, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat mempersoalkan sumber pendanaan tender penerbitan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera. Alokasi anggaran itu disebut tidak pernah dikomunikasikan ke parlemen. Apa tanggapan Jokowi?
"Ya coba dicek ke kementerian keuangan. Kalau sudah keluar ya mestinya ada dananya. Tanyakan ke kemenkeu," kata Jokowi usai menghadiri acara Kegiatan Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (6/11/2014).
Jokowi lalu malah balik mengeluhkan kritik yang dilontarkan anggota dewan selama ini. Menurut dia, pemerintah ingin bekerja cepat sesuai harapan banyak orang. Namun, ujar dia, meski pemerintah sudah bekerja cepat tetapi DPR tetap saja mengkritik.
"Kita ini ya, maunya kerja cepat, kerjanya cepat. Kalau kerja lambat nanti begini (sambil tangannya memeragakan gerakan simbol orang bicara). Eh, sudah kerja cepat masih begini juga (melakukan gerakan yang sama)," keluh Jokowi.
Kalau pun harus ke DPR, Jokowi mengaku kondisi DPR saat ini serba sulit. "Ke DPR saya harus ke mana? Ketemu dengan siapa? Ke komisi yang mana? Alat kelengkapan dewan yang mana? Apa saya harus menunggu terus?" jawab dia.
Jokowi lalu mengatakan bahwa anggaran untuk tiga kartu andalannya itu sudah masuk dalam APBN. Pernyataan ini berbeda dengan pernyataan Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang menyebutkan bahwa dana pencetakan kartu berasal dari dana corporate social responsibility (CSR) BUMN, sehingga sama sekali tidak menggunakan uang negara.
Janggal
Seperti diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mempertanyakan tender fisik kartu pada program Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Menurut dia, program itu tidak dikoordinasikan terlebih dahulu dengan DPR.
"Kartunya saja itu kan mesti ditender. Kartu itu satu bisa seharga Rp 5.000. Ini Rp 5.000 kali 15 juta orang, sudah berapa coba?" ujar Fahri di kompleks parlemen, Rabu (5/11/2014). "Program di atas Rp 1 miliar saja harus ditender, apalagi yang triliunan. Kan negara ini enggak main-main ya," lanjut dia.
Fahri menyayangkan program yang disebut-sebut sebagai andalan pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla tersebut tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan parlemen. "Tidak ada nomenklatur belanja negara yang tidak ada dasar undang-undangnya boleh dilegalkan. Makanya kita mau ngomong bareng-bareng bersama pemerintah saat ini."
Nah lho, menterinya bilang dari CSR presidennya bilang dari APBN dan sudah dianggarkan sebelumnya. Trus menteri yang satunya lagi bilang baru mau dibuat aturannya.
Pokoknya kerja.. Kerja... Kerja.. Ora mikir.
Link: http://adf.ly/tpP7A
"Ya coba dicek ke kementerian keuangan. Kalau sudah keluar ya mestinya ada dananya. Tanyakan ke kemenkeu," kata Jokowi usai menghadiri acara Kegiatan Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (6/11/2014).
Jokowi lalu malah balik mengeluhkan kritik yang dilontarkan anggota dewan selama ini. Menurut dia, pemerintah ingin bekerja cepat sesuai harapan banyak orang. Namun, ujar dia, meski pemerintah sudah bekerja cepat tetapi DPR tetap saja mengkritik.
"Kita ini ya, maunya kerja cepat, kerjanya cepat. Kalau kerja lambat nanti begini (sambil tangannya memeragakan gerakan simbol orang bicara). Eh, sudah kerja cepat masih begini juga (melakukan gerakan yang sama)," keluh Jokowi.
Kalau pun harus ke DPR, Jokowi mengaku kondisi DPR saat ini serba sulit. "Ke DPR saya harus ke mana? Ketemu dengan siapa? Ke komisi yang mana? Alat kelengkapan dewan yang mana? Apa saya harus menunggu terus?" jawab dia.
Jokowi lalu mengatakan bahwa anggaran untuk tiga kartu andalannya itu sudah masuk dalam APBN. Pernyataan ini berbeda dengan pernyataan Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang menyebutkan bahwa dana pencetakan kartu berasal dari dana corporate social responsibility (CSR) BUMN, sehingga sama sekali tidak menggunakan uang negara.
Janggal
Seperti diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mempertanyakan tender fisik kartu pada program Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Menurut dia, program itu tidak dikoordinasikan terlebih dahulu dengan DPR.
"Kartunya saja itu kan mesti ditender. Kartu itu satu bisa seharga Rp 5.000. Ini Rp 5.000 kali 15 juta orang, sudah berapa coba?" ujar Fahri di kompleks parlemen, Rabu (5/11/2014). "Program di atas Rp 1 miliar saja harus ditender, apalagi yang triliunan. Kan negara ini enggak main-main ya," lanjut dia.
Fahri menyayangkan program yang disebut-sebut sebagai andalan pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla tersebut tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan parlemen. "Tidak ada nomenklatur belanja negara yang tidak ada dasar undang-undangnya boleh dilegalkan. Makanya kita mau ngomong bareng-bareng bersama pemerintah saat ini."
Nah lho, menterinya bilang dari CSR presidennya bilang dari APBN dan sudah dianggarkan sebelumnya. Trus menteri yang satunya lagi bilang baru mau dibuat aturannya.
Pokoknya kerja.. Kerja... Kerja.. Ora mikir.
Link: http://adf.ly/tpP7A