JAKARTA, KOMPAS — Elite politik perlu menahan diri, jangan saling menyerang dan mendelegitimasi lembaga lain dalam menyikapi kegaduhan politik yang terjadi belakangan ini. Energi bangsa jangan sampai terbuang sia-sia di tengah munculnya momentum kebangkitan ekonomi dan kegairahan mewujudkan harapan seiring dengan hadirnya pemerintahan baru hasil Pemilu 2014.
"Mari kita berpikir jernih, utamakan akal sehat. Jangan larut dalam emosi karena itu justru menyulitkan penyelesaian masalah," ujar mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (22/1).
Pernyataan ini disampaikan Syafii Maarif menanggapi dinamika politik belakangan ini, terutama yang terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 Januari lalu mengumumkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Penetapan KPK itu membuat Presiden Joko Widodo menunda melantik Budi sebagai Kepala Polri menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman.
Langkah KPK menetapkan Budi sebagai tersangka tidak hanya membuat kuasa hukum Budi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi juga melaporkan pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung dan Badan Reserse Kriminal Polri.
Kemarin, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengungkapkan sejumlah dugaan aktivitas politik Ketua KPK Abraham Samad menjelang Pemilu Presiden 2014. KPK membantah pernyataan Hasto tersebut.
Kondisi ini dikhawatirkan memunculkan konflik antarlembaga dan mengganggu upaya pemberantasan korupsi, khususnya dalam kasus Budi.
Menurut Syafii Maarif, polemik di kalangan elite politik, seperti yang sekarang terjadi dalam kasus Budi, rentan membuat rakyat makin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Dalam situasi ini, semua pihak hendaknya mengevaluasi diri sendiri.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang KH Salahuddin Wahid, yang akrab dipanggil Gus Sholah, juga meminta agar berbagai pihak menahan diri.
"Intinya, jangan sampai mengorbankan kepentingan bangsa dan negara hanya demi kepentingan pribadi dan golongan. Semua harus menahan diri," katanya.
Gus Sholah amat prihatin dengan munculnya fenomena saling menyerang yang kini terjadi antara DPR, Polri, KPK, dan sejumlah partai politik yang dipicu oleh kasus Budi. Kondisi ini menunjukkan terjadinya situasi tidak saling percaya antarinstitusi negara. "Jika di antara lembaga negara saja sudah tak saling percaya, bagaimana mereka bisa membuat masyarakat luas bisa memercayai mereka?" ujarnya.
KPK tak boleh runtuh
Gus Sholah mengingatkan, konflik KPK dan Polri yang pernah terjadi tahun 2009 dan dikenal sebagai "Cicak vs Buaya" tak boleh terulang. Oleh karena itu, selain berbagai pihak terkait harus menahan diri, Presiden juga perlu segera bertindak.
"Mari kita berpikir jernih, utamakan akal sehat. Jangan larut dalam emosi karena itu justru menyulitkan penyelesaian masalah," ujar mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (22/1).
Pernyataan ini disampaikan Syafii Maarif menanggapi dinamika politik belakangan ini, terutama yang terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 Januari lalu mengumumkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Penetapan KPK itu membuat Presiden Joko Widodo menunda melantik Budi sebagai Kepala Polri menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman.
Langkah KPK menetapkan Budi sebagai tersangka tidak hanya membuat kuasa hukum Budi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi juga melaporkan pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung dan Badan Reserse Kriminal Polri.
Kemarin, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengungkapkan sejumlah dugaan aktivitas politik Ketua KPK Abraham Samad menjelang Pemilu Presiden 2014. KPK membantah pernyataan Hasto tersebut.
Kondisi ini dikhawatirkan memunculkan konflik antarlembaga dan mengganggu upaya pemberantasan korupsi, khususnya dalam kasus Budi.
Menurut Syafii Maarif, polemik di kalangan elite politik, seperti yang sekarang terjadi dalam kasus Budi, rentan membuat rakyat makin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Dalam situasi ini, semua pihak hendaknya mengevaluasi diri sendiri.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang KH Salahuddin Wahid, yang akrab dipanggil Gus Sholah, juga meminta agar berbagai pihak menahan diri.
"Intinya, jangan sampai mengorbankan kepentingan bangsa dan negara hanya demi kepentingan pribadi dan golongan. Semua harus menahan diri," katanya.
Gus Sholah amat prihatin dengan munculnya fenomena saling menyerang yang kini terjadi antara DPR, Polri, KPK, dan sejumlah partai politik yang dipicu oleh kasus Budi. Kondisi ini menunjukkan terjadinya situasi tidak saling percaya antarinstitusi negara. "Jika di antara lembaga negara saja sudah tak saling percaya, bagaimana mereka bisa membuat masyarakat luas bisa memercayai mereka?" ujarnya.
KPK tak boleh runtuh
Gus Sholah mengingatkan, konflik KPK dan Polri yang pernah terjadi tahun 2009 dan dikenal sebagai "Cicak vs Buaya" tak boleh terulang. Oleh karena itu, selain berbagai pihak terkait harus menahan diri, Presiden juga perlu segera bertindak.
Sehubungan dengan pernyataan Hasto seputar kegiatan Abraham Samad yang bertendensi politis, Gus Sholah berharap informasi itu tidak benar. "Jika memang Abraham terbukti menyalahgunakan wewenangnya, dia harus nonaktif sebagai Ketua KPK," katanya.
Namun, sebagai institusi, KPK tidak boleh runtuh dan harus terus tegak berdiri karena keberadaannya amat dibutuhkan dalam mengusut kasus-kasus korupsi kelas kakap.
Profesor Riset Mochtar Pabottingi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengingatkan adanya bahaya yang mengancam Indonesia, yaitu ketika sebagian lembaga penegak hukum berada di satu kubu untuk melemahkan penegakan hukum lainnya.
Hal ini ditunjukkan oleh adanya sejumlah kelompok dan elite politik yang membela Budi dan menyerang KPK. Ini memperlihatkan ada elite politik yang berusaha melindungi kepentingan dan masa lalunya yang tak benar agar tidak disentuh KPK.
"Ada semacam konsolidasi lembaga penegak hukum agar tidak tercipta negara hukum di Indonesia. Bahaya ini harus disadari oleh kita semua," katanya.
Dalam situasi demikian, Presiden Joko Widodo diharapkan fokus untuk mengutamakan penegakan hukum dan tetap berkomitmen memberantas korupsi. "Lupakan argumen-argumen yang lain. Jaga komitmen Presiden untuk memberantas korupsi. Jangan sampai menyerah pada kekuatan yang melemahkan hukum," katanya.
Mochtar berharap, Presiden berdiri tegak di atas integritasnya sebagai presiden dalam sistem presidensial, dan bukan menjadi alat partai politik atau kelompok tertentu. Kepentingan besar bangsa dan penegakan hukum harus diletakkan di atas kepentingan sempit kelompok atau partai politik.
"Rencana-rencana bagus soal tol laut, irigasi, dan pertanian akan ambruk jika penegakan hukum runtuh. Nawa Cita (program Jokowi) akan sia-sia, menguap begitu saja, kalau lembaga hukum dikuasai orang-orang yang tidak menginginkan hukum tegak. Jangan biarkan ada persekongkolan menjegal negara hukum," kata Mochtar.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, menyatakan, Presiden Jokowi jangan hanya cukup melakukan revolusi mental. Namun, terutama juga harus melakukan reformasi di tingkat kehidupan elite dan birokrasi, yang salah satu bentuknya adalah jangan pernah mengangkat tersangka kasus korupsi untuk duduk di jabatan politik dan pemerintahan. Lembaga pemerintah harus dibersihkan dari sosok-sosok yang bermasalah.
"Saya masih punya harapan bahwa Presiden Joko Widodo tidak akan mengecewakan masyarakat Indonesia pada umumnya," kata Magnis.
Ia juga menyatakan masih amat banyak orang baik dan berkualitas di Indonesia. Tantangan saat ini adalah memunculkan dan memberikan kesempatan orang- orang itu berkarya untuk Indonesia.
Sumber : http://print.kompas.com/KOMPAS_ART00...00000011559823
Dikutip dari: http://adf.ly/wYYTO


