Secara fisik, bangunannya terasa lebih lapang. Lantainya dibuat dari beton, namun tidak ada dinding alumunium yang mengelilingi halte. Sebagai gantinya, hanya ada pagar-pagar setinggi satu meter di sekeliling halte. Udara jadi tak terasa pengap meski tanpa kipas angin.
"Lebih enak sih, enggak gerah dan luas. Tapi gak tahu kalau hujan gimana," kata salah satu penumpang, Deti Mega, 25 tahun, yang ditemui Tempo di Halte Karet baru, Jumat, 6 Juni 2014.
Dia mengkhawatirkan penumpang yang menunggu bus akan kebasahan jika hujan deras apalagi ditambah angin kencang.
Penumpang lainnya bernama Hilda juga mengaku halte itu lebih mudah diakses. Soalnya jarak antara jembatan penyeberangan dengan halte tak terlalu jauh dan berbelok-belok.
"Harusnya dari dulu bikin halte begini, enggak perlu muter-muter," kata Hilda.
Direktur Utama PT MRT Jakarta, Dono Boestami mengatakan halte itu memang sengaja didesain lebih lapang dan terbuka.
"Sudah sejuk tanpa perlu pendingin udara, jadi hemat energi," katanya saat acara serah terima halte. Halte itu memang dibangun PT MRT Jakarta untuk menggantikan dua halte yang mesti ditutup lantaran terimbas proyek pembangunan mass rapid transit (MRT).
Halte Karet Baru itu menurut dia sengaja dibuat lebih luas agar bisa menampung penumpang dari dua halte lama. Panjang halte itu mencapai 45 meter dan lebar 5 meter. Ada enam pintu di setiap sisi kiri dan kanan halte. Dengan begitu dua bus bisa berhenti dalam waktu bersamaan.
Selain Halte Setiabudi dan Karet, halte Polda dan Bundaran Senayan juga harus digeser karena akan terkena galian stasiun MRT. Sementara itu, halte Sarinah dan Tosari juga akan diperluas agar bisa menampung penumpang dari halte Bundaran HI yang ditutup.
SUMBER
