
Kamis, 11 September 2014
JAKARTA, POS RONDA
– Keputusan PT Pertamina untuk menaikkan harga gas elpiji tabung 12 kilogram sebesar Rp 18.000 per tabung mendapatkan reaksi dari berbagai pihak. Kenaikan harga disebabkan oleh biaya operasional yang semakin tinggi, serta untuk mengurangi kerugian lebih lanjut dari perusahaan minyak milik negara tersebut.
Pemerintah telah menyetujui langkah ini, namun kalangan pengusaha kecil dan rumah tangga umumnya mengeluh meski pasrah terhadap naiknya harga. Di pasaran, harga elpiji 12 kilogram bisa mencapai lebih dari Rp 120.000 per tabung, seperti yang terjadi di Yogyakarta sebagaimana dilansir liputan6.com (10/9).
Ekonom yang bekerja sebagai analis di Indonesian Reactionary Energy Institute (IREI), Agung Gansar Lespati, juga menyatakan bahwa dirinya memahami alasan kenaikan harga tabung elpiji 12 kilogram. Sebagai produk non-subsidi, memang sudah menjadi hak Pertamina untuk melakukan penyesuaian harganya. Hanya saja, dirinya menyayangkan hingga saat ini Pertamina masih belum menyediakan produk alternatif energi konsumsi murah yang dapat digunakan oleh para pengusaha kecil dan rumah tangga.
"Saya menyarankan mereka menjual kayu bakar dan batu pemantik api dengan label Pertamina. Pastinya harga akan lebih murah dibandingkan gas elpiji, bahkan yang subsidi sekalipun." ujar Agung saat dimintai pendapat oleh POS RONDA di sebuah kedai kopi di kawasan Kemang pagi ini (11/9).
Menurut Agung, Pertamina dan pemerintah tidak cukup baik dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi lokal Indonesia untuk dijadikan bahan bakar alternatif, terutama untuk kebutuhan rumah tangga dan pengusaha kecil. Padahal, batu dan kayu umumnya ada dan tersebar di depan mata para penduduk.
"Kita harus berani menggunakan apa yang menjadi kelebihan di negeri sendiri. Koes Plus pernah berkata, di negeri ini batu dan kayu jadi tanaman. Kita harus bisa ubah batu dan kayu jadi bahan bakar alternatif. Sedikit primitif is all right, yang penting dapur dan usaha tetap bisa ngebul." paparnya.
Agung menjelaskan lebih jauh bahwa dikarenakan jumlah batu dan kayu yang berlimpah, maka produk tersebut tidak akan membawa beban subsidi. Murah dan mudah didapat, penggunaan kembali kayu dan batu sebagai bahan bakar konsumsi rumah tangga akan mengurangi beban subsidi pemerintah yang biasanya diperuntukkan bagi tabung gas elpiji 3 kilogram.
Untuk memaksimalkan potensi penggunaan batu dan kayu sebagai bahan bakar, Agung menyarankan kepada pemerintah dan Pertamina untuk memaksimalkan fungsi instansi seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Melalui penelitian, akan akan dapat ditemukan sarana atau alat yang layak untuk menggunakan batu dan kayu secara optimal.
"Kita kan punya LIPI dan BPPT. Harusnya mereka dipakai dong, diajak kerjasama oleh Pertamina. Jangan disia-siakan. Saya yakin mereka pasti sudah punya rancangan alatnya. Masa sudah disekolahkan tinggi-tinggi lalu otak mereka tidak digunakan maksimal oleh pemerintah dan BUMN? Kerjasama dan koordinasi itu penting." tegas Agung.

Hingga artikel ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak pemerintah maupun Pertamina terkait usulan Agung. Meski demikian, wawancara acak terhadap beberapa warga masyarakat siang ini menunjukkan bahwa usulan tersebut mendapatkan respon positif.
Aminah (41), warga Kecamatan Cipayung, menyatakan bahwa dirinya sangat menyambut berbagai cara untuk dapat menghemat biaya bahan bakar. Ia mengaku cukup dipusingkan dengan naiknya harga tabung elpiji 12 kilogram mengingat ia juga menjalankan usaha warung nasi skala kecil.
" Sebenernya karena kita juga orang usaha, pastinya tambah berat. Memang naiknya di sana (Pertamina) nggak gede, tapi begitu sampai di agen kan pasti lebih mahal. Habis mau gimana lagi, emang kitanya butuh. Pakai kayu kita juga lumayan sering, tapi lebih praktis gas. Kalau ada cara supaya pake kayu bisa efektif, saya sih mau." keluhnya.
Sementara itu, Cahyono (33), yang merupakan penduduk di Kecamatan Pasar Minggu, memilih untuk tetap menggunakan elpiji meski harganya naik. Namun, ia menjelaskan bahwa sanak keluarganya di pedesaan di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta, masih banyak yang menggunakan kayu bakar.
"Kalau saya karena di kota lebih pilih elpiji. Tapi kalau Pertamina mau gunakan batu dan kayu bagus juga, apalagi kan sering distribusi elpiji ini terganggu pasokan atau apa lah. Untuk di tempat-tempat terpencil, saya rasa bagus untuk Pertamina menjangkau mereka dengan batu dan kayu sebagai bahan bakar." ujarnya. (Sha01)
Sumber:
POS RONDA - Indonesia's Political Infotainment
Disclaimer
===
Kayu bakar merek Pertamina? Kenapa tidak?

Dikutip dari: http://adf.ly/rxnkI


