SITUS BERITA TERBARU

Presiden Terlicik yang Pernah Dimiliki Indonesia

Saturday, September 27, 2014
Tulisan yg menarik
Sumber: http://indonesiahariinidalamkata.com...iki-indonesia/

Seharusnya kita, rakyat Indonesia pendukung pilkada langsung sadar bahwa ketika SBY melalui akun YouTube-nya, pada Minggu, 14 September 2014 menyatakan sikapnya bahwa dia (tentu saja otomatis Partai Demokrat) telah mengambil sikap untuk mempertahankan pilkada langsung, karena itulah yang sangat diinginkan rakyat, sesungguhnya dia sedang mengulangi taktiknya membohongi parpol-parpol pendukung pilkada langsung (PDIP cs), dan terutama kita, rakyat Indonesia. Parpol-parpol sebesar PDIP saja bisa diperdayai, apalagi rakyat biasa.

Taktik Lama SBY

Taktik yang sama sebetulnya pernah SBY lancarkan ketika menjelang Pilpres 2014, yaitu dalam beberapa pernyataannya yang memberi indikasi kuat bahwa pihaknya tidak bakal mendukung dan memilih Prabowo-Hatta. Hal itu tercermin antara lain dengan pernyataannya bahwa dia tidak akan memilih calon presiden yang berbahaya bagi bangsa dan negara. Meskipun tidak menyebutkan nama, jelas yang dimaksudnya adalah Prabowo Subianto. Karena ketika itu SBY menyampaikan pernyataannya itu disertai dengan sindirannya ada calon yang manifesto politik parpol-nya ingin UUD 1945 dikembalikan seperti sebelum amandemen, dan anti terhadap investor-investor asing yang dikatakan telah menguasai Republik ini. Hanya Gerindra-lah yang mempunyai manifesto politik sepert itu.

Di lain kesempatan SBY juga menyatakan bahwa Partai Demokrat memutuskan netral, artinya tidak berkoalisi dengan PDIP/Jokowi, maupun dengan Gerindra/Prabowo. Faktanya, para petinggi dan kader Demokrat dalam sikapnya berpihak kepada Gerindra/Prabowo, dan dibiarkan. Mungkin diam-diam diapun bersikap yang sama. Bahkan saat pencoblosan, mungkin SBY memilih Prabowo.

Mundur lagi ke belakang, putusnya hubungannya dengan Megawati, berawal dari ketidakjujuran SBY ketika ditanya Megawati yang waktu itu menjadi atasannya (Megawati presiden, SBY menteri), menjelang Pilpres 2004. Waktu itu lebih dari sekali Megawati meminta konfirmasi kepada SBY, apakah benar diaakan ikut mencalonkan diri sebagai presiden. SBY menjawabnya, tidak. Ternyata, diam-diam dia sedang menyusun strateginya untuk mencalonkan diri di Pilpres 2004, bersaing dan berhasil mengalahkan Megawati.

Ketika itu strategi yang dijalankan SBY adalah strategi mengambil hati rakyat Indonesia, yang dilakukan dengan menempatkan dirinya sebagai korban yang dizalimi Megawati. Mayoritas pemilih di Pilpres 2004 itu berhasail diperdayai, sehingga memilihnya, dan dia menang. Sejak itu SBY berkali-kali menggunakan strategi sebagai "korban yang zalimi", sasaran teroris, dan lain-lain, untuk mendapat simpatik dari publik, tetapi lama-kelamaan sudah tidak mempan lagi. Karena rakyat jenuh dan mulai muak dengan taktik yang terus diulang-ulang itu. Strategi itu menjadi bumerang baginya, setiap kali dia curhat ke publik, bukan simpatik yang didapat, melainkan antipati dan kecaman.

Saya pernah mengkritik sikap Megawati yang ngotot tidak mau berdamai dengan SBY, dari 2004 sampai sekarang, ternyata Megawati benar, saya keliru. SBY memang sosok yang tidak bisa dipercaya. Orangnya kelihatan saja lembut dan bijak di depan, tetapi di belakangnya sebaliknya.

Puncak dari sikapnya ini ditunjukkan menjelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden. Dengan mewariskan kembalinya sebagian kekuatan Orde Baru melalui Pilkada tidak langsung.

Seharusnya memang sejak awal kita tidak percaya dengan SBY dalam hal RUU pilkada ini. Karena sejak awal, bukankah SBY-lah inisiator dari hasrat untuk mengubah sistem pilkada langsung oleh rakyat menjadi kembali pilkada oleh DPRD?

Karena Kader Demokrat Selalu Kalah di Pilkada

Inisiatif SBY itu berawal dari Juni 2012. Kemungkinan besar inisiatif SBY itu didasarkan kepada kekhawatirannya bahwa di hampir semua pilkada langsung, kader-kader Demokrat selalu kalah. Hal ini diyakini sebagai dampak dari tertangkapnya mantan bendahara DPP Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, pada 7 Agustus 2011, setelah dinyatakan buron oleh KPK sejak April 2011. Tertangkapnya Nazaruddin dengan "nyanyian mautnya" berhasil menyokot petinggi-petinggi lainnya di Demokrat. Satu persatu petinggi Demokrat, ditangkap dan dipenjarakan KPK. Akibatnya, kredibilitas Demokrat terjun bebas di mata rakyat. Dampaknya hampir di semua pilkada, kader (yang didukung) Demokrat kalah.

Semakin khawatir dengan fenomena ini, yang memunculkan ide SBY untuk berinisiatif mengajukan perubahan UU Pilkada tersebut. Dengan dasar pertimbangan, di pilkada langsung, semakin tipis kader Demokrat bisa menang, karena rakyat sudah tidak percaya lagi kepada mereka. Rakyat tidak bisa diatur. Tetapi, kalau di DPRD, pasti semua itu bisa diatur.

Ketika mengajukan inisiatif dan naskah akademik RUU Pilkada yang isinya pilkada diubah menjadi melalui DPRD, pada 6 Juni 2012, semua parpol, termasuk Gerindra csmenolaknya. Dalam rentang waktu pembahasan RUU tersebut selama dua tahun ini, pemerintah dua kali mengubah usulannya. Awalnya mengusulkan gubernur dipilih oleh DPRD, bupati/walikota dipilih langsung. Berubah menjadi sebaliknya, gubernur dipilih langsung, bupati/walikota dipilih oleh DPRD.

Setelah Prabowo kalah di Pilpres 2014, yang dikuatkan oleh MK pada 21 Agustus 2014, Gerindra dan parpol-parpol pendukungnya yang bergabung di Koalisi Merah Putih tiba-tiba berubah sikapnya 180 derajat. Mereka segera memanfaatkan RUU Pilkada tersebut dengan mendukung semua kepala daerah harus dipilih oleh DPRD. Tentu saja dengan maksud dan strategi politik tersembunyi terhadap pemerintahan Jokowi-JK, mengepung Jokowi dari seluruh daerah, melemahkannya, bilamana perlu melengserkannya di tengah jalan. Amien Rais pernah mengutarakan agendanya untuk dalam satu tahun akan melengserkan Jokowi.

Strategi Licik SBY

sebenarnya diam-diam sangat senang, karena KMP malah mendukung lebih dari apa yang diainginkan, yaitu bukan hanya gubernur, atau bukan hanya bupati/walikota, tetapi dua-duanya, yaitu gubernur dan bupati/walikota harus dipilih oleh DPRD. Tetapi, seiring dengan itu pula, semakin besar pula penolakan dari rakyat terhadap pilkada tidak langsung. Tentu, SBY tidak berani terang-terangan menentang kehendak rakyat itu, mengingat citranya selama 10 tahun menjadi presiden relatif cukup baik. SBY adalah sosok yang sangat mementingkan pencitraan, dia tentu tak mau citranya rusak di mata rakyat, tetapi itulah yang kini terjadi.

SBY sangat pintar menyembunyikan perasaan sebenarnya, sambil diam-diam menyusun strategi baru, bagaimana caranya untuk tetap bisa tampil dengan pencitraan sebagai presiden yang perduli terhadap aspirasi rakyat banyak, tetapi bersamaan dengan itu mendukung pilkada tidak langsung.

Pada Minggu, 14 September 2014 itu dimulailah strategi dan sandiwara politik itu. Dengan memanfaatkan akun YouTube-nya, "Suara Demokrasi", SBY menyatakan bahwa dia mendukung untuk mempertahankan Pilkada langsung oleh rakyat. Alasannya secara historis, pilkada langsung sudah sangat sesuai dengan aspirasi rakyat.

Sandiwara dilanjutkan oleh Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan, yang melalui konferensi persnya beberapa hari setelah pernyataan SBY itu, menyatakan mendukung sepenuhnya pilkada langsung, dengan embel-embel pilkada langsung dipertahankan dengan sepuluh perbaikan yang harus dilakukan.

Setelah itu, tibalah permainan sandiwara puncak digelar. Tempatnya di gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta Pusat, waktunya, Kamis, 25 September – 26 September 2014 dini hari, melalui penyampaian pendapat oleh fraksi-fraksi, perdebatan dan lobi-lobi yang alot dan melelahkan.

Link: http://adf.ly/sOHQ2
SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive