JAKARTA, KOMPAS.com - Soliditas Koalisi Merah Putih tengah diuji. Dua partai anggotanya yang mengalami konflik internal, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, terpecah. Golkar di bawah Agung Laksono menginginkan partainya keluar dari KMP dan bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah. Sementara, konflik PPP belum berujung karena kubu Romahurmuziy masih melakukan upaya hukum setelah Pengadilan Tata Usaha Negara memenangkan kepengurusan Djan Faridz.
Ada pun, Partai Amanat Nasional pasca Kongres yang dimenangkan Zulkifli Hasan, belum menentukan arah politiknya. Jika PAN mengikuti jejak Golkar, KMP hanya tersisa dua partai, yaitu Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera. Bagaimana kelangsungan koalisi ini?
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito menilai, KMP tengah mengalami kegoncangan. Ia memprediksi, "usia" KMP tak akan bertahan hingga 2019.
"KMP mengalami peluruhan energi besar-besaran. Sehingga koalisi ini belum tentu akan solid selama lima tahun ke depan," kata Arie, kepada Kompas.com, Rabu (11/3/2015).
Arie mengibaratkan, baik KMP mau pun Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebenarnya merupakan koalisi multikartel yang sarat dengan kepentingan pragmatis. Keduanya sama-sama mencari keuntungan untuk mempertahankan posisi mereka demi menghadapi pertarungan berikutnya baik saat pemilihan kepala daerah serentak mau pun Pemilu 2019. Namun, saat ini, posisi KIH sebagai koalisi pendukung pemerintah dinilai lebih menguntungkan dibanding KMP. Keuntungan itu, kata Arie, karena KIH berpeluang lebih menjaga soliditas karena ada "kue" yang bisa dibagi.
"KMP sulit jaga soliditas itu karena tidak ada kuenya. Sementara, partai itu kan institusi pragmatis, yang ingin mendapat jatah kue itu tadi kan," kata Arie.
Arie mengingatkan, meski soliditas KMP kini tengah diuji, hal itu tidak serta merta membuat KIH tanpa tekanan. Koalisi ini goncang ketika penunjukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, berujung pada kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Polri.
Arie mengatakan, PDI Perjuangan sebagai pemimpin KIH seharusnya dapat menjaga harmonisasi hubungan dengan Presiden Joko Widodo.
"Banyak partai yang menunggu juga konflik Jokowi dengan PDI Perjuangan," katanya.
Ia menambahkan, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri seharusnya tidak meragukan ketokohan dan kepiawaian Jokowi dalam berpolitik. Kehadiran Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, beberapa waktu lalu ke Istana Bogor di tengah konflik KPK-Polri, harus dianggap sebagai sebuah sinyalemen kemampuan Jokowi dalam berpolitik. Bahkan, Prabowo yang sempat menjadi rival Jokowi saat Pilpres 2014 lalu siap memberikan dukungan.
"Kalau PDI Perjuangan tidak membangun konsolidasi dengan Jokowi dan terjebak permusuhan seperti ini, tentu tidak akan menguntungkan. Ketokohan Jokowi saat ini lebih kuat, sementara Mega menurun," kata dia.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2015...campaign=Khlwp (nasional.kompas.com)
wah kl bubar nanti bakal ada pasukan maya yang kehilangan tuan
Link: http://adf.ly/19qkeN