
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) masih menimbulkan polemik, apakah pilkada kembali ke DPRD (perwakilan rakyat) atau tetap dipilih secara langsung oleh rakyat seperti sekarang ini.
RUU ini rencananya akan disahkan pada September 2014 ini, dalam Paripurna DPR.
Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah mengevaluasi praktek Pilkada Langsung yang sudah berjalan 10 tahun yang ternyata lebih besar kemudharatannya.
Dalam twitnya, Aleg PKS dari NTB ini menyoroti setidaknya adala lima catatan negatif Pilkada Langsung:
1- BIAYA MAHAL RP. 51,865 TRILIUN #PilkadaLangsung
2- Banyak konflik Pasca pilkada. #PilkadaLangsung
(Di Papua dilaporkan 30 nyawa setahun korban #PilkadaLangsung)
3- Melemahkan partai politik sebagai pilar demokrasi. #PilkadaLangsung
4- Banyak bandar #PilkadaLangsung
5- MK jadi sibuk sengketa #PilkadaLangsung
sumber langit ketujuh
sementara di kesempatan terpisah :
"Kita semua ini memang punya kejahatan. Politisi itu memang jahat. Saya juga mohon maaf rupanya kita ini sudah jadi kendaraan dari para penjahat," kata Fahri di gedung DPR, Kamis (27/6/2013).
Namun menurut Fahri, para politikus bukannya bermaksud jahat dari awal, namun mereka kebingungan terkait pendanaan. Di saat kebingungan itu, terdapat suatu 'pertolongan'.
"Politisi ini bingung biaya kampanye tapi kita dibatasi oleh biaya keuangan. Dan teman-teman kreatif masuk ke daerah anggaran dan dibagikan ke teman-teman lain. Maka munculah KPK bilang bagi-bagi anggaran, ya memang benar," kata Fahri.

"Hanya ketaatan mem
Selain PKS, menurut Ray, dua partai lain di koalisi tersebut juga serupa adalah Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan. Salah satu buktinya adalah Kursi Gubernur Bengkul diperoleh kader PAN meski jumlah kursinya kecil. Ray menduga ketiga partai ini setuju terhadap RUU tanpa melakukan pengkajian mendalam.
PKS sendiri mengalaminya pada pemilihan Gubernur Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. PKS berhasil menaruh kadernya di posisi pimpinan meski jumlah kursinya di DPRD tak kuat. "Karena prestasinya, sehingga masyarakat memilihnya. Di daerah, orang tak melihat partai tapi figur," kata Ray.
Aktivis 1998, Ahmad Wakil Kamal menilai RUU Pilkada bertentangan secara konstitusi. RUU tersebut juga dinilai justru berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan umum serentak yang memungkinkan majunya calon independen. RUU justru mendistorsi perjuangan konstitusi pilkada.
"Kita diarahkan lagi ke titik nol, sama seperti saat Orde Baru," kata dia. RUU menjadi cerminan kelam masa lalu.
Koalisi Merah Putih dan Partai Demokrat dikabarkan berupaya untuk mengusai kursi parlemen dan kepala daerah. Koalisi yang digawangi Partai Gerindra ini mengajukan revisi terhadap UU MD3 dan UU Pilkada. Dengan mengandalkan kekuatan kursi di daerah, terutama di luar Pulau Jawa, koalisi mendorong pemilihan kepala daerah dilakukan secara tak langsung atau dipilih oleh DPRD.
Dikutip dari: http://adf.ly/rwD2e


