi sektor pertanian, sektor pertanian Indonesia mengalami kehancuran. Saat ini alokasi subsidi untuk sektor pertanian hanya Rp 41 Triliun. Tak hanya itu, atas desakan WTO, Indonesia juga dipaksa membuka pasar di sektor pertaniannya. Akibatnya, dalam satu dekade terakhir produsen pangan lokal tersingkir.
Kebijakan pertanian ala WTO itu membawa malapetaka. Pertama, produksi pangan nasional terus merosot. Bentuk usaha tani tidak lagi sanggup mensejahterakan petani. Akibatnya, banyak petani yang meninggalkan pekerjaannya. Yang paling ironis, 60% penerima program raski di seluruh Indonesia adalah petani. Kedua, Indonesia semakin bergantung pada impor. Hampir semua kebutuhan pangan Indonesia didapatkan melalui impor: impor impor gandum (100 persen), kedelai (78 persen), susu (72 persen), gula (54 persen), daging sapi, (18 persen), dan bawang putih (95 persen).
Singkat cerita, Indonesia sebetulnya adalah korban paling mengerikan dari agenda WTO. Namun ironisnya, tidak seperti India dan negara-negara Amerika Latin, Indonesia justru seolah-olah tidak sadar sebagai korban. Malahan, dalam konteks pertemuan puncak WTO di Bali mendatang, pemerintah Indonesia justru ingin tampil seolah-olah sebagai �penyambung lidah� negara-negara maju untuk memaksakan kesepakatan antar negara-negara anggota WTO. ��Indonesia menginginkan WTO di Bali sukses. Misi utama Indonesia adalah mengembalikan kepercayaan terhadap WTO, caranya gimana, harus ada hasilnya,� ungkap Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamukti di Gedung Kementrian Perdagangan, Rabu (6/11/2013). Artinya, Indonesia berupaya keras menyukseskan agenda WTO, yang sebetulnya sudah mandek sejak kegagalan Putaran Doha tahun 2001 lalu.
Inilah yang sebetulnya sangat ironis. Di saat masing-masing negara berjuang untuk kepentingan nasionalnya di forum WTO, pemerintah Indonesia justru seperti �hilang ingatan�. Pemerintah Indonesia terlihat sama sekali tidak ada itikad politik membela kepentingan puluhan juta petaninya yang menjadi korban agenda liberalisasi impor pangan dan penghapusan subsidi pertanian. Pemerintah Indonesia juga tidak peduli dengan nasib industri nasionalnya yang tergilas oleh liberalisasi perdagangan.
Indonesia sangat dirugikan oleh agenda WTO ini. Pertama, keanggotaan Indonesia di WTO menyebabkan indonesia kehilangan kedaulatan ekonominya. Agenda WTO menyebabkan Indonesia makin ketergantungan terhadap impor, investasi asing, dan utang luar negeri. Situasi itu menyebabkan kapasitas produksi nasional Indonesia merosot, sebagian besar kekayaan alamnya tergadai ke tangan perusahaan asing, terjerat utang luar negeri, dan lain-lain.
Kedua, keanggotaan Indonesia di WTO juga menyebabkan Indonesia tergerus kedaulatan politiknya. Banyak produk perundangan-undangan dan kebijakan politik pemerintah didiktekan oleh ketentuan WTO. Salah satunya adalah UU pangan yang merujuk pada kesepakatan WTO di bidang pertanian (AoA). Ironisnya lagi, demi melaksanakan agenda WTO, pemerintah Indonesia melabrak konstitusi negaranya sendiri (UUD 1945).
SUMBER
68 tahun merdeka tapi kita belum betul2 menguasai apa yang kita punya. jangankan belajar mengolah sumberdaya kita, menguasainya pun sulit