SITUS BERITA TERBARU

Ketika Gairah Politik Di Titik Didih

Tuesday, June 3, 2014
Ketika Gairah Politik di Titik Didih

Gairah politik rakyat untuk memilih calon presiden dalam pilpres kali ini, seakan mencapai titik didih. Rivalitas pendukung Prabowo vs Jokowi memanas karena terbawa situasi.

Diharapkan, kepala tetap dingin ketika kampanye pilpres menggebu dan setiap warga negara nantinya, harus memilih Prabowo atau Jokowi, setidaknya tidak golput lagi. Sebab presiden terpilih, ke depan akan menentukan nasib bangsa ini.

Pertarungan calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo (Jokowi) dengan capres Gerindra, Prabowo Subianto tambah ketat dan sengit. Berbagai survei sudah memberikan gambaran mengenai dinamika dan elektabilitas Prabowo maupun Jokowi.

Dalam hal ini, Direktur Eksekutif Survei Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, menilai elektabilitas Prabowo terus mengalami peningkatan sedangkan Jokowi justru mengalami penurunan. Hasil survei terbaru Indikator Politik, menunjukkan elektabilitas Prabowo dengan Jokowi hanya selisih sekitar 15 persen.

"Hingga April 2014, elektabilitas Jokowi masih teratas, disusul Prabowo di peringkat kedua dengan selisih sekitar 15 persen. Dalam satu bulan terakhir, selisih dukungan Jokowi dengan pesaing terkuat, Prabowo, semakin mengecil dan mengecil," kata Burhan.

Artinya, Prabowo terus menguat, dan mengejar elektabilitas Jokowi sehingga jarak kedua capres ini hanya sekitar 6-11 persen. Sementara swing voters yang ada mencapai 30-40 persen, maka praktis potensi menang Prabowo tetap terbuka, meski Jokowi masih populer di sebelahnya.

Sejauh ini, naik turunnya elektabilitas kedua tokoh tersebut dipengaruhi persepsi publik terhadap karakteristik personal capres. Bagaimanapun, persepsi pemilih terhadap karakteristik personal capres terbukti sangat mempengaruhi perilaku pemilih dalam proses pemilihan presiden.

Para analis menilai, ketertarikan para pemilih terhadap mantan Danjen Kopassus itu, karena memiliki ketegasan dan berwibawa, dengan visi-misi dan determinismenya yang sangat kuat untuk membawa Indonesia ke depan menjadi macan Asia, menjadi bangsa yang bermartabat.

Sedangkan, pemilih yang cenderung ke Jokowi karena mengidolakan pemimpin yang bisa dipercaya, jujur, sederhana , perhatian kepada rakyat kecil dan mampu memimpin. Hal lain kata Burhan, menurunnya elektabilitas Jokowi karena berkurangnya kepercayaan publik terhadap orang nomor satu di DKI Jakarta itu.

Belakangan ini, meningkatnya elektabilitas Prabowo karena faktor ketegasan dan kewibawaannya yang sering ditonjolkan media. Sayang bahwa kampanye hitam terus menerjang Prabowo-Hatta.

Dalam hal ini, Dosen Pasca Sarjana Sosial Politik (Sospol) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Wahyudi Winarjo mengatakan, Kubu Jokowi pun dirugikan oleh gembar-gembor â??melakukan koalisi tanpa syaratâ?? yang dilontarkan Capres asal PDIP Joko Widodo sendiri. Sebab, ujarnya, hal itu hanya sekedar lips service belaka.

â??Partai berkoalisi bukan pada dasar ideologi melainkan bagi-bagi kursi, termasuk kubu Jokowi. Pasalnya, koalisi partai tidak akan terlaksana jika tanpa ada bagi-bagi kursi kekuasaan. Hal itu merupakan konsekuensi logis dalam berpolitik,â?? kata Wahyudi.

Pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Juli mendatang akan menjadi ajang pertaruhan dua kandidat kuat calon presiden antara Prabowo Subianto dengan Joko Widodo (Jokowi). Siapapun yang kalah, hendaknya bisa legowo dan pihak yang menang hendaknya tidak jumawa. Para elite dan massa di negeri ini, secara moral, kembali diuji. [berbagai sumber]. Gairah politik rakyat untuk memilih calon presiden dalam pilpres kali ini, seakan mencapai titik didih. Rivalitas pendukung Prabowo vs Jokowi memanas karena terbawa situasi.

Diharapkan, kepala tetap dingin ketika kampanye pilpres menggebu dan setiap warga negara nantinya, harus memilih Prabowo atau Jokowi, setidaknya tidak golput lagi. Sebab presiden terpilih, ke depan akan menentukan nasib bangsa ini.

Pertarungan calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo (Jokowi) dengan capres Gerindra, Prabowo Subianto tambah ketat dan sengit. Berbagai survei sudah memberikan gambaran mengenai dinamika dan elektabilitas Prabowo maupun Jokowi.

Dalam hal ini, Direktur Eksekutif Survei Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, menilai elektabilitas Prabowo terus mengalami peningkatan sedangkan Jokowi justru mengalami penurunan. Hasil survei terbaru Indikator Politik, menunjukkan elektabilitas Prabowo dengan Jokowi hanya selisih sekitar 15 persen.

"Hingga April 2014, elektabilitas Jokowi masih teratas, disusul Prabowo di peringkat kedua dengan selisih sekitar 15 persen. Dalam satu bulan terakhir, selisih dukungan Jokowi dengan pesaing terkuat, Prabowo, semakin mengecil dan mengecil," kata Burhan.

Artinya, Prabowo terus menguat, dan mengejar elektabilitas Jokowi sehingga jarak kedua capres ini hanya sekitar 6-11 persen. Sementara swing voters yang ada mencapai 30-40 persen, maka praktis potensi menang Prabowo tetap terbuka, meski Jokowi masih populer di sebelahnya.

Sejauh ini, naik turunnya elektabilitas kedua tokoh tersebut dipengaruhi persepsi publik terhadap karakteristik personal capres. Bagaimanapun, persepsi pemilih terhadap karakteristik personal capres terbukti sangat mempengaruhi perilaku pemilih dalam proses pemilihan presiden.

Para analis menilai, ketertarikan para pemilih terhadap mantan Danjen Kopassus itu, karena memiliki ketegasan dan berwibawa, dengan visi-misi dan determinismenya yang sangat kuat untuk membawa Indonesia ke depan menjadi macan Asia, menjadi bangsa yang bermartabat.

Sedangkan, pemilih yang cenderung ke Jokowi karena mengidolakan pemimpin yang bisa dipercaya, jujur, sederhana , perhatian kepada rakyat kecil dan mampu memimpin. Hal lain kata Burhan, menurunnya elektabilitas Jokowi karena berkurangnya kepercayaan publik terhadap orang nomor satu di DKI Jakarta itu.

Belakangan ini, meningkatnya elektabilitas Prabowo karena faktor ketegasan dan kewibawaannya yang sering ditonjolkan media. Sayang bahwa kampanye hitam terus menerjang Prabowo-Hatta.

Dalam hal ini, Dosen Pasca Sarjana Sosial Politik (Sospol) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Wahyudi Winarjo mengatakan, Kubu Jokowi pun dirugikan oleh gembar-gembor â??melakukan koalisi tanpa syaratâ?? yang dilontarkan Capres asal PDIP Joko Widodo sendiri. Sebab, ujarnya, hal itu hanya sekedar lips service belaka.

â??Partai berkoalisi bukan pada dasar ideologi melainkan bagi-bagi kursi, termasuk kubu Jokowi. Pasalnya, koalisi partai tidak akan terlaksana jika tanpa ada bagi-bagi kursi kekuasaan. Hal itu merupakan konsekuensi logis dalam berpolitik,â?? kata Wahyudi.

Pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Juli mendatang akan menjadi ajang pertaruhan dua kandidat kuat calon presiden antara Prabowo Subianto dengan Joko Widodo (Jokowi). Siapapun yang kalah, hendaknya bisa legowo dan pihak yang menang hendaknya tidak jumawa. Para elite dan massa di negeri ini, secara moral, kembali diuji. [berbagai sumber]Gairah politik rakyat untuk memilih calon presiden dalam pilpres kali ini, seakan mencapai titik didih. Rivalitas pendukung Prabowo vs Jokowi memanas karena terbawa situasi.

Diharapkan, kepala tetap dingin ketika kampanye pilpres menggebu dan setiap warga negara nantinya, harus memilih Prabowo atau Jokowi, setidaknya tidak golput lagi. Sebab presiden terpilih, ke depan akan menentukan nasib bangsa ini.

Pertarungan calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo (Jokowi) dengan capres Gerindra, Prabowo Subianto tambah ketat dan sengit. Berbagai survei sudah memberikan gambaran mengenai dinamika dan elektabilitas Prabowo maupun Jokowi.

Dalam hal ini, Direktur Eksekutif Survei Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, menilai elektabilitas Prabowo terus mengalami peningkatan sedangkan Jokowi justru mengalami penurunan. Hasil survei terbaru Indikator Politik, menunjukkan elektabilitas Prabowo dengan Jokowi hanya selisih sekitar 15 persen.

"Hingga April 2014, elektabilitas Jokowi masih teratas, disusul Prabowo di peringkat kedua dengan selisih sekitar 15 persen. Dalam satu bulan terakhir, selisih dukungan Jokowi dengan pesaing terkuat, Prabowo, semakin mengecil dan mengecil," kata Burhan.

Artinya, Prabowo terus menguat, dan mengejar elektabilitas Jokowi sehingga jarak kedua capres ini hanya sekitar 6-11 persen. Sementara swing voters yang ada mencapai 30-40 persen, maka praktis potensi menang Prabowo tetap terbuka, meski Jokowi masih populer di sebelahnya.

Sejauh ini, naik turunnya elektabilitas kedua tokoh tersebut dipengaruhi persepsi publik terhadap karakteristik personal capres. Bagaimanapun, persepsi pemilih terhadap karakteristik personal capres terbukti sangat mempengaruhi perilaku pemilih dalam proses pemilihan presiden.

Para analis menilai, ketertarikan para pemilih terhadap mantan Danjen Kopassus itu, karena memiliki ketegasan dan berwibawa, dengan visi-misi dan determinismenya yang sangat kuat untuk membawa Indonesia ke depan menjadi macan Asia, menjadi bangsa yang bermartabat.

Sedangkan, pemilih yang cenderung ke Jokowi karena mengidolakan pemimpin yang bisa dipercaya, jujur, sederhana , perhatian kepada rakyat kecil dan mampu memimpin. Hal lain kata Burhan, menurunnya elektabilitas Jokowi karena berkurangnya kepercayaan publik terhadap orang nomor satu di DKI Jakarta itu.

Belakangan ini, meningkatnya elektabilitas Prabowo karena faktor ketegasan dan kewibawaannya yang sering ditonjolkan media. Sayang bahwa kampanye hitam terus menerjang Prabowo-Hatta.

Dalam hal ini, Dosen Pasca Sarjana Sosial Politik (Sospol) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Wahyudi Winarjo mengatakan, Kubu Jokowi pun dirugikan oleh gembar-gembor â??melakukan koalisi tanpa syaratâ?? yang dilontarkan Capres asal PDIP Joko Widodo sendiri. Sebab, ujarnya, hal itu hanya sekedar lips service belaka.

â??Partai berkoalisi bukan pada dasar ideologi melainkan bagi-bagi kursi, termasuk kubu Jokowi. Pasalnya, koalisi partai tidak akan terlaksana jika tanpa ada bagi-bagi kursi kekuasaan. Hal itu merupakan konsekuensi logis dalam berpolitik,â?? kata Wahyudi.

Pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Juli mendatang akan menjadi ajang pertaruhan dua kandidat kuat calon presiden antara Prabowo Subianto dengan Joko Widodo (Jokowi). Siapapun yang kalah, hendaknya bisa legowo dan pihak yang menang hendaknya tidak jumawa. Para elite dan massa di negeri ini, secara moral, kembali diuji. [berbagai sumber]. http://ini.la/2106069

SHARE THIS POST:
FB Share Twitter Share

Blog Archive