http://www.shnews.co/detile-27023-ke...erkembang.html
Quote:Ketika Bahasa Terus Berkembang
Jessica Rezamonda | Sabtu, 26 Oktober 2013 - 11:10 WIB
Bahasa dalam film tidak lagi mengindahkan aturan yang berlaku.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Sejak saat itu, bahasa Indonesia pun terus mengalami perkembangan.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah semakin banyaknya bermunculan kosakata slang, atau tidak resmi, yang kerap disebut bahasa gaul.
Bahasa-bahasa tidak resmi ini pun akhirnya sering digunakan dalam film-film nasional yang bercerita tentang kehidupan para remaja. Hal ini diakui Remy Sylado, sastrawan yang ditunjuk menjadi salah satu juri Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini.
Remy, yang beberapa hari belakangan sedang mengamati sejumlah film yang mengikuti FFI, melihat bahwa film-film yang ber-setting di Jakarta sangat intens menggunakan bahasa-bahasa gaul.
"Bahasanya campur aduk dengan bahasa Betawi, bahasa gaul, bahasa Inggris yang dicentil-centilkan... Bahkan, sekarang di bagian awal film kita akan melihat bahwa film tersebut dibuat 'by' (oleh dalam bahasa Inggris)," ungkapnya dalam sebuah kuliah publik bertajuk "Satu Nusa Satu ** SENSOR ** Two £anguage$", di Wisma Proklamasi 41, Jakarta, Kamis (24/10) malam, dalam rangka memperingati Bulan Bahasa.
Dari judul ceramah yang dipakainya pun kita sudah bisa melihat betapa negara ini sangat "mengidolakan" bahasa Inggris. Penggunaan simbol mata uang pound sterling (£ dan dolar ($) pada kata language (bahasa) pun akan menggelitik siapa pun yang melihatnya.
Kecenderungan memakai bahasa Inggris sudah terjadi sejak Indonesia merdeka 68 tahun lalu. Kala itu, berbagai kata serapan bahasa Belanda yang memang diajarkan selama masa penjajahan, mulai diubah menjadi kata-kata baru, yang ternyata merupakan serapan dari bahasa Inggris. Sebagai contoh potlot yang berubah menjadi pensil (bahasa Inggris = pencil) ataupun korting menjadi diskon (discount).
Semangat "ber-Inggris" ria memang semakin tidak terbatas selepas orde baru, terutama karena kerap digunakan media massa.
Hal ini tidak dipungkiri pria yang mengawali kariernya sebagai wartawan majalah Tempo itu. Menurutnya, wartawan sering mencari referensi dari buku-buku asing. Saat ini pun masih banyak istilah Asing di dunia media yang seolah-olah tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebut saja kata deadline, headline, dan straight news. Bahkan, konsep penulisan di dunia jurnalistik masih berpedoman pada rumus 5W + 1H (what, who, when, where, why, dan how).
"Pelaku pers sudah dibingkai untuk berpikir Inggris," kata penulis kelahiran Makassar, 12 Juli 1945 itu.
Tak hanya di dunia pers, dalam dunia perfilman pun sangat sulit menemukan kata-kata untuk mengganti istilah asing seperti ready, action, dan cut.
Karena itu, tak mengherankan jika hampir semua film nasional yang bercerita tentang remaja menggunakan bahasa campur aduk, bahasa Inggris yang hanya sepotong-sepotong. "Dalam bahasa film sendiri kita tidak punya bahasa pengganti yang tepat seperti di Prancis dan Belanda," ia mengimbuhkan.
Penggunaan kosakata Inggris juga sudah dapat ditemui di berbagai tempat umum, terutama di Jakarta dan sekitarnya. Busway, 3 in 1 (three in one), JORR (Jakarta Outer Ring Road), Restroom, dan masih banyak lagi, sudah menjadi istilah umum yang dimengerti hampir setiap penduduk Jakarta.
"Saat ini yang paling tertib berbahasa Indonesia adalah penyair. Tertib - bukan baik dan benar - karena itu adalah tugas orang-orang di Pusat Pembina(sa)an Bahasa," ucap Remy seraya tertawa.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa memang sangat sulit untuk menolak perlintasan bahasa tersebut. "Kita memang tidak mungkin menolak perlintasan bahasa Inggris masuk ke bahasa Indonesia. Tapi, bagaimana kita melafalkan bahasa itu sesuai dengan lafal Melayu," katanya.
Sumber : Sinar Harapan
Mari kita kembali berbahasa Indonesia dengan tertib...
Quote:Ketika Bahasa Terus Berkembang
Jessica Rezamonda | Sabtu, 26 Oktober 2013 - 11:10 WIB
Bahasa dalam film tidak lagi mengindahkan aturan yang berlaku.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Sejak saat itu, bahasa Indonesia pun terus mengalami perkembangan.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah semakin banyaknya bermunculan kosakata slang, atau tidak resmi, yang kerap disebut bahasa gaul.
Bahasa-bahasa tidak resmi ini pun akhirnya sering digunakan dalam film-film nasional yang bercerita tentang kehidupan para remaja. Hal ini diakui Remy Sylado, sastrawan yang ditunjuk menjadi salah satu juri Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini.
Remy, yang beberapa hari belakangan sedang mengamati sejumlah film yang mengikuti FFI, melihat bahwa film-film yang ber-setting di Jakarta sangat intens menggunakan bahasa-bahasa gaul.
"Bahasanya campur aduk dengan bahasa Betawi, bahasa gaul, bahasa Inggris yang dicentil-centilkan... Bahkan, sekarang di bagian awal film kita akan melihat bahwa film tersebut dibuat 'by' (oleh dalam bahasa Inggris)," ungkapnya dalam sebuah kuliah publik bertajuk "Satu Nusa Satu ** SENSOR ** Two £anguage$", di Wisma Proklamasi 41, Jakarta, Kamis (24/10) malam, dalam rangka memperingati Bulan Bahasa.
Dari judul ceramah yang dipakainya pun kita sudah bisa melihat betapa negara ini sangat "mengidolakan" bahasa Inggris. Penggunaan simbol mata uang pound sterling (£ dan dolar ($) pada kata language (bahasa) pun akan menggelitik siapa pun yang melihatnya.
Kecenderungan memakai bahasa Inggris sudah terjadi sejak Indonesia merdeka 68 tahun lalu. Kala itu, berbagai kata serapan bahasa Belanda yang memang diajarkan selama masa penjajahan, mulai diubah menjadi kata-kata baru, yang ternyata merupakan serapan dari bahasa Inggris. Sebagai contoh potlot yang berubah menjadi pensil (bahasa Inggris = pencil) ataupun korting menjadi diskon (discount).
Semangat "ber-Inggris" ria memang semakin tidak terbatas selepas orde baru, terutama karena kerap digunakan media massa.
Hal ini tidak dipungkiri pria yang mengawali kariernya sebagai wartawan majalah Tempo itu. Menurutnya, wartawan sering mencari referensi dari buku-buku asing. Saat ini pun masih banyak istilah Asing di dunia media yang seolah-olah tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebut saja kata deadline, headline, dan straight news. Bahkan, konsep penulisan di dunia jurnalistik masih berpedoman pada rumus 5W + 1H (what, who, when, where, why, dan how).
"Pelaku pers sudah dibingkai untuk berpikir Inggris," kata penulis kelahiran Makassar, 12 Juli 1945 itu.
Tak hanya di dunia pers, dalam dunia perfilman pun sangat sulit menemukan kata-kata untuk mengganti istilah asing seperti ready, action, dan cut.
Karena itu, tak mengherankan jika hampir semua film nasional yang bercerita tentang remaja menggunakan bahasa campur aduk, bahasa Inggris yang hanya sepotong-sepotong. "Dalam bahasa film sendiri kita tidak punya bahasa pengganti yang tepat seperti di Prancis dan Belanda," ia mengimbuhkan.
Penggunaan kosakata Inggris juga sudah dapat ditemui di berbagai tempat umum, terutama di Jakarta dan sekitarnya. Busway, 3 in 1 (three in one), JORR (Jakarta Outer Ring Road), Restroom, dan masih banyak lagi, sudah menjadi istilah umum yang dimengerti hampir setiap penduduk Jakarta.
"Saat ini yang paling tertib berbahasa Indonesia adalah penyair. Tertib - bukan baik dan benar - karena itu adalah tugas orang-orang di Pusat Pembina(sa)an Bahasa," ucap Remy seraya tertawa.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa memang sangat sulit untuk menolak perlintasan bahasa tersebut. "Kita memang tidak mungkin menolak perlintasan bahasa Inggris masuk ke bahasa Indonesia. Tapi, bagaimana kita melafalkan bahasa itu sesuai dengan lafal Melayu," katanya.
Sumber : Sinar Harapan
Mari kita kembali berbahasa Indonesia dengan tertib...