Habadagang.com--Para wartawan asing tersebut adalah editor the Florida Times Frank M Denton, Max Fisher dari The Washington Pos, Tzu Chiang Huang CNA Taipe Taiwan, Moayyed Ali Jafri dari The International Daily Lahore Pekista, Anupna Khanna dari The Pioneer Dehdaran India dan Hashatullah Kohistani Bokhdi dari News Agency Kabul Afganistan.
Selanjutnya, Hein Min Latt Eleven Media Group Myanmar, Chang Liu Global Times Beijing, Saw Yan Naing Irrawaddy Magazine Yangon Burma, Jena Strurgis Fox News New York, Hannah Torregoza Manila Buletin Publishing Manila, Shakir Ullah Pakistan Broadcasting Corp Pakistan.
Juga hadir Holly Yan CNN Atlanta, G Shabbir Cheema Direktor Program Fellowship dan Liz A Dorn Program Coordinator Fellowship, Wartawan Republika Tonga Fatai Fainga serta Ahmadi dari Aceh.
Kepada mereka, Gubernur menjelaskan kekhususan Aceh melalui perjuangan panjang, MoU Helsinki hingga Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) lahir. Gubernur menjelaskan heroisme rakyat Aceh dalam perang melawan Belanda, termasuk sejarah perjuangan Sulthanah (perempuan) dalam memimpin rakyat Aceh masa silam.
Dikatakan, kala Indonesia masih berjuang menegakkan kesamaan haknya � yang terinspirasi oleh R.A. Kartini, namun 7 abad lalu perempuan Aceh telah menikmati hak-haknya sebagai manusia yang setara tanpa perdebatan.
�Ini sebagai fakta bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki sudah dibuktikan sejak dulu. Sejumlah pemimpin kesultanan Aceh masa lalu juga terdiri dari kaum perempuan,� jelas Gubernur.
Gubernuir Zaini juga menceritakan bagaimana Aceh menjadi satu-satunya daerah yang tidak ditaklukan oleh Belanda. Aceh kemudian menjadi daerah modal bagi indonesia dalam mengusir belanda.
Dikisahkan Gubernur, pada pertengahan 1948, Belanda bahkan telah menguasai Yogyakarta yang merupakan Ibukota Indonesia pada waktu itu. Dalam situasi seperti itu, Belanda menyampaikan propaganda kepada dunia bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Namun propaganda itu gagal total berkat siaran yang disampaikan secara diam-diam oleh Radio Rimba Raya di dataran Tinggi Gayo.
Radio Rimba raya mengabarkan kepada dunia bahwa NKRI masih berdiri utuh. Siaran itu dipancarkan dalam berbagai bahasa internasional, hingga menjadi perbincangan di dunia. Berkat siaran itupula, PBB menolak klaim Belanda dan memaksa Belanda berunding dengan Pemerintah Indonesia melalui perundingan yang dikenal dengan nama Perundingan Meja Bundar. �Akhirnya Belanda mundur dari Indonesia, sebab Aceh menjadi satu-satunya daerah yang masih berdaulat bagi indonesia,� kata Zaini
Gubernur juga menceritakan konflik Aceh pasca kemerdekaan sejak DI TII dan proses panjang sampai perdamaian 2006 lahir. Menurut Gubernur konflik itu terjadi karena Pemerintah pusat tidak komit dengan Aceh. Itu juga karena kehormatan dan harga diri yang tidak dihargai oleh pemerintah pusat. Lebih 30 tahun Aceh dilanda konflik bersenjata namun melalui perundingan melahirkan sebuah kesepakatan untuk berdamai.
Zaini Abdullah mengatakan, perjanjian damai Aceh juga telah dilakukan pada 2002 yang diperantarai oleh Henry Dunant Center (HDC), lembaga kemanusiaan yang bermarkas di Jenewa. Namun perjanjian itu gagal dan kemudian pemerintah menetapkan status darurat militer di Aceh pada 2003.
Status Aceh sejak 2003, kisah Zaini Abdullah, berubah dari darurat sipil menjadi darurat militer, namun di penghujung 2004, Aceh dilanda prahara bencana tsunami dahsyat mengakibatkan Aceh luluh-lantak dan menelan korban lebih 200 ribu jiwa. Perjalanan konflik panjang di Aceh akhirnya berakhir di meja perundingan, difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, 15 Agustus 2005.
Oleh karenanya, Gubernur mengatakan wajar jika proses perdamaian di Aceh dipelajari oleh dunia untuk dijadikan model guna mengakhiri konflik lokal di sejumlah negara, seperti Filipina dan Thailand. �Perdamaian Helsinki membawa wajah baru. Dan situasi Aceh hari ini lebih baik, damai serta terus membangun,� kata Gubernur.
Sekarang, tambah Zaini, Aceh mempunyai undang-undang pemerintahan sendiri melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006. UUPA merupakan implementasi dari butir-butir kesepakatan Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dan pemerintah Republik Indonesia yang telah dilaksanakan pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Gubernur juga menjelaskan beberapa kekhususan yang diterima Aceh termasuk lembaga Wali Nanggroe, walaupun masih ada beberapa hal yang belum selesai regulasinya seperti RPP Migas dan bidang pertanahan.
Para wartawan asing itu juga menanyakan soal Parlok dan kekhususan Aceh lainnya. Gubernur menjelaskan bahwa bagi Aceh perdamaian adalah hal utama dalam konteks pemilu. Gubernur juga selalu menghimbau untuk terus menjaga dan merawat perdamaian Aceh, karena Pemilu 2014 tidak akan berarti jika perdamaian terusik. �Jangan sampai gara-gara pemilu merusak perdamaian,� tegasnya.
Selain para wartawan asing, pertemuan tersebut juga dihadiri Plt. Biro Humas Setda Aceh Murthalamuddin dan unsur SKPA terkait di lingkup pemerintah Aceh.(001/AI)
sumber- habadagang
Selanjutnya, Hein Min Latt Eleven Media Group Myanmar, Chang Liu Global Times Beijing, Saw Yan Naing Irrawaddy Magazine Yangon Burma, Jena Strurgis Fox News New York, Hannah Torregoza Manila Buletin Publishing Manila, Shakir Ullah Pakistan Broadcasting Corp Pakistan.
Juga hadir Holly Yan CNN Atlanta, G Shabbir Cheema Direktor Program Fellowship dan Liz A Dorn Program Coordinator Fellowship, Wartawan Republika Tonga Fatai Fainga serta Ahmadi dari Aceh.
Kepada mereka, Gubernur menjelaskan kekhususan Aceh melalui perjuangan panjang, MoU Helsinki hingga Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) lahir. Gubernur menjelaskan heroisme rakyat Aceh dalam perang melawan Belanda, termasuk sejarah perjuangan Sulthanah (perempuan) dalam memimpin rakyat Aceh masa silam.
Dikatakan, kala Indonesia masih berjuang menegakkan kesamaan haknya � yang terinspirasi oleh R.A. Kartini, namun 7 abad lalu perempuan Aceh telah menikmati hak-haknya sebagai manusia yang setara tanpa perdebatan.
�Ini sebagai fakta bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki sudah dibuktikan sejak dulu. Sejumlah pemimpin kesultanan Aceh masa lalu juga terdiri dari kaum perempuan,� jelas Gubernur.
Gubernuir Zaini juga menceritakan bagaimana Aceh menjadi satu-satunya daerah yang tidak ditaklukan oleh Belanda. Aceh kemudian menjadi daerah modal bagi indonesia dalam mengusir belanda.
Dikisahkan Gubernur, pada pertengahan 1948, Belanda bahkan telah menguasai Yogyakarta yang merupakan Ibukota Indonesia pada waktu itu. Dalam situasi seperti itu, Belanda menyampaikan propaganda kepada dunia bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Namun propaganda itu gagal total berkat siaran yang disampaikan secara diam-diam oleh Radio Rimba Raya di dataran Tinggi Gayo.
Radio Rimba raya mengabarkan kepada dunia bahwa NKRI masih berdiri utuh. Siaran itu dipancarkan dalam berbagai bahasa internasional, hingga menjadi perbincangan di dunia. Berkat siaran itupula, PBB menolak klaim Belanda dan memaksa Belanda berunding dengan Pemerintah Indonesia melalui perundingan yang dikenal dengan nama Perundingan Meja Bundar. �Akhirnya Belanda mundur dari Indonesia, sebab Aceh menjadi satu-satunya daerah yang masih berdaulat bagi indonesia,� kata Zaini
Gubernur juga menceritakan konflik Aceh pasca kemerdekaan sejak DI TII dan proses panjang sampai perdamaian 2006 lahir. Menurut Gubernur konflik itu terjadi karena Pemerintah pusat tidak komit dengan Aceh. Itu juga karena kehormatan dan harga diri yang tidak dihargai oleh pemerintah pusat. Lebih 30 tahun Aceh dilanda konflik bersenjata namun melalui perundingan melahirkan sebuah kesepakatan untuk berdamai.
Zaini Abdullah mengatakan, perjanjian damai Aceh juga telah dilakukan pada 2002 yang diperantarai oleh Henry Dunant Center (HDC), lembaga kemanusiaan yang bermarkas di Jenewa. Namun perjanjian itu gagal dan kemudian pemerintah menetapkan status darurat militer di Aceh pada 2003.
Status Aceh sejak 2003, kisah Zaini Abdullah, berubah dari darurat sipil menjadi darurat militer, namun di penghujung 2004, Aceh dilanda prahara bencana tsunami dahsyat mengakibatkan Aceh luluh-lantak dan menelan korban lebih 200 ribu jiwa. Perjalanan konflik panjang di Aceh akhirnya berakhir di meja perundingan, difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, 15 Agustus 2005.
Oleh karenanya, Gubernur mengatakan wajar jika proses perdamaian di Aceh dipelajari oleh dunia untuk dijadikan model guna mengakhiri konflik lokal di sejumlah negara, seperti Filipina dan Thailand. �Perdamaian Helsinki membawa wajah baru. Dan situasi Aceh hari ini lebih baik, damai serta terus membangun,� kata Gubernur.
Sekarang, tambah Zaini, Aceh mempunyai undang-undang pemerintahan sendiri melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006. UUPA merupakan implementasi dari butir-butir kesepakatan Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dan pemerintah Republik Indonesia yang telah dilaksanakan pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Gubernur juga menjelaskan beberapa kekhususan yang diterima Aceh termasuk lembaga Wali Nanggroe, walaupun masih ada beberapa hal yang belum selesai regulasinya seperti RPP Migas dan bidang pertanahan.
Para wartawan asing itu juga menanyakan soal Parlok dan kekhususan Aceh lainnya. Gubernur menjelaskan bahwa bagi Aceh perdamaian adalah hal utama dalam konteks pemilu. Gubernur juga selalu menghimbau untuk terus menjaga dan merawat perdamaian Aceh, karena Pemilu 2014 tidak akan berarti jika perdamaian terusik. �Jangan sampai gara-gara pemilu merusak perdamaian,� tegasnya.
Selain para wartawan asing, pertemuan tersebut juga dihadiri Plt. Biro Humas Setda Aceh Murthalamuddin dan unsur SKPA terkait di lingkup pemerintah Aceh.(001/AI)
sumber- habadagang